[ASIA] Just Walking Around

Thread OPEN untuk semua yang di Asia :3

Timeline: Setelah 'The Musician'
Waktu: Sore hari *sepertinya* sekitar jam 3-an
Lokasi: Di kota... pusat perbelanjaan

---

Fuuuh~

Udara dingin nan kering, serta matahari sore yang terbilang terik menyambar deretan manusia yang berlalu-lalang di tempat ini. Waktu terbilang sore memang, tapi itu tidak menjadikan siapapun yang ada di tempat ini harus kembali ke rumahnya dan bersiap-siap menyajikan makan malam. Karena realitinya, ada juga orang yang tengah berjalan-jalan sore, mencari sejenis cemilan serta sebungkus teh.

Selamat Sore Semuanya...

Kali ini Jeong Hu menjajakan kakinya di tempat keramaian umum, menghalau apa kata petugas medis untuk tetap beristirahat di dalam kamarnya dan hanya diam sementara racikan obat aneh menunggu untuk diminum

Benar, itu membosankan. Sekali-kali bolehlah ia kembali ke masa mudanya, maksudnya kembali menjadi seseorang yang bisa menjejakan kaki di manapun tanpa takut apapun. Oke, umurnya bukan lagi berkepala 1 atau kesehatannya tidak lagi seperti orang-orang yang bebas berlarian. Namun ia cukup memiliki prinsip untuk tetap hidup selama ia bisa hidup.

Dan...

Sejenak langkahnya terhenti, menatap ke arah belakang dan mengerutkan dahi, eh... di mana disciple-nya itu? Bukankah tadi mereka pergi bersama?

"Ia pasti tertinggal di antara kerumunan manusia ini," hanya menggumamkan kalimat pelan sementara terus diam menunggu munculnya sosok berkewargaan sama dengannya itu dari balik kerumunan yang ada.

Sesuai janjinya dengan Generalnya, Lim Jeong Hu, Song Eun Su akan pergi berjalan-jalan dengannya sore ini. Sayangnya, Eun Su tak punya pertahanan apa-apa untuk melawan cuaca yang semakin dingin ini. Syal satu-satunya, yang dirajut ibunya beberapa tahun yang lalu ternyata sudah robek. Entah siapa yang melakukan hal ini, yang jelas, Song Eun Su harus membeli syal baru untuknya.

Kota Guang Zhou tampak begitu ramai hari ini. Orang-orang memenuhi jalanan. Mungkin mereka berjalan-jalan bersama keluarga mereka, menikmati hidangan lezat dengan kehangatan keluarga. Euh, Eun Su sudah berjanji tidak akan mengeluh lagi bukan? Black Order adalah 'keluarga'nya yang baru. Dan di sampingnya ada general yang bisa diandalkan...

"...Eh, Jeong Hu-nim?" ucapnya perlahan saat mengetahui generalnya itu tidak ada di sampingnya. Kecepatan berjalannya memang lambat, tapi jangan salahkan pemuda Korea itu. Ditambah lagi gayageumnya yang berat itu semakin memperlambat kecepatan berjalannya.

Setelah melewati kerumunan orang banyak dengan susah payah, akhirnya Song Eun Su menemukan Jeong Hu, yang sedang diam menunggunya.

"Maafkan aku, Jeong Hu-nim," ucapnya tenang dengan raut muka agak bersalah (yang cukup samar untuk dilihat). Kemudian exorcist ini menggosokkan kedua tangannya untuk kehangatan, walaupun ia tahu hal itu tak berarti banyak.

Satu...

Dua...

Terus menghitung detikan yang bergerak di kepalanya. Huff, lama juga ternyata bagi Eun Su untuk menyusul gerak jalan orang tua yang agak rapuh (?)

Dua belas...

Tiga belas...

Masih menghitung, memandang kerumunan orang di belakangnya, berharap segera cepat datang atau toko teh akan tutup dalam hitungan jam. Oke, mana dia, maksudnya si pemuda berseragam hitam yang memanggul kecapi tua di bahunya.

Dua puluh lima...

Dua puluh enam...

... Akhirnya, terlihat... sebenarnya hanya melihat sembulan gayageum yang biasa Eun Su bawa dari balik kerumunan. Tapi general senior ini tetap berharap bahwa itu dia. Dan...

"Maafkan aku, Jeong Hu-nim,"

Sedikit menghela nafas sembari memerhatikan muridnya itu, ... fuh~ mungkin acara jalan-jalan di kala seperti ini memang tidak bagus ya. Bisa-bisa Jeong Hu menghilangkan anak orang lagi. Tapi yang bisa dilakukannya sekarang hanya menyunggingkan senyuman biasa, ah sudahlah dan tidak mengomentari hal macam-macam.

"Yah sudah, yang penting kamu tidak tersesat. Sekarang... kita ke mana dulu?" bertanya lagi, berharap toko teh itu masih buka atau ia akan kehabisan stok. Tapi pandangannya terarah lagi pada si murid... bukankah tadi ia bilang untuk memakai syal? Ini kan musim dingin. Atau...

Dingin.

Ya, cuaca hari itu begitu dingin. Januari masih cukup panjang, mungkin udara dingin ini akan bertahan lebih lama. Dan, pemuda exorcist ini benar benar tidak memakai aksesori tambahan untuk berlindung dari hembusan angin. Seragamnya cukup hangat, tentu, tapi masih belum cukup.

Tampaknya, jendralnya, Lim Jeong Hu, tidak marah atas kelambatannya tadi. Malahan ia tersenyum dan membiarkan kesalahan kecilnya itu. Hmm, ke mana ya lebih baik mereka pergi dulu?

"Jeong Hu-nim...bolehkah saya membeli syal di toko itu?" tanya Eun Su tenang. Sebenarnya ia tidak mau menghambat acara minum teh jendralnya itu, tapi apa boleh buat. Eun Su butuh syal yang baru untuk sisa musim dingin ini.

"Jeong Hu-nim...bolehkah saya membeli syal di toko itu?"

Sedikit melayangkan pandangannya lagi, sebenarnya agak kecewa karena pilihan Eun Su bukannya toko teh melainkan toko syal. Oke, apalah pentingnya syal di hari sedingin ini? Tentu sangat penting bahkan mungkin lebih penting daripada secangkir teh.

... "Ah, memangnya kenapa dengan syalmu?" bertanya, seperti sengaja mengulur waktu. Oke sekarang mereka masih berada di tengah jalan. Dan tiba-tiba terpikirkan sesuatu oleh otak General yang berpikiran super santai itu.

"Bagaimana kalau beli syalnya nanti saja, aku ingn ke toko teh dan jika tidak cepat-cepat ke sana tokonya akan segera tutup," ucapnya kemudian. Lagipula sebenarnya Jeong Hu membutuhkan jasa muridnya sebagai kuli panggul, makanya ia menyeretnya untuk ikut berbelanja.

---

Eun Suu~ ntar syalnya dikasih terakhir ya :3
dikasih yang punya Jeong Hu nanti, jadi turun temurun dari guru ke murid xD

Pasangan General dan Disciple itu kembali berjalan. Eun Su masih tetap kedinginan, warna tangannya mulai memucat. Baiklah, Eun Su sepenuhnya sadar rute yang mereka tempuh bukan menuju toko hasil rajutan yang ingin ditujunya, melainkan ke arah toko teh. Eun Su menatap Jeong Hu tanpa ekspresi, saat Generalnya itu sedikit berbasa basi.

"Syalku robek, entah oleh siapa...," jawabnya singkat dengan menggunakan Bahasa Korea. Sudah lama ia tidak menggunakannya, apalagi setelah kematian ibunya. Rasanya tidak apa apa untuk menggunakan bahasa ibunya itu sesekali pada Jeong Hu, yang berasal dari Korea juga.

Akhirnya dugaan Eun Su terbukti setelah permohonan Jeong Hu untuk terlebih dahulu menuju toko teh. Aigo... Tampaknya beliau benar benar menginginkan teh.

"Baiklah, saya tidak keberatan, Jeong Hu-nim," balasnya tenang. Mungkin segelas teh hangat bisa membantunya menghalau rasa dingin sampai ia mendapat syal barunya.

"Syalku robek, entah oleh siapa...,"

... "Oh," hanya kata itu yang keluar dari mulutnya kemudian melanjutkan jalan. Jeong Hu seperti benar tidak ingin ketinggalan tehnya, karena memang kalau ia tidak cepat, toko teh itu keburu tutup dan ia harus menunggu keesokan harinya. Itupun kalau stoknya masih ada.

"Baiklah, saya tidak keberatan, Jeong Hu-nim,"

Dan akhirnya sebuah persetujuan yang membuat Jeong Hu tersenyum puas. Anak ini penurut juga rupanya... "Oke, kalau begitu tahan sedikit dinginmu." Ucapan tanpa nada menyuruh seperti biasa. Entah walau terlihat baik sebenarnya ia memiliki sisi sarkastik yang hanya diperlihatkan pada beberapa orang, mungkin salah satunya adalah pada Disciplenya.

...

[Toko Teh]

Melangkah masuk tanpa ragu dan langsung menemui sang pemilik toko. Duduk di satu meja untuk menikmati secangkir teh sementara pegawai di sana memersiapkan pesanannya.

"Seperti biasa," ucapan singkat diiringi senyum pada sang pelayan. Yah, General satu ini memang sudah sering datang ke tempat ini, meminum secangkir teh lalu membawa pulang bungkusan persediaan baginya.

Dan kali ini ia sendiri, setelah memberikan tanda bagi Disciplenya untuk turut duduk kemudian Jeong Hu memberikan instruksi baginya untuk ikut minum. "Pesanlah yang kamu mau," ... hanya teh kan tidak masalah. Bukan minuman beralkohol.

Akhirnya mereka sampai di toko teh yang penuh itu. Ternyata ucapan Generalnya memang beralasan. Untung saja ada tempat duduk kosong beberapa saat setelah Eun Su dan Jeong Hu masuk. Kelompok itu lalu duduk, dan memesan teh.

"Saya mau teh hijau saja," pesan pemuda Korea ini datar. Udara di toko teh ini cukup hangat, mungkin karena banyak orang dan uap teh panas yang baru saja disajikan.

"Terima kasih sudah mengajakku ke sini, Jeong Hu-nim," ucapnya tenang sambil menikmati suasana toko teh itu. Sepertinya selera mereka berdua cukup mirip. Acara jalan jalan ini sepertinya akan menyenangkan.

[Lokasi : Toko Teh]

Seorang General wanita asli Cina sedang duduk di sebuah toko teh, menikmati teh ginseng kesukaannya, sambil mengemil onde-onde. Untuk apa seorang Tek Xiao Ling susah-susah pergi ke toko di luar markas padahal ia bisa menikmati semua itu di dalam markas? Jelas, karena ia sedang tidak ingin berada di dalam markas. Apa alasannya, hanya Xiao Ling sendiri dan Tuhan yang tahu.

Saat ia sedang melahap onde-ondenya yang entah ke berapa (sudah ada beberapa piring bertumpuk di hadapannya), ia melihat 2 sosok yang dikenalnya masuk ke dalam kedai itu. Xiao Ling mau berteriak memanggil keduanya, tapi mulutnya sedang penuh dengan onde-onde. Akhirnya, setelah bersusah payah menghabiskan porsi terakhir onde-ondenya, ia membayar semua yang sudah dilahapnya tadi dan berjalan ke arah meja kedua orang itu.

"Hai, Jeong Hu, Eun Su. Kebetulan sekali, kita bertemu lagi di sini," kata Xiao Ling sambil menarik satu kursi lagi dan duduk bersama mereka, tanpa menunggu protes dari keduanya. Tidak tahu malu? Mungkin.

Secangkir teh hijau untuk Eun Su dan teh ginseng untuknya. Kenapa ginseng? Oh ya... semua pasti tahu kalau tanah kelahirannya terkenal dengan tumbuhan itu, dan hal ini pula lah yang menyebabkan Jeong Hu agak fanatik dengan teh.

Menghirup sejenak tehnya, mencoba merasakan desir halus yang memasuki kerongkongannya. Kemudian menaruh cangkirnya kembali begitu ada sebuah suara yang dikenalnya.

"Hai, Jeong Hu, Eun Su. Kebetulan sekali, kita bertemu lagi di sini,"

Oke, itu suara yang bukan hanya dikenal, tapi sangat dikenal. Jeong Hu memalingkan pandangannya pada general wanita yang... oke sedikit nyentrik untuknya. Bagaimana tidak, tanpa permisi langsung saja mengambil bangku kosong di sana dan mendudukinya. Bukan etiket yang baik tapi biarlah.

"Anda minum teh juga General?" balik bertanya, hanya bisa menunjukkan sikan ramah seperti biasa, dan tidak berniat memrotes. Dan satu hal lagi, ia tidak menyangka kalau Xiao Ling juga suka meminum teh di luar.

Ternyata benar, begitu teh mengalir dengan lancar menuju tenggorokannya, muncul kehangatan dan ketenangan pada diri Eun Su. Alasan inilah yang membuat Eun Su cukup menyukai teh. Lumayan untuk mengurangi rasa dingin yang dari tadi ia rasakan.

Fuuh, pemuda Korea itu menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Sampai ia mendengar suara familiar yang menyapa Eun Su dan General di sampingnya itu.

"Oh...," ucapnya datar. Jeong Hu sudah menanyakan hal yang ingin ia tanyakan, jadi ia hanya sedikit merespon saja. Tiba-tiba Eun Su teringat sesuatu hal.

"Kohler tidak bersamamu, Xiao Ling-nim?" tanya Eun Su.

[OOT : tadi eun su kedobelan, skalian saya delete 1..]

---

Sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab dilontarkan oleh Jeong Hu. Sekarang ia berada di toko teh, apa lagi yang bisa dilakukannya selain minum teh? Tapi ia sedang tidak ingin memancing pertengkaran. Sesekali, perlu juga ia bersikap sopan pada orang yang lebih senior darinya...

...dan Xiao Ling tersadar, Jeong Hu lebih tua 10 tahun darinya. Bagaimana ia bisa memperlakukan General senior itu lebih kurang ajar daripada Ravel Kohler, padahal Jeong Hu dan Ravel hanya terpaut 3 tahun?

"Ah, iya... Teh di sini enak, jadi kupikir sekali-sekali bersantai di sini boleh juga," jawab Xiao Ling, beralasan. Kalau tujuannya datang ke tempat itu hanya untuk menikmati secangkir teh, ia bisa selalu menyuruh seseorang untuk membelikannya agar ia tidak perlu repot-repot keluar sendiri. Tapi karena bukan itu tujuannya, ia dengan senang hati pergi sendiri.

Quote :

"Kohler tidak bersamamu, Xiao Ling-nim?"

Xiao Ling yang agak tidak fokus mengangkat sebelah alisnya dan berusaha mencerna kata-kata Eun Su. "Oh...." sahutnya pelan setelah ia mengerti arti kalimat itu --yang seharusnya tidak perlu dipikirkannya selama itu--

"Heidrich... kurasa dia ada di kamarnya. Sesekali ia juga butuh istirahat," jawab Xiao Ling ringan. Ia tidak perlu memberikan jawaban yang panjang, bukan?

"Hng..." Jeong Hu tidak berkomentar lagi, ia tahu kok bahwa percakapan saat itu adalah sebuah basa-basi yang dilakukan oleh orang tua. Jika kau tidak sabar ketika menghadapinya maka bisa saja kadar tempramenmu bertambah. Mungkin.

Menghirup tehnya, dan menaruhnya kembali. Sekarang isinya tinggal sekitar setengah dari yang ada. "Aku tidak menyangka saja kalau ternyata Anda suka bepergian ke tempat seperti ini sendirian, General." Menyunggingkan senyum dan tetap berbasa-basi. Kalau tidak begitu maka suasananya akan sepi kan, lagipula belum tentu Xiao Ling senang diajak mengobrol soal apa yang menjadi kegemarannya itu.

Pertanyaan selanjutnya dari obrolan Eun Su tentang Heidrich hanya membuat Jeong Hu mengangguk. Ah... benar juga, biasanya General wanita satu ini selalu dibuntuti oleh Disciple kecilnya. Namun ternyata kali ini ia benar-benar sendiri saja.

Tidak mau lagi berkomentar. Biarlah ia menjawabnya dulu.

---

Ajegile webe desu

Song Eun Su kembali menyeruput teh hijau hangat miliknya itu hingga habis. Omona..benar benar enak. Lain kali Eun Su harus mentraktir Generalnya itu ke toko teh ini. Tak heran ia begitu menyukainya.

Rasanya agak aneh, Xiao Ling menjawab pertanyaan basa basi yang dilontarkan Eun Su tadi dengan jeda cukup lama. Mungkin ada sesuatu yang ia pikirkan tentang Kohler kecil? Ah, rasanya tidak terlalu penting juga untuk ditanyakan, dan kurang sopan.

"Ah, begitu. Sayang sekali," balasnya singkat tanpa ekspresi.

---

OOT : emang benar benar tenaang, sampai membuat bingung mau balas apa *plak*

Quote :

"Aku tidak menyangka saja kalau ternyata Anda suka bepergian ke tempat seperti ini sendirian, General."

"Perubahan suasana itu perlu juga, sesekali," balas Xiao Ling datar. Ia lalu memanggil salah seorang pelayan dan memesan teh ginseng, seperti yang ia pesan sebelumnya.

Pernyataan tambahan dari Eun Su tidak begitu digubrisnya, toh itu hanyalah pernyataan yang tidak perlu dijawab. Ia tidak begitu suka menghabiskan nafasnya untuk mengatakan hal yang tidak perlu dikatakan.

"Omong-omong, Jeong Hu... Kamu sendiri ada urusan apa keluar?" tanya Xiao Ling, basa-basi. Ia tahu, pasti General senior itu keluar hanya untuk minum teh dan membeli kaktus baru. Sedikit banyak ia ingat hobi pria paruh baya itu.

Memikirkan tentang hobi, Xiao Ling berusaha mengingat kembali apa yang menjadi hobinya dulu, saat ia masih belum begitu sibuk mengurusi banyak hal setelah dilantik menjadi General. Sayangnya, daripada mengingat apa hobinya dulu, ia malah teringat tentang kegiatan surat-menyurat yang kini ditekuninya.

Dan tanpa disadarinya, ia sudah menerawang ke arah pintu kedai.

"Omong-omong, Jeong Hu... Kamu sendiri ada urusan apa keluar?"

Agak sedikit tercengang juga dengan pertanyaan dari Xiao Ling, hal seperti itu kan hanya basa-basi saja. Semua orang di markasnya juga tahu kalau general satu ini adalah penggila teh dan kaktus, jadi buat apa ia menjawab?

"Hmp..." akhirnya tidak bisa lagi menahan tawa pelannya. Sejak tadi Jeong Hu tahu bahwa apa yang dilakukannya dan dua orang di sini adalah formalitas. Mungkin mereka pikir ini cara sopan untuk menghormati orang tua sepertinya? "Ya ampun General, bukankah Anda juga tahu kalau saya ke kedai teh berarti saya membeli teh."

Lalu melirik kedua 'anak' muda yang duduk satu meja dengannya itu. "Bisa kah kalian bersikap... lebih santai eh?" bertanya lagi. Oke, kalau seperti ini lama-lama Jeong Hu bisa menganggap bahwa dirinya benar-benar sudah menjadi kakek-kakek berumur 70 tahunan.

Sejujurnya, Song Eun Su agak tidak mengerti apa yang dimaksud Generalnya. Eun Su hanya bicara seperti biasa, apa ada yang salah dengan itu?

"Maaf, Jeong Hu-nim, saya tidak bermaksud demikian," ucapnya datar dengan sedikit senyum terpasang di mukanya.

Dingin...

Rupanya teh hijau yang enak itu hanya berefek sebentar. Dia tak berharap lebih dari segelas teh, tentu. Hmm, apa pemuda Korea itu boleh meminta seporsi kue onde onde dan segelas teh lagi?

"Aku pesan onde onde dan segelas teh hijau lagi," ucapnya pada seorang pramusaji yang tadi mengantarkan teh padanya. Pemuda itu mengangguk, dan segera menyodorkannya pada Eun Su.

"Kalian mau tambah? Kali ini aku yang traktir, kalau begitu," tanya pemuda Korea itu sambil tersenyum. Jika Jeong Hu ingin gaya bicara agak kasual, Eun Su akan memberikannya, walaupun masih dalam tingkat semi-formal. Uangnya masih cukup banyak, dia tipe orang yang hemat sebenarnya, tapi sesekali menjamu orang yang dihormatinya perlu, bukan?

Quote :

Bisa kah kalian bersikap... lebih santai eh?"

Ditegur seperti itu, Xiao Ling hanya tersenyum tipis sebelum kembali meneguk tehnya. Santai? Ia santai, kok. Lihat, sekarang ia sedang bermalas-malasan di sebuah kedai teh, di saat seharusnya ia ada di markas untuk melatih Disciple-nya atau membereskan tumpukan dokumen yang sudah menunggak di meja kerjanya...

Xiao Ling menurunkan gelasnya dengan agak keras. Rasanya ia kesal sendiri memikirkan tentang banyaknya pekerjaan yang bisa ia selesaikan selama ia duduk diam di sana. Andaikan saat itu di hadapannya ada arak, mungkin ia sudah meminumnya sekarang sangking kesalnya.

Quote :

"Kalian mau tambah? Kali ini aku yang traktir, kalau begitu,"

"Tidak, terima kasih. Aku bisa bayar sendiri," tolak Xiao Ling halus.

"Maaf, Jeong Hu-nim, saya tidak bermaksud demikian,"

Tidak memberikan teguran atas pernyataan itu, memang jelas kok apa yang dikatakannya tidak mudah dimengerti. Jadi biarlah anak itu berpikir atau melupakannya sejenak.

Dan satu tawaran lain dari Eun Su, "Kalian mau tambah? Kali ini aku yang traktir, kalau begitu," loh... tumben ia baik sekali. Apa memang gaji exorcistnya tidak pernah dipakai untuk membeli hal lain yang lebih penting kah?

"Sebaiknya simpam saja uangmu itu nak, bukankah seharusnya kau membeli barang yang lebih berguna seperti misalnya ehm..." menghentikan bicaranya sejenak, terpikir hal yang tadi terbesit dalam benaknya. "Syalmu itu?" menunjuk area yang tidak terlindungi. Tidak tahukah ini musim apa?

Menghirup kembali tehnya, "Kalau sudah selesai dengan acara minum teh ini mungkin sebaiknya kita segera mencari syal untukmu, Eun Su." Berkata lagi, yah... sebelum hari gelap dan udara semakin mendingin kan?

OOT: Ikuuuuttt!!! >w< *pokes Jenderal Jeong Hu* Belum begitu terlambat kan?

==============================

[Lokasi: Beberapa meter jauhnya terpisah dari Jeong Hu dan Eun Su, masih di jalan]



Dingin...

Lian Jie merapatkan syal di lehernya sambil menghembuskan nafas yang langsung membentuk asap putih hangat di depan mulutnya. Langkah kakinya terasa berat dan dunia seakan bergoyang setiap kali ia menapakkan langkahnya.

Pusing...

Serius, kepalanya pening sekali. Pasti karena, lagi-lagi, ia kebanyakan berlatih malam tadi dan tidak tidur sampai pagi. Lagipula, sesuadah itu dia harus melanjutkan belajar bersama staf-staf Black Order. Haaaahh.... Memang melelahkan. Tapi kalau dia tidur, dia pasti akan melihat mimpi buruk itu lagi. Perut Lian Jie mual ketika ia mengingat tumpukan mayat di hadapannya.

Mendadak tenggorokannya seperti tercekik dan Lian Jie terbatuk keras. Setetes ingus bahkan sempat mengalir sedikit dari hidungnya. Ah, flu ini sangat menyiksanya. Dia ingin kembali saja ke BO dan menghangatkan diri di sana sambil melanjutkan membaca buku. Lian Jie menghela nafas panjang untuk melegakan paru-parunya. Udara dingin menusuk paru-parunya.

'Heh?' Lian Jie menghentikan langkahnya dan memandangi sekitarnya dengan bingung. Di tengah lautan manusia ini, ada di manakah Jenderal Jeong Hu dan Eun Su? Sejak kapan mereka menghilang? Masa sih mereka meninggalkan aku? Dalam hati, Lian Jie menyalahkan dirinya sendiri yang sedari tadi terlalu asyik dengan pikirannya sendiri.

"Maafkan aku, Jeong Hu-nim,"
Lian Jie mengerling ke sembarang arah. Ah, itu suara Eun Su. Tapi di mana dia?

"Yah sudah, yang penting kamu tidak tersesat. Sekarang... kita ke mana dulu?"
Yang ini suara jenderalnya. Lian Jie menoleh ke arah yang lain untuk mencari mereka, tapi ia tak bisa menemukan mereka.

Suara mereka kemudian sayup-sayup menjauh.



Lian Jie merasakan benturan keras menghantam punggungnya. Kesakitan luar biasa langsung melanda tulang belikatnya. Segalanya berpusing dan entah sejak kapan dia berlutut dengan kedua tangan menyangga tubuhnya di jalan yang keras itu. Nafasnya memburu. Tapi tak ada yang menolongnya.

Lian Jie berdiri dengan susah payah sambil terbatuk-batuk. Dia harus duduk. Di manapun tak masalah. Kemudian dia berjalan dan berjalan. Lalu terciumlah suatu bau. Kesulitan bernafas membuat Lian Jie hanya bisa mengendus samar-samar bau teh hijau.

Serangan pusing yang kuat menyerangnya lagi, menulikan indera pendengaran dan mengaburkan indera penglihatannya. Dia merapat ke sebuah kedai, mengambil tempat duduk di dekat jendelanya. Ada sebuah ember kayu di sana dan Lian Jie memakainya sebagai tempat duduk.

Ia membungkuk, mencengkeram bahunya sendiri.



Lian Jie batuk sekali lagi. Ia ingin pulang.

Oot : Lian Jie ringkih banget =w=

---

Hmm, niat baiknya kali ini ditepis secara langsung oleh kedua orang di sampingnya, yang sedang menikmati the dan kue-kue di kedai ini. Bahkan Jeong Hu-nim menyuruhnya untuk menyimpan uang itu untuk dibelikan syal. Ah, hampir saja pemuda asal Korea itu lupa akan tujuan utamanya berjalan-jalan kali ini. Mungkin teh hijau yang disajkian pelayan tadi memang membuatnya hangat. Tapi tetap saja ia harus membeli syal untuk ke depannya bukan? Lagipula musim dingin masih cukup lama.

“Baiklah kalau begitu, Jeong Hu-nim, Xiao Ling-nim,” balasnya dengan nada datar seperti biasa sembari menyeruput teh hijau keduanya.

Sebenarnya, sejak awal kedatangannya ke toko ini…tidak, masih lebih jauh. Sejak awal keluarnya Jeong Hu dan Eun Su ke luar markas tadi sore, Eun Su melupakan suatu hal yang menurutnya cukup penting. Namun ia bisa mengingatnya segera setelah melihat seorang exorcist yang tampa ringkih di depan toko. Kenapa ia tidak langsung masuk saja?

“Lian Jie…” ucapnya datar pada Jeong Hu sambil menghampiri pemuda itu perlahan. Sungguh, ia tidak bermaksud untuk meninggalkan disciple seniornya itu.

“Baiklah kalau begitu, Jeong Hu-nim, Xiao Ling-nim,”

Sebaris kata lanjutan dari Eun Su meyakinkan dirinya bahwa anak ini benar mau menabung untuk keinginannya sendiri. Yah, daripada harus membuang-buang uang demi menraktir orang yang jelas memiliki uang lebih?

"Yah..." tadinya mau berkomentar, namun ucapan Jeong Hu terpotong dengan gerak muridnya yang langsung saja beranjak dari tempat duduk tanpa mengucapkan apa-apa. Berjalan cepat menuju pintu masuk di depan toko, nampak menemui 'orang' lainnya di sana.

"Ya ampun," bergumam pelan. Kalau bukan Jeong Hu, ia pasti sudah mengomel-ngomel berisik akan kelakuan kedua muridnya yang... hampir mirip begitu. Ikut beranjak dari tempat duduknya, sebelum itu sempat melirik Xiao Ling yang masih asik dengan tehnya, "Nampaknya ini akan merepotkan." Kemudian melanjutkan jalannya.

Melihat seorang bocah yang meringkih di sana, jenderal veteran ini hanya menggeleng-geleng, "Apa yang kau lakukan di sini, Lian Jie?" sebuah pertanyaan pendek yang harus dijawab dengan jawaban lengkap dari sang murid.

Lian Jie mungkin terlihat ringkih di mata banyak orang yang dilihatnya. Apa boleh buat, ini gara-gara dia tertabrak orang dan persis kena Innocence yang masih inaktif di punggungnya. Jangan bayangkan punya tubuh begini itu hidup jadi lebih praktis, ya! Tangannya tak bisa memutar sampai ke belakang. Kalau nekat, tulangnya itu akan menusuk punggungnya sendiri serasa terbakar.

Matanya terbuka mendengar langkah-langkah kaki mendekat. Begitu tahu yang datang adalah Jenderalnya dan Song Eun Su, raut wajahnya langsung berubah cemberut. Tapi secemberut apapun Li Lian Jie, wajahnya tetap menorehkan kesan manis.

"Apa yang kau lakukan di sini, Lian Jie?"

"Dasar bapak-bapak!" maki Li Lian Jie seraya berdiri. Suaranya serak karena flu yang dideritanya. "Kau yang ngajak aku ikut ke sini malah meninggalkan aku! Maumu apa sih?!"

Maaf kalau terdengar kasar. Lian Jie sedang tidak dalam keadaan bisa mengontrol emosi. Flu, udara dingin, di tambah lagi keramaian. Lian Jie sama sekali tidak suka keramaian. Apalagi di tengah salju begini. Bayang-bayang masa lalu mudah sekali menghantuinya seperti trauma.

"Aku pulang nih!" Lian Jie mengancam mereka, sewot.

Tapi walaupun begitu, Lian Jie tak yakin dia bisa sampai ke Black Order dengan selamat. Bukannya takut pingsan di tengah jalan. Dia sedari tadi tidak memperhatikan arah dia pergi, Mungkin nanti dia bisa kesasar jauh.

Ditinggal pergi oleh kedua teman minumnya, Xiao Ling pun segera menyudahi kunjungannya hari itu. Ia membayar tehnya tadi, sekaligus membeli 2 kotak teh untuk persediaan. Setelah pesanannya dibungkus, ia berjalan keluar dari kedai itu, dan--

"Dasar bapak-bapak! Kau yang ngajak aku ikut ke sini malah meninggalkan aku! Maumu apa sih?! Aku pulang nih!"

--menemukan ada seorang anak lelaki yang begitu tidak sopan pada gurunya sendiri. Tanpa banyak omong, ia langsung mengangkat tangannya tinggi-tinggi, dan menampar pipi anak itu dengan cukup keras, meski tidak cukup keras untuk membuatnya mental beberapa meter seperti yang biasa ia lakukan pada Heidrich.

"Jaga mulutmu, bocah. Yang kau ajak bicara itu gurumu; mana sopan-santunmu?" tegur Xiao Ling keras. Ekspresi wajahnya serius, jelas tidak suka dengan apa yang baru saja dikatakan Lian Jie. Terlalu keras? Hei, itu namanya disiplin. Masih untung ia tidak menamparnya sampai mental beberapa meter. Lagipula, bagi seorang Xiao Ling, disiplin itu nomor satu. Salahkan siapa? Salahkan mendiang Zhui Long yang mendidiknya demikian.

Tamparan yang cukup keras dan pedas mendarat di pipi kiri Lian Jie, memalingkan wajahnya dari semua orang. Agak terhuyung, Lian Jie masih bisa menguasai diri. Lalu dengan kekuatan mental yang luar biasa, hasil tempaan selama bertahun-tahun sejak usianya masih kanak-kanak, dia kembali memandang si pemilik tangan yang barusan menamparnya. Tatapannya tak seperti anak-anak yang menciut nyalinya, tapi juga tidak melawan. Mata cokelat Lian Jie membalas mata Jenderal Xiao Ling, namun ia tak memberikan arti apapun melalui pandangannya. Mata itu kosong, sama seperti wajahnya yang tanpa ekspresi.

Tamparan seperti ini bukan yang pertama bagi Li Lian Jie. Dia pernah mendapatkan yang lebih parah. Mau disebutkan? Lemparan batu maupun makanan basi, cacian yang lebih kasar daripada yang dia lontarkan pada gurunya sendiri, termasuk pukulan yang membuat seluruh tubuh kecilnya lebam dan berdarah. Semua itu dia alaminya sewaktu dia masih sangat kecil, sewaktu dirinya dianggap sebagai kutukan. Tentunya sekarang dia masih dianggap sebagai kutukan, bila ia kembali ke kampung halamannya. Satu tamparan dari Jenderal Xiao Ling sekalipun bagaikan seekor lalat yang hinggap di atas bakpao.

"Jaga mulutmu, bocah. Yang kau ajak bicara itu gurumu; mana sopan-santunmu?"

Kemudian dia mendengar teguran itu. Kepalanya yang panas mendadak serasa dingin seperti terhembus angin. Aaah, benar juga. Apa sih yang baru saja dilakukannya tadi? Hanya karena pusing dan stress karena traumanya dia telah kehilangan kendali.

Tapi apa yang dilakukan Lian Jie? Dia tidak juga meminta maaf, malah berpaling dari semua orang, kemudian memandang jalan kecil berselimut salju itu. Orang-orang berlalu lalang di sana. Tanpa sengaja, matanya jatuh ke arah seorang ayah yang sedang menggandeng puteranya yang masih kecil. Mata Lian Jie menyipit sebal seketika.

"Huh."