[CENTRAL] Shopping Spree

Status : Limited
Timeline : Satu hari setelah Giraile meminta kompensasi pada Roman dan Bianca di RP Lunch Hour
Setting : Pasar pagi di kota Westminster, sekitar pukul 6 pagi
Maksud dari limited di topik ini adalah, bahwa tidak semua orang dapat ber-Role Play di sini, karena bagi yang hendak ikut, harus menyertakan alasan yang logis mengapa karakter yang bersangkutan bisa keluar dari markas dan pergi ke pasar. Jadi, sebelum masuk, pikirkan alasannya terlebih dahulu.

---

Pita merah itu masih dengan kuat terikat di tangan kirinya. Ya, tangannya juga mengepal, menunjukkan semangat yang besar di pagi ini. Biasanya sepagi ini ia masih meringkuk di tempat tidurnya, bermalas-malasan di balik selimut yang hangat. Tapi hari ini, ia mempunyai misi yang penting. Bagaimana tidak, nyawanya juga turut dipertaruhkan.

Pasar pagi Westmister pagi itu lebih ramai dari biasanya. Ada apa ya? Yang jelas, tujuan Roman ke sini hanya satu; mencari brandi dengan kualitas terbaik. Untungnya ia bukan tipe orang yang sembarangan membelanjakan uangnya, sehingga tabungannya masih utuh sampai sekarang. Setelah dihitung tadi pagi, uang simpanannya mencapai 20 poundsterling, lumayan, apalagi kemarin ia sudah mengirim telegram ke Rusia untuk dikirimi Vodka dengan kualitas terbaik untuk jaga-jaga.

Masalahnya sekarang, di mana ia dapat menemukan brandi dengan kualitas terbaik itu? ... Dan ia baru ingat kalau ia belum pernah minum brandi. Duh.

"Hoooiii, Biancaaa, sebelah sini!" serunya sambil melambaikan satu tangannya, walau tahu yang bersangkutan tidak bisa melihatnya. Bianca terpisah sedikit jauh dari Roman, ia harap mereka tidak benar-benar terpisah nantinya... Ya, tapi dengan seragam Exorcist yang Bianca kenakan, rasanya mudah untuk menemukannya kembali. Apalagi, mereka bisa mendapat diskon dengan lambang Black Order di dadanya, ohoho.

Kadang-kadang ia merasa terdiskriminasi mengapa Finder tidak diberikan lambang Black Order juga di seragamnya, yah, apapun alasannya, itulah yang menyebabkan Roman mengenakan kemeja dengan rompi dan celana panjang sebagai pakaiannya hari ini. Sebenarnya, ia tidak suka tampil mencolok dengan seragam Finder yang menurutnya mirip jas hujan itu.

Ia memerhatikan sekelilingnya lagi, well, kalau tidak konsentrasi, siapapun bisa tenggelam dan tersesat di tengah keramaian begini. "Sebaiknya mulai dari mana ya?" tanyanya dengan nada sedikit kebingungan, walau begitu, rona semangat tergambar jelas di wajah pemuda Rusia ini.

Bianca cukup bersyukur ia buta, karena dengan itu, matanya tidak pernah menggodanya untuk membelanjakan uang jatahnya hanya karena ia lapar mata. Jadi, setelah ia mengumpulkan semua tabungannya (yang belum sempat dihitungnya karena Roman sudah keburu mengajaknya keluar), Bianca pergi bersama sahabatnya itu ke pasar untuk membeli brandi.

Kalau ternyata tidak ketemu, setidaknya aku sudah tulis surat ke Bapa untuk mengirimkan sebotol Cognag dan sebotol Wine untuk dikirim ke sini segera... meski aku tidak terlalu yakin juga Nona Giraile mau menerimanya...

Bianca berjalan pelan-pelan, sambil berkonsentrasi penuh untuk tidak menabrak siapapun. Ia sedang tidak ingin kena masalah karena ia sedang tidak punya waktu untuk itu. Bianca mendesah pelan. Rasanya ingin ia minta tolong pada Roman untuk menuliskan 'orang ini buta' di secarik kertas, lalu dikalungkan pada Bianca agar tidak ada orang yang salah paham. Tapi ia sendiri agak mau juga diperlakukan seperti itu, makanya ia tidak pernah minta tolong hal semacam itu pada Roman.

Setelah beberapa saat berjalan, ia bisa mendengar bahwa ia sudah terpisah agak jauh dari Roman. Hal itu terbukti saat Finder tersebut lalu memanggilnya karena jarak mereka sudah terlalu jauh. Bianca mempercepat langkahnya, sambil tetap hati-hati agar tidak menabrak orang.

Quote :

"Sebaiknya mulai dari mana ya?"

"Terserah kamu, lah. Tapi sebaiknya dimulai dari toko terdekat saja," jawab Bianca. Yah, bisa bilang apa lagi dia? Toh yang bisa melihat 'kan Roman. Ia hanya akan membantu dana saja.

"Terserah kamu, lah. Tapi sebaiknya dimulai dari toko terdekat saja,"

"Hmm..." Roman menaruh satu tangannya di dagunya, memasang pose berpikir. Beberapa detik setelah itu, ia menengok ke kiri dan ke kanan, mencoba menemukan toko mana yang kira-kira tepat untuk mengawali 'petualangan' mereka kali ini. Cukup sulit dilakukan karena pasar pagi itu memang... ramai.

Setelah beberapa saat menggumam tidak jelas pada dirinya sendiri, akhirnya matanya menangkap secercah harapan. "Itu tuh kayaknya!" serunya bersemangat, sambil menunjuk sebuah toko di depan mereka, sekitar 20 meter dari tempat mereka berdiri. Apa mereka akan menemukan sasaran mereka pagi ini? Semoga saja.

"Ayo, Bianca," pria Rusia ini menepuk pundak Bianca, "Hati-hati jalannya, nanti terbawa arus lho," lanjutnya usil, menampilkan senyuman lebarnya. Dengan itu, ia mulai berjalan, walau perasaannya terasa ringan, perasaan was-was tetap menghantuinya. Bagaimanapun juga, nyawanya dipertaruhkan di perburuan hari ini...

---

[OOT : Lebay. |||orz Yang lain, bikin sensasi doms~ *digetok]

Dalam sekejap, Roman langsung memutuskan toko mana yang akan mereka kunjungi. Bianca hanya bisa percaya pada penglihatan Roman, meski ia juga masih mengandalkan insting dan catur inderanya. Roman menepuk pundaknya, menyuruhnya agar jangan sampai terbawa arus. Bianca hanya bisa tersenyum lembut.

"Akan kucoba, tapi kalau aku masih terbawa arus, tolong cari aku, ya?" balas Bianca sambil tetap tersenyum. Ia pun mengikuti Roman menuju toko yang ditunjuknya tadi.

Begitu sampai di toko tersebut, Bianca merasakan ada keraguan dalam hatinya. Benarkah itu toko minuman beralkohol? Sebagai orang yang sering ikutan Pastur Pietra icip-icip wine, campagne, dan cognag dari berbagai produsen di sekitar gereja tempat tinggalnya dulu, Bianca jadi hafal seperti apa bau minuman keras itu, dan seperti apa bau tempat penyimpanannya.

"Roman, kamu yakin ini toko minuman keras?" bisik Bianca pelan pada Roman. Meski hidungnya berkata bukan, tapi siapa tahu ia tertipu, 'kan? Melihat toko itu secara langsung tetaplah cara terbaik untuk memastikan.

"Akan kucoba, tapi kalau aku masih terbawa arus, tolong cari aku, ya?"

Roman tertawa kecil mendengar itu, jangankan terbawa arus, terpisah sedikit saja Roman pasti sudah berteriak-teriak memanggil Bianca untuk kembali berada di dekatnya. Ya, semoga saja hal itu tidak akan terjadi, bisa repot nantinya.

Mereka sampai di depan toko yang tadi ditunjuk olehnya, Roman segera mengevaluasi toko itu dari penampilan luarnya, namun...

"Roman, kamu yakin ini toko minuman keras?"

Ups, rupanya Bianca lebih lihai menilai dibanding dirinya yang bisa melihat. Apa boleh buat, ia tidak mengenal minuman keras lainnya selain Vodka, dan lagi, ia memang bukan penggemar minuman beralkohol. "... Sepertinya aku tertipu gara-gara botolnya deh," ujarnya, sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Setelah Roman teliti lebih lanjut, ia dapat menyimpulkan kalau toko di depannya ini bukanlah toko minuman keras, melainkan toko barang antik! Bukan hanya botol antik berumur tua yang dipajang di sana, tapi juga berbagai macam benda lainnya. Kalau ia bukan seorang Finder, tapi seorang turis biasa, ia pasti melangkahkan kakinya masuk untuk mencari oleh-oleh untuk Ludmyla dan keluarganya di Rusia. Namun, sekarang bukanlah waktunya untuk hal seperti itu.

Merasa kalau pencarian ini akan berlangsung lebih lama bila ia tidak mempunyai petunjuk yang jelas, ia memutuskan untuk bertanya pada penjaga toko yang berdiri di dekat sana. "Selamat pagi, Pak. Maaf, apa Bapak tahu di mana letak toko minuman keras berkualitas?" tanyanya sopan sambil menyertakan senyumnya.

Pria setengah baya yang ditanyanya berpikir sejenak, sebelum memberikan jawaban, "Di ujung jalan ini, ada toko seperti itu. Tapi, hati-hati, nak. Pemiliknya agak... eksentrik." katanya sambil memberikan emphasis di akhir kalimat.

Roman mengangguk, "Terima kasih, Pak!" Apa pula maksud 'eksentrik' yang dikatakan Bapak tadi? Roman tidak begitu peduli, yang penting ia bisa mendapatkan brandi dengan kualitas nomor 1 untuk Nona Giraile.

Pria Rusia ini kembali ke hadapan sahabatnya, "Kita harus jalan sampai ujung nih, Bianca." katanya sambil menepuk pundak Exorcist itu lagi, mengisyaratkan untuk kembali melanjutkan perjalanan, "Soal rasa nanti, aku mengandalkanmu, lho." ujarnya sambil tersenyum lebar, berkata jujur soal ketidaktahuannya tentang minuman keras khas negara-negara selain Rusia.

Quote :

"Kita harus jalan sampai ujung nih, Bianca."

Bianca tersenyum tipis. Sepertinya memang kehadirannya hanya bisa merepotkan orang lain, meski terkadang ia juga sangat berguna di saat yang hampir bersamaan. Seperti contohnya, tadi ia berhasil mengetahui bahwa toko yang dilihat Roman itu bukan toko minuman keras.

"Baiklah, ayo. Maaf ya aku hanya merepotkan," kata Bianca sambil tersenyum pahit. Bagaimanapun, sampai detik ini, ia masih berharap bahwa suatu hari nanti penglihatannya bisa kembali, entah kapan.

Quote :

"Soal rasa nanti, aku mengandalkanmu, lho."

"Eeh, tapi... Aku juga hanya tahu rasanya wine, champagne, dan cognag... lebih dari itu, aku tidak tahu..." kata Bianca, merendahkan diri. Satu hal yang tidak diketahuinya, cognac yang biasa diminumnya itu adalah salah satu jenis brandi...

Lokasi: masih di markas Black Order

---

Dentuman yang dihasilkan sepatu bot jenderal yang geram itu menggema sepanjang koridor, seraya ia kembali menuju daerah kamar pribadi jenderal dari kafeteria. Khusus hari ini, ia bangun lebih pagi dari biasanya karena keberadaan salah satu hal yang paling digemarinya: pasar pagi yang mengadakan gelar diskon. Gelar diskon yang tidak tanggung-tanggung pula, karena toko minuman keras impor favoritnya juga turut berpartisipasi. Ia tidak bisa lebih antusias dari ini untuk menggunakan uangnya untuk misi mahapenting ini.

Satu-satunya halangan baginya dari melejit pergi menuju pasar yang sudah buka sekarang? Shreizag Halverson, yang belum ditemuinya di kafeteria. Giraile berharap Shreizag tidak masih terlelap dalam dunia mimpi, karena tidak hanya Tuhan yang bisa menduga tindakan kekerasan apa yang bisa dilakukannya jika hal demikian yang berlaku. Ia mengetuk pintu kamar rekan jenderalnya dengan keras. "Shreiiiiii! Jangan bilang kau lupa janjimu, ya!"

Terdengar suara samar-samar dari dalam kamar. Bagus, paling tidak Shreizag sudah sadarkan diri. Giraile memutar gagang pintu, dan menemukan bahwa penghalang dirinya dari lelaki Norwegia itu tidak terkunci. Ia pun mendobrak masuk tanpa sungkan-sungkan. "Hoiii, bangsat--"

--dan rentetan umpatannya pun terhenti oleh pemandangan di hadapannya.

Lokasi : Ruang pribadi Shreizag

Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan sesosok pria berambut putih yang melangkah keluar, hanya memakai celana panjang sebagai penutup tubuhnya. Di belakangnya, uap dari sisa-sisa air panas mengepul keluar. Ia berjalan lebih jauh meninggalkan pintu tadi, dan mengambil sebuah handuk kecil yang tergeletak di atas meja. Sebelum ia selesai mengeringkan rambut putihnya dengan benda itu, suara ketukan keras terdengar dari pintunya.

"Shreiiiiii! Jangan bilang kau lupa janjimu, ya!"

Tanpa perlu ditanya, Shrei sudah tahu siapa identitas pengetuk tak sabaran itu. Ia menggosokkan handuk kecil itu ke rambutnya sekali lagi, kemudian berjalan ke depan pintu kamar mandi di mana ia bisa menyimpan handuk yang setengah basah itu di sana. Ia berjalan lagi ke depan mejanya, di mana kaos dan seragamnya tersedia, namun sebelum ia memakai pakaian itu, sang pengetuk yang tidak sabaran membuka pintu tanpa izin, disertai umpatan pula.

"Hoiii, bangsat--"

Hening.

Sejak pintu itu terbuka, Shreizag memang mengarahkan pandangannya pada sang pembuka pintu; Giraile Arevig Asdvadzadour, yang kini terdiam melihatnya. Kenapa? Oh, itu pasti karena dirinya belum memakai apapun di tubuhnya, kecuali celana panjang hitam yang hanya menutupi bagian bawah tubuhnya. Otomatis rekan jendralnya itu dapat melihat dengan jelas lekuk tubuh dan otot bagian atasnya. Tanpa apapun yang menutupinya.

Ekspresi dari sang pemilik ruangan itu masih datar seperti biasanya, seakan tidak terjadi apapun di sana. Dengan tenang, ia mengambil kaos hitamnya, dan memakainya. Setelah itu, ia baru angkat bicara, "Kenapa, Giraile?" tanyanya, nada bicaranya sama dinginnya dengan ekspresi yang ditampilkannya.

Kriiik, kriiik. Tidak, tidak ada suara jangkrik yang memenuhi keheningan itu. Kini, bertatapan langsung adalah wajah dingin Shreizag dengan wajah Giraile yang mulutnya menganga hingga batas maksimumnya. Menunjuk dengan gemetar, wanita barbarian itu pun tergugup-gugup, "K-K-Kauuuuu!!! Shreiiiii!"

Wanita Armenia itu memalingkan wajahnya, mengayunkan lengan kanan dengan sepenuh tenaga ke arah lelaki berambut panjang itu. Walau secara pribadi ia sangat ingin mendamprat rekan jenderalnya dengan sepenuh jiwa dan raga, yang kali ini sepenuhnya refleks sebagai wanita yang dihadapkan pada lawan jenis yang bertelanjang dada. Mendadak, ia bertanya-tanya bagaimana penampilan seorang lelaki lain jika yang bersangkutan juga bertelanjang dada--

Eits, cukup berfantasi. Masih dengan wajah geram, ia mengayun-ayunkan kedua kepalan tangannya dengan liar. "Kamu itu, mengumbar aurat memamerkan suatu hal yang tidak sepantasnya!"

Puas berteriak histeris, ia menarik napas, agak terengah-engah. Menyahutkan protes memang menguras energi. Tampaknya Shreizag tetap tanpa ekspresi seperti biasa. Menyilangkan lengan, ia berdecak kesal, sebelum meneruskan, "Grrr... Memangnya kamu tidak masalah jika melihatku bertelanjang dada, hah?!" Tampaknya wanita ini melupakan bahwa dirinya adalah seorang wanita juga.

"Daripada itu," mulanya, tetap bersandar pada bingkai pintu kamar Shreizag. Walau sudah dua tahun ia mengenal lelaki Norwegia itu, wanita gahar itu tetap merasa canggung berdua dengan seorang lelaki dalam kamar pribadinya... ya, walau lelaki yang bersangkutan tidak menganggapnya wanita. "Cepat pakai bajumu! Kau mau kita kehabisan bran--barang diskon?"

Giraile masih di sana, dengan ekspresi yang, cukup jarang ditampilkannya. Mengingat wanita yang bersangkutan mempunyai harga diri yang tinggi untuk menjaga image dirinya. Ya, mulutnya yang menganga sampai batas maksimumnya itu merupakan pemandangan yang cukup jarag terlihat.

"K-K-Kauuuuu!!! Shreiiiii!"

Sementara Giraile menunjuk dan meneriakinya, dengan tenang Shrei mengambil seragamnya yang terhampar di meja. Sampai, wanita itu memalingkan wajahnya dan mengayunkan tangan kanannya sekuat tenaga kepadanya. Ouch, Shrei dapat merasakan tamparan itu, tapi toh itu bukan apa-apa. Giraile pernah melakukan yang lebih dari ini.

"Kamu itu, memamerkan suatu hal yang tidak sepantasnya!"

Ekspresi pria Norwegia ini masih datar, tangannya membuka kancing di seragamnya sementara mendengar protes wanita berkebangsaan Armenia tersebut. Ah, Giraile berhenti untuk mengambil nafas sesaat, dan saat itu Shrei dengan tenang memakai seragam hitam-merahnya sampai rapi.

"Grrr... Memangnya kamu tidak masalah jika melihatku bertelanjang dada, hah?!"

Shreizag menaikkan alisnya yang tipis sedikit, mencerna kalimat yang baru dilontarkan oleh wanita di hadapannya. Melihat dia beretelanjang dada? Tidak, Shreizag tidak mau. Bahkan dalam mimpi buruknya sekalipun. Tapi tentu saja ia tak perlu mengatakan itu pada Giraile, toh yang bersangkutan juga tidak akan menyukai jawabannya itu. Bisa-bisa tinjunya melayang lagi.

"Daripada itu... Cepat pakai bajumu! Kau mau kita kehabisan bran--barang diskon?"

Pria berambut putih yang kini telah memakai jubahnya itu akhirnya teringat akan janjinya untuk menemani Giraile ke pasar Westminster yang sedang menggelar diskon besar-besaran. "Hmm," gumamnya, menjawab seruan Giraile, sekarang ia memakai kalung kesayangannya, dan setelah merapikan rambut putihnya ia kembali bicara, "Kau sudah beritahu Nona Michelli?" tanyanya, dengan asumsi bahwa Giraile juga telah mengajak Ingressa, tidak mungkin ia pergi berduaan dengan Jendral wanita ini kan?

Dengan gusar, Giraile menghentakkan keras kakinya pada lantai kamar Shreizag. Pria Norwegia itu seakan-akan mengenakan bajunya dalam slow motion, sesuatu yang sangat mengganggu wanita yang menyilangkan lengannya dengan tidak sabar itu. Melihat Shreizag selesai mengenakan baju, ia tersenyum asimetris, sebelum menyahut, "Akhirnya--"

"Kau sudah beritahu Nona Michelli?"

Ah, ya, partisipan ketiga kelompok belanja mereka hari ini. Giraile tertawa kecil, sebelum mengucapkan dengan penuh keangkuhan, "Ha! Tentu saja sudah! Karena kau sudah siap, mari kita jemput dia di kamarnya." Secara jarak, memang kamar Shreizag yang nota bene jendral lebih dekat dengan kamar Giraile. Kini, tujuan kedua jendral ini adalah kamar Ingressa Michelli, nomor tujuh.

"Ayo, cepat!" Dengan kasar, ia pun menarik lengan lelaki berambut putih itu, menyeretnya ke tujuan. Wanita ini tidak suka membuang-buang waktu, singkat kata.

"Ha! Tentu saja sudah! Karena kau sudah siap, mari kita jemput dia di kamarnya."

... Tapi kau belum beritahu dia kalau kita akan berangkat sepagi ini, bukan? Ya, Shrei rasa Giraile belum melakukannya. Sekarang saat persiapannya sudah selesai--tidak lupa menyampirkan tas pinggang berisi peralatan make-up-nya--pria Norwegia ini siap pergi kapan saja.

"Ayo, cepat!"

Aihh, Giraile benar-benar seorang wanita yang tidak sabaran, ke mana sih kualitas feminimnya? Bahkan Timcanpi harus susah payah menutup pintu kamar pribadi Shreizag karena Jendral barbar itu sudah menyeretnya untuk menelusuri lorong menuju kamar pribadi Ressa. Kalau kalian mau tahu, genggaman tangan Giraile itu kuat; Shrei curiga nanti akan ada bekas cengkraman tangan terpampang di lengannya. Ya, bukan berarti ia akan mempedulikan hal itu.

Kini mereka tiba di depan pintu kamar Ressa, pria Norwegia ini maju selangkah. Dengan satu tangannya yang dibalut sarung tangan hitam, ia mnegetuk pintu perlahan, "Nona Michelli," panggilnya pelan, namun ia yakin suaranya akan terdengar sampai ke dalam. Berteriak pagi-pagi itu tidak sopan, dan lagi ini di depan kamar seorang wanita. Shrei menurunkan tangannya, dan mundur satu langkah untuk memberi jarak bila nanti pintu itu terbuka. Semoga saja Ressa sudah siap sehingga mereka bisa langsung berangkat, tapi ia sendiri tidak yakin dengan hal itu...

Ressa tengah memandangi dirinya sendiri di cermin. Tentu saja bukan dengan senyum bodoh yang mengatakan 'beatapa cantiknya aku', tapi dengan tatapan yang lebih dalam. Manusia yang ia pandangi di cermin adalah seorang wanita yang telah dewasa, dan sebagai wanita dewasa, ia ingin menjadi wanita yang bisa memberi inspirasi bagi orang-orang lain, dan kalau bisa, ya, jika Tuhan mengijinkan, ia ingin hidup selamanya, dengan karunia yang telah Ia berikan sebelumnya kepada Adam dan Hawa, pria dan wanita yang diberkahi hidup abadi, namun tak cukup cerdas untuk menjaganya.

Ressa perlahan menyisir rambutnya. Rambutnya yang panjang dan berwarna pirang itu kini dengan lembut jatuh ke dadanya. Rambutnya mungkin tidak akan sepanjang ini sekarang jika Shrei sudah datang ke kamarnya kemarin. Tapi Ressa tetap menyayangi rambutnya, tidak soal sepanjang apa rambut itu di kepalanya.

Tubuh Ressa yang mungil masih terbalut dressing gown-nya. Ini kan masih pagi. Ressa mengambil secangkir kopi hangat dan menghirupnya. Rambutnya yang kini telah rapih menjuntai di punggungnya. Gaun tidur berwarna cream dengan hiasan renda di bagian lehernya itu pun kini berkilau terkena cahaya matahari yang hangat. Ah, pagi macam apa yang bisa jadi lebih baik dari ini?

Tok! Tok!

Suara ketukan di pintu. Ya, mungkin saja staff manajemen hari ini datang sedikit lebih pagi. Lain kali akan kutegur mereka kalau datang lebih pagi dari ini.

"Ya, sebentar," sahut Ressa dari dalam kamar. Ia pun melangkah menuju pintu dan akan membukanya ketika...

"Nona Michelli,"

Ya Tuhan! Shrei! Ressa tentu tidak akan begitu saja mambukanya bila tahu bahwa itu Shrei dan bukan seorang gadis staff manajemen yang biasa datang setiap pagi ke kamarnya. Tapi terlambat. Pintu sudah terbuka dan di balik pintu sana terlihat wajah dingin Shrei dan senyum garang Giraile.

Ya, sudahlah. Toh ini bukan pertama kalinya Shrei melihat Ressa dalam balutan dressing gown.

Pintu terbuka, dan Ingressa Michelli, sang pemilik ruangan, masih mengenakan dressing gown-nya yang berwarna krem. Nah, apa dia bilang. Giraile terburu-buru sehingga sang nona Italia tidak sempat merapikan dirinya sendiri untuk acara yang mereka nantikan hari ini.

"Selamat pagi," Shreizag memulai dengan salam basa-basi, "Kami kemari untuk menjemput Anda, tapi..." ia melirik Giraile, yang kelihatan tidak sabaran. Baik, dan kadar kesabarannya itu akan kembali diuji karena Ressa masih harus bersiap-siap. Tidak mungkin seorang Lady terhormat ke tempat umum dengan dandanan sembarangan, bukan? "... Mari saya bantu bersiap-siap, Nona." oh, tanpa dimintapun, Shreizag memang ingin tangannya bereksperimen lagi, apalagi, ia sudah terbiasa dengan 'pelanggan'nya satu ini.

Dengan itu, ia beranggapan kalau Ressa akan setuju, dan ia melirik Giraile yang berdiri di sampingnya, "30 menit." katanya singkat, kemudian masuk ke kamar Ressa untuk mulai membenahinya. 30 menit itu sudah termasuk cepat, untuk mendandani seseorang dari awal sampai akhir. Jadi, bersabarlah sedikit lagi, Giraile Asdvadzadour.

"Selamat pagi. Kami kemari untuk menjemput Anda, tapi..."

Ya, salam yang sangat tepat! Sekarang masih pagi, dan apakah Shrei dan Giraile benar-benar serius akan pergi sepagi ini? Ressa menatap kedua rekannya yang sudah berkostum rapi. Syukulah mereka berdua General, sehingga tidak perlu repot-repot memikirkan pakaian apa yang akan mereka pakai untuk pergi ke luar markas, tapi dia..

Mata Ressa melirik tubuhnya yang hanya terbalut gaun tidur krem. Ressa perlu dan harus ganti baju, hanya saja hal itu akan makan waktu yang lama --- setidaknya dari sudut pandang Giraile.

"Halverson, Giraile, aku belum berpakaian. Kalian tunggu sebentar, ya," ujar Ressa sambil mempersilakan mereka semua masuk.

"... Mari saya bantu bersiap-siap, Nona."

Thanks God! Keberadaan Shrei dapat mempersingkat waktu berpakaian Ressa menjadi sekitar setengah jam, paling lambat.

"Grazie, Halverson, aku sangat menghargainya."

"30 menit."

Ya, perkiraan Ressa tidak jauh berbeda dengan perkiraan Shrei, karena ini bukan pertama kalinya Ressa membiarkan Shrei menghias tubuhnya dengan berbagai macam ornamen. Jadi, semoga Giraile mendapat banyak kesabaran kaii ini.

Ah, ternyata Ingressa belum bersiap-siap. Lihat saja kostum yang masih melekat di tubuhnya, dressing gown. Dalam batin, Giraile merasa ingin menepuk jidat Shreizag (tanpa alasan) dan jidatnya sendiri; semestinya ia memang memberi tahu waktu kumpulnya ketimbang berharap dua orang yang lain akan seantusias dirinya untuk bangun pagi di hari pesta diskon.

"30 menit." Itulah yang diucapkan lelaki maniak mendandani itu. Giraile hanya mendengus, sebelum ia duduk bersila, menyandarkan badannya pada dinding di sebelah pintu kamar bernomor tujuh itu. Ia menengok ke arah Shreizag, mata amber menatap tajam. Seringai lebar yang menandakan kegeramannya pun dipajangnya. "Aku hitung, lho, kalau melebihi..."

Jari telunjuknya digerakkannya melintasi leher, seakan melengkapi kalimatnya dengan 'siap-siap saja digorok'. Mengibaskan tangannya, ia pun mewanti-wanti Shreizag untuk bergegas, "Husy, cepat kerjakan biar cepat selesai!"

"Aku hitung, lho, kalau melebihi... Husy, cepat kerjakan biar cepat selesai!"

Ressa berbalik. Tentu saja mereka tidak akan menghabiskan lebih dari 30 menit jika Shrei secekatan biasanya.

"Tenanglah Giraile, kami akan bereskan ini secepat mungkin," ujar Ressa sambil mengedipkan sebelah matanya. "Mau masuk?"

Ah, sudahlah. Ressa mendahului Shrei dan Giraile masuk ke kamar. Kalau Shrei, kemungkinan besar dia akan mengikuti Ressa. Kalau tidak, bagaimana ia dapat membantu Ressa berpakaian? Sedangkan Giraile.. ya, terserah dia saja deh.

...............

"Jadi Halverson," kata Ressa sembari duduk di atas ranjangnya. "Mulai dari mana kita?"

Ressa melayangkan pandangannya ke arah lemari pakaiannya yang terbuka lebar, memamerkan koleksi pakaian versi 'beradab' milik Ressa, sesuatu yang hanya akan ia pakai ketika berada di luar markas.

"Mana yang paling menarik? Aku sih, menyerahkan semuanya ke tanganmu. Biasanya kan, kau tahu yang paling baik..."

Pintu ditutup, ia rasa Giraile tidak akan mau menonton ia mendandani Ressa, ia tahu karena ini bukan pertama kalinya mereka berada situasi seperti ini. Ya, Giraile tidak pernah mau melihat orang lain didandani, apalagi bila harus ia sendiri yang didandani.

"Jadi Halverson, mulai dari mana kita?"

Shreizag menoleh, melihat Ressa yang kini menunjukkan beberapa koleksi gaunnya. Ah ya, ini juga bukan pertama kalinya ia melihat gaun-gaun itu.

"Mana yang paling menarik? Aku sih, menyerahkan semuanya ke tanganmu. Biasanya kan, kau tahu yang paling baik..."

Berpikir sejenak, sebelum menunjuk gaun berwarna biru beraksen krem tanpa ragu, "Saya rasa yang ini paling cocok," warnanya cerah, tidak monoton. Dan yang pasti, masih cocok dengan rambut gading milik Ingressa. Kemudian tangannya mengambil korset yang biasa Ressa pakai dari lemari yang sama, "Mari, saya bantu mengenakan korset." dan iapun harus bersiap mendengar rintihan pelan keluar dari Section Leader wanita itu.