Time | Selamat datang di Black Order Headquarters! Waktu dunia Black Order HQ saat ini adalah: Februari 1880 |
|
| [COMPLETED] Merry Christmas | |
| | Author | Message |
---|
Leonard Chezza
Posts : 78 Pemilik : Issei Akira Poin RP : 20
Biodata Posisi: Section Staff Cabang: Eropa Umur: 22
| Subject: [COMPLETED] Merry Christmas 11th September 2009, 17:23 | |
| Note : Saya berani bilang, ini cerita ratingnya R-15. Saya sudah berusaha untuk membuatnya seimplisit mungkin, tapi... saya tidak tahu saya berhasil atau tidak. Cerita ini intinya tentang hubungan antara Leon dan Lia, yang entah siapa yang sebenarnya harus dikasihani. Tentang latar dan yang lain-lain, bisa dilihat langsung di dalam cerita.
Leonard Chezza & Liadan O Suillebhain (c) Issei Akira
Merry Christmas Chapter 1
Hari itu adalah tanggal 24 Desember 1879, sehari sebelum Natal tahun itu. Sebagian staff Black Order yang masih memiliki keluarga di kampung halaman mereka minta cuti pulang pada Supervisor untuk merayakan Natal bersama dengan keluarga mereka di kampung halaman. Sementara sisanya, entah yang memang memilih untuk merayakannya di Headquarter ataupun sudah tidak lagi memiliki tempat untuk pulang selain di Headquarter, memutuskan untuk tinggal saja dan merayakannya di Headquarter. Biar begitu, sebagian dari mereka tetap ada yang merayakannya hanya dalam kelompok-kelompok kecil. Yang tragis, ada juga beberapa orang yang memutuskan untuk tidak merayakannya.
Tapi tentu saja, Leonard Chezza tidak termasuk dalam golongan orang-orang ‘tragis’ yang tidak merayakan Malam Natal hanya karena tersandung masalah pekerjaan. Ia malah sudah merencanakan untuk merayakan Malam Natal tahun itu dengan ‘manis’, bersama dengan adik sepupunya yang sudah lama dicarinya, Lidya—ups… Liadan. Ia sudah merencanakan semuanya dengan rapi, mulai dari hadiah sampai menu makan malam. Pokoknya, yang perlu dilakukan adik sepupunya itu hanyalah mengatakan ‘ya’ pada ajakannya, dan semuanya akan beres.
Leon berjalan ke kamar Lia sambil membawa sebuah kotak. Ia membawanya dengan sangat hati-hati, takut merusak apa yang ada di dalamnya. Sepanjang jalan, ia menyenandungkan lagu-lagu Natal sambil senyum-senyum sendiri. Bisa terbayang di kepalanya, bagaimana adik sepupunya itu akan merasa senang saat menerima hadiah darinya. Leon sudah memilihnya dengan susah payah supaya cocok dengan Lia, jadi ia sudah luar biasa percaya diri bahwa Lia pasti akan menyukai hadiahnya.
Begitu sampai di depan pintu kamar Lia, Leon merapikan penampilannya sebentar, lalu mengetuk pintu kamar Lia perlahan. Setelah menunggu sampai hampir semenit penuh, barulah pintu kamar dibukakan. Dari balik pintu yang hanya dibuka sangat sedikit, tampaklah Lia yang tampaknya baru saja bangun tidur. Leon hanya memberikan senyum luar biasa cerah pada gadis itu, sebelum akhirnya Lia membuka pintu lebih lebar.
“Maaf… Aku tadi sedang menjahit,” kata Lia sambil mempersilakan Leon masuk. Pria Inggris itu masuk ke dalam kamar Lia, dan ia bisa melihat bahwa Lia tidak berbohong. Potongan-potongan kain dan gulungan-gulungan benang bertebaran di atas lantai, di samping tempat tidur Lia. Memang belum benar-benar rapi, tapi terlihat bahwa gadis itu sepertinya berusaha membereskannya dengan cepat tadi.
“Tidak apa-apa. Aku juga yang cari masalah, datang di saat kamu sedang sibuk,” kata Leon sambil menunjukkan senyum terbaiknya. Lia sendiri, masih dengan ekspresi datar, menggeleng pelan sebagai tanggapan dari ucapan Leon itu.
“Kamu tidak cari masalah, kok. Aku sendiri tidak sedang sibuk,” balas Lia. Leon hanya bisa menghela nafas pelan mendengar jawaban dari gadis itu, yang sepertinya selalu tidak ingin menyalahkan orang lain. Leon lalu menyadari bahwa tatapan Lia sekarang sudah terpaku pada kotak yang dibawanya, menanyakan apa isinya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Oh ya, ini untukmu. Agak susah juga mencari yang cocok denganmu, tapi aku cukup yakin pada pilihanku ini,” kata Leon sambil menyerahkan bungkusan yang dibawanya pada Lia. Lia mengambil kotak itu, yang terasa sangat ringan di tangannya. Lia lalu menatap lurus ke arah Leon, yang masih terus tersenyum dengan tatapan yang mengatakan ‘ayo coba dibuka’.
Akhirnya Lia membawa kotak itu ke atas tempat tidurnya, lalu membukanya dengan hati-hati. Begitu kotak tersebut terbuka, tampaklah di dalamnya sebuah orgel berornamen yang tampak begitu cantik. Lia menatap Leon dengan tatapan terkejut, tapi pria itu malai memberikan tanda kepada Lia untuk memainkan orgel tersebut. Akhirnya dengan hati-hati, Lia memutar sekrup orgel tersebut, lalu membuka tutupnya. Alunan melodi yang begitu indah dan menentramkan hati keluar dari dalam kotak kecil tersebut, membuat Lia tersenyum sangat tipis.
“Terima kasih…” ucapnya pelan sambil terus menatap orgel tersebut, terpesona oleh keindahannya. Leon tersenyum puas melihat bagaimana Lia tampak begitu menyukai hadiah Natal darinya. Ia langsung merasa semua usahanya mencari orgel itu sama sekali tidak sia-sia.
“Oh ya, aku masih punya hadiah lagi untukmu,” kata Leon sambil tersenyum lebar. Lia mengalihkan pandangannya dari orgel tersebut, dan menatap Leon dengan tatapan bingung. Leon sendiri hanya tersenyum sambil mengulurkan tangannya ke arah gadis itu.
“Ayo kita makan malam di luar. Aku sudah pesan tempat,” kata Leon sambil tersenyum dengan penuh percaya diri. Lia terdiam untuk beberapa saat, masih dengan ekspresi datarnya yang seperti biasa, lalu ia kembali menatap ke arah orgel pemberian Leon, dan memutarnya lagi.
“Aku tidak bisa. Ada yang sedang kukerjakan,” jawab Lia ringan. Tidak terdengar rasa bersalah atau apapun di suaranya, dan itu membuat Leon merasa frustasi berat. Bagaimana tidak? Ia sudah susah-susah memesan tempat, yang diajak pergi malah menolak. Strategi pertamanya memang berhasil dengan baik, tapi strategi keduanya gagal total.
“A… ayolah. Sekali ini saja. Bukankah kamu sendiri yang bilang kamu tidak sibuk?” rayu Leon sambil tersenyum lebar, meski kali ini senyumnya tampak jauh lebih kaku daripada sebelumnya. Lia tetap menggeleng pelan, sambil membawa orgel pemberian Leon ke depan meja riasnya dan meletakkannya di sana.
“Aku memang tidak sibuk, tapi ada hal yang harus kukerjakan. Setidaknya, besok harus sudah jadi. Makanya, malam ini saja, aku tidak bisa keluar,” balas Lia, masih dengan ekspresi datar yang sama. Kali ini Leon sudah benar-benar merasa kalah. Tapi apa yang sebenarnya ingin dikerjakan gadis itu? Kenapa harus buru-buru? Kedua pertanyaan itu langsung terlintas di kepala Leon.
“Kenapa buru-buru, sih? Memangnya, yang kamu kerjakan itu penting sekali, ya? Mungkin bisa kubantu?” tanya Leon beruntutan sambil berusaha untuk tetap tersenyum meski sebenarnya ia sudah merasa sangat sakit hati akibat penolakan Lia. Dan sekali lagi, Leon harus mendapatkan tamparan keras karena Lia menolaknya untuk sekali lagi.
“Leon tidak usah bantu apa-apa, aku bisa sendiri. Malah sebenarnya, aku memang ingin mengerjakannya sendiri,” jawab Lia. Kali ini, Leon sudah merasa benar-benar kecewa. Sepertinya rencananya untuk menghabiskan Malam Natal berdua saja dengan adik sepupunya gagal total karena yang bersangkutan ternyata termasuk dalam golongan ‘orang-orang tragis yang tidak merayakan malam natal karena tersandung pekerjaan’.
“Nah, sekarang aku mau kerja lagi. Terima kasih atas perhatiannya ya, Leon,” kata Lia sambil menepuk-nepuk punggung kakak sepupunya itu, mencoba memberi semangat sedikit padanya yang tampak luar biasa terpukul setelah ditolak habis-habisan oleh Lia.
“Setidaknya, Lia…” kata Leon dengan sisa-sisa semangat Natalnya yang masih tersisa, “Temani aku minum, sebentar saja.” Lia rasanya tidak tega untuk menolak pria itu untuk ketiga kalinya dalam satu malam, jadi akhirnya Lia menghela nafas pelan dan mengangguk.
“Baiklah… tapi jangan jauh-jauh dan jangan terlalu malam selesainya,” kata Lia tegas. Leon tampak jauh lebih cerah mendengar jawaban Lia kali itu.
“Tenang, tidak akan terlalu jauh, kok. Malahan, aku sudah menyiapkan tempat yang sangat dekat,” kata Leon sambil tersenyum lebar. Lia hanya mengerutkan alisnya, memikirkan kira-kira di mana tempat yang dimaksudkan pemuda berambut pirang pucat itu.
[END OF CHAPTER 1]
Last edited by Leonard Chezza on 13th September 2009, 11:00; edited 1 time in total | |
| | | Chrysalis vi Scheziel
Posts : 145 Poin RP : 20
Biodata Posisi: Section Leader Cabang: Amerika Utara - Selatan Umur: 25
| Subject: Re: [COMPLETED] Merry Christmas 11th September 2009, 18:50 | |
| hah apaan ni blum ada 15++ ratingnya masih 'Semua Umur'~ LoL ditunggu chapter 2nya... jadi penasaran ni saya | |
| | | Leonard Chezza
Posts : 78 Pemilik : Issei Akira Poin RP : 20
Biodata Posisi: Section Staff Cabang: Eropa Umur: 22
| Subject: Re: [COMPLETED] Merry Christmas 11th September 2009, 18:59 | |
| Note : R-15 nya di sini... saya sudah berusaha untuk menyensornya, tapi... gimana ya... tau ah... *ngeloyor*
Chapter 2
Ternyata ‘tempat’ yang dimaksud Leon tak lain dan tak bukan adalah kamar pria itu sendiri. Sepertinya ia sudah mempersiapkannya sejak lama, terbukti dari sebotol cognag yang sudah siap di atas sebuah meja kecil, lengkap dengan 2 gelas kristal dan 2 buah kursi kecil, pas untuk 2 orang.
“Sebenarnya ini kusiapkan untuk sehabis makan malam, tapi karena kamu tidak bisa keluar malam ini… yaaah… setidaknya kamu masih mau menemaniku minum sebentar,” kata Leon sambil mempersilakan Lia untuk duduk di salah satu kursi yang ada. Lia duduk di kursi yang ditunjuk Leon, sementara Leon duduk di kursi yang satu lagi. Pria itu kemudian membuka botol cognag yang dipersiapkannya itu, lalu menuangkannya ke dalam masing-masing gelas.
“Aku tidak minum alkohol,” kata Lia pelan, menolak dengan halus. Tapi Leon seolah tidak mendengarkan ucapan gadis itu dan mengangkat gelas miliknya, lalu mengangkat gelas yang satunya lagi dengan gestur ‘minumlah’ kepada gadis itu. Awalnya Lia hanya terdiam sambil menatap gelas tersebut ragu-ragu, tapi setelah Leon menyodorkannya sekali lagi pada gadis itu, akhirnya Lia mengambilnya meski dengan ragu-ragu pula.
“Selamat Natal,” kata Leon sambil mengangkat gelasnya tinggi, lalu meminum seluruh isinya dalam sekali teguk. Wajahnya menampakkan ekspresi puas dan gembira setelah ia meminum habis cognag itu, sementara Lia sendiri masih belum mencicipi minumannya barang setetespun. Leon menuang lagi cognag tersebut ke dalam gelasnya, lalu tersenyum pada Lia.
“Sebenarnya kalau kamu tidak mau minum, tidak usah diminum juga tidak apa-apa. Tapi kujamin, kalau kamu minum, kamu pasti merasa lebih baik. Rasanya semua persoalan seperti lenyap begitu saja. Hatimu akan merasa jauh lebih ringan…” kata Leon sambil memain-mainkan gelasnya, lalu kembali meneguk minumannya dalam sekali teguk.
“…apakah itu berlaku untuk semua orang atau hanya untukmu saja?” tanya Lia pelan. Kedua tangannya masih menggenggam gelasnya erat-erat. Ia masih ragu-ragu untuk meminumnya, tapi mendengar penjelasan Leon, ia juga ingin mencobanya. Leon kembali menuang cognag ke dalam gelasnya, lalu mengangkat gelasnya sejajar bahunya. Senyum lebar terulas di wajahnya yang sudah mulai merona kemerahan.
“Kalau kamu tidak mencoba, manalah kamu tahu?” balas Leon, lalu ia kembali meneguk habis isi gelasnya tanpa keraguan setitikpun. Lia kembali menatap gelasnya lekat-lekat. Cairan bening keemasan di dalamnya tampak seperti menari-nari, menggodanya untuk meminumnya.
Akhirnya, dengan ragu-ragu, Lia mengangkat gelasnya, menempelkan bibir mungilnya pada pinggir gelas tersebut, lalu meneguk isinya perlahan-lahan. Sensasi hangat yang sulit dijelaskan terasa mengalir mulai dari mulutnya, melewati tenggorokannya, dan sampai ke perutnya. Dadanya terasa panas, tapi di saat yang bersamaan, ia juga merasa nyaman.
Begitu gelasnya sudah kosong, Leon menawarkan isi ulang pada gadis itu, Lia mengangguk pelan, lalu Leon kembali mengisi gelas Lia dan gelasnya sendiri. Keduanya lalu mengosongkan gelas mereka lagi, lalu diisi lagi, dan dihabiskan lagi. Mereka terus mengulang hal yang sama dalam kebisuan, sampai akhirnya Lia tampak menyerah di gelasnya yang kelima.
Wajahnya merona merah padam, dan pandangannya sudah mulai kabur. Samar-samar ia bisa mendengar Leon kembali menuang cognag ke gelasnya, dan ia juga bisa mendengar pemuda itu masih meneguk segelas lagi. Lia, didorong oleh alam bawah sadarnya, kembali mengosongkan gelas keenamnya.
“Masih kuat?” tanya Leon dengan nada agak mengejek. Pria itu sendiri sudah tampak mulai mabuk, tapi belum semabuk Lia. Lia menggeleng keras, membuat rambutnya yang sudah agak acak-acakan menjadi semakin acak-acakan.
“…sudah… cukup…” gumam Lia. Kepalanya terasa berputar-putar. Rasanya ia sudah tidak sanggup lagi mengingat apa yang sedang dilakukannya, di mana ia sebenarnya, dan siapa yang sedang berada dengannya. Ia merasa seperti sedang tenggelam dalam dunia di mana semua warna bercampur aduk menjadi satu.
Leon meletakkan gelasnya, lalu menghampiri Lia yang sedang mabuk berat. Dilihatnya gadis itu sudah seperti mau pingsan kapan saja, dan ia tidak mau kalau Lia sampai menabrak sesuatu jika ia tetap duduk di kursi tersebut. Jadi, Leon memapah gadis itu dan membiarkannya duduk di tepi tempat tidurnya. Ia sendiri duduk di samping gadis itu, sehingga kalau-kalau Lia jatuh ke arah selain ke tempat tidurnya, ia bisa menangkap gadis itu. Leon sendiri berpikir, kalau misalnya Lia memang tidak sanggup untuk kembali ke kamarnya sendiri, tidak akan menjadi masalah untuknya jika gadis itu bermalam di kamarnya. Toh Lia dan Leon itu bersaudara; Leon sendiri pun tidak berpikir untuk melakukan hal-hal yang tidak pantas pada gadis itu.
Tapi tentu saja, itu hanyalah perkiraan awal Leon.
Begitu Lia secara tidak sengaja menyenderkan kepalanya ke bahu Leon, pria itu merasakan suatu sensasi aneh menjalar dari bahunya ke seluruh tubuhnya. Suara nafas gadis itu terasa terdengar jauh lebih keras di telinga Leon. Jantung pria itu terasa berdetak lebih cepat dan lebih keras daripada biasanya. Meski dalam hati ia berkali-kali berkata ‘aku tidak akan melakukan apapun pada Lia’, tapi tatapannya tidak bisa lepas dari bibir gadis itu, yang masih setengah terbuka seolah mengharapkan sesuatu.
Akhirnya, Leon menyerah pada nalurinya, dan menarik gadis itu semakin dekat pada dirinya sendiri. Diangkatnya wajah gadis yang masih sedarah dengannya itu untuk menatap langsung ke dalam mata hijaunya yang kini seolah berkabut. Pikiran Leon sendiri kini telah diselubungi kabut, sehingga ia sampai hati menyentuh gadis yang masih sedarah dengannya ini.
Ia membiarkan dirinya sendiri tenggelam dalam kegilaannya, merasakan rasa cognag yang masih tersisa di mulut lawan minumnya itu. Suara nafas dan desahan yang dikeluarkan gadis itu seolah menjadi pemicu baginya untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sebelumnya. Ia mengangkat tangannya, menelusuri kehalusan kulit wajah gadisnya itu, memainkan rambut pirang pucatnya dengan jemarinya.
Saat ia merasa semua itu tidak cukup, ia menurunkan pandangannya pada leher gadis itu, yang tertutup rapat oleh seragamnya yang berwarna merah-hitam. Seperti singa yang sedang mencabik mangsanya, Leon membuka seragam Lia dengan agak kasar. Di balik gelapnya seragam Exorcist yang dikenakannya, kulitnya yang pucat tampak bercahaya. Leon pun menundukkan kepalanya, ‘mencicipi’ kulit pangkal lehernya. Suara desahan yang lolos dari bibir gadis itu terdengar semakin keras, dan hal itu malah membuat Leon meminta sesuatu yang ‘lebih’.
Sebut namaku… batinnya sambil terus menelusuri kulit sepanjang bahu gadis itu. Sebut namaku…
“…Ah…” Lia merasa pandangannya semakin buram. Sensasi aneh yang menjalar di seluruh tubuhnya akibat sentuhan dari pria yang sulit dikenalinya itu membuatnya ingin memanggil seseorang… seseorang yang selalu berada di dalam hatinya, yang namanya selalu disebutnya di dalam tidurnya.
“…Sh… Shrei…”
Leon berhenti dari apapun yang dilakukannya. Dilepaskannya gadis itu dari dekapannya, sampai jarak di mana ia bisa melihat wajahnya dengan jelas. Gadis itu masih tidak sadarkan diri. Matanya masih tidak fokus. Wajahnya masih merona merah padam. Tapi nama itu disebutkannya dengan sangat jelas… begitu jelasnya sampai Leon langsung tersadar dari mabuknya dan memperoleh kembali semua kesadarannya.
“Shrei…” Gadis itu menutup kedua matanya bersamaan dengan disebutnya sekali lagi nama itu, nama sang General yang menjadi Master dari gadis itu.
Kini Lia sudah terlelap. Leon sudah tidak lagi memiliki kesempatan untuk bertanya apapun pada gadis itu. Ia juga tidak mau mengambil resiko menanyai gadis itu saat ia sudah sadar, karena ia pasti harus menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dan hal itu beresiko membuatnya dibenci oleh adik sepupunya itu seumur hidupnya.
Sebuah senyum terulas di bibir Leon, namun wajahnya menunjukkan perasaan depresi yang begitu mendalam. “Ha… Ahaha… Ahahahahaha!!” Leon tertawa keras, sebuah tawa sinister yang ditujukan untuk dirinya sendri, untuk kebodohannya sendiri.
“…bodohnya aku…” gumamnya pelan sambil membaringkan Lia perlahan di atas tempat tidurnya. Kini, setelah semua akal sehatnya kembali, ia merasa menyesal sudah melakukan hal yang tidak pantas pada adik sepupunya itu, yang masih memiliki darah yang sama dengannya. Ia membelai rambutnya lembut, dengan penuh perhatian dan kasih sayang, lalu kembali merapikan seragam gadis itu.
Leon lalu merasa sudah tidak mungkin lagi ia mengatakan ‘tidak akan terjadi apapun’ kalau ia membiarkan Lia tinggal di kamarnya, jadi ia menggendong gadis itu dan membawanya kembali ke kamarnya. Sepanjang jalan ia mengantarkan kembali adik sepupunya itu, kembali diingatnya bagaimana Lia memanggil nama ‘Shrei’ tadi. Gadis itu tidak menyebut nama itu dengan nada putus asa ataupun minta tolong. Nada suaranya jelas menyebut nama itu dengan penuh perasaan cinta yang tulus.
Dan semakin diingatnya bagaimana Lia salah mengiranya sebagai Shrei, Leon merasa semakin panas dan cemburu.
Begitu keduanya sampai di kamar Lia, Leon langsung membaringkan Lia di tempat tidurnya sendiri, lalu menyelimutinya dengan lembut. Sepatah kata ‘maaf’ dibisikkannya kepada gadis itu sebelum ia berbalik untuk kembali ke kamarnya.
Dan saat Leon menutup pintu kamar gadis itu, samar-samar didengarnya Lia kembali menyebut nama Shrei.
[END OF CHAPTER 2] | |
| | | Chief Supervisor Admin
Posts : 418
| Subject: Re: [COMPLETED] Merry Christmas 11th September 2009, 20:50 | |
| Wahahah... Mantap! Tidak masalah kok posting R-15, selama diberi peringatan saja seperti yang telah Anda lakukan.
Hm, jadi sejauh ini perasaan Leo terhadap Lia itu masih bertepuk sebelah tangan ya... Kasihan sekali, apa lagi jika ceweknya memanggil nama cowok lain =w= Saya sempat agak deg-degan baca bagian itu karena entah kenapa otak saya mempersepsi bahwa Lia itu bocah sekali (baru ingat belakangan kalau umurnya sudah 19).
Jangan-jangan perasaan Lia pada Shrei... lebih dari sekadar antara athair-anak? Shrei populer, cis... *didepak*
Ditunggu chapt. berikutnya~
Hmm, kritik... Ya, di chapter pertama alur ceritanya terasa agak kaku, namun sudah tertangani di chapter kedua. Mungkin pengejaan beberapa kata saja yang bisa diperbaiki? (Nafas -> napas, dst.) | |
| | | Shreizag E. Halverson Vatican Central
Posts : 580 Umur : 32 Pemilik : S.E.H. Poin RP : 20
Biodata Posisi: General Cabang: Eropa Umur: 29
| Subject: Re: [COMPLETED] Merry Christmas 11th September 2009, 22:02 | |
| Sebagai ayah, saya tidak merestui hubungan sedarah [-( *ditendang* Tapi saya suka kok bagian Leon yang perhatian pada Lia, benar-benar sosok kakak yang baik Dan bagian Lia menolak ajakan Leon dengan datar... Akh, saat itu saya merasa sangat simpati pada Leon =)) Semoga Leon tidak berbuat aneh-aneh lagi (ya, memang salah alkohol sih), saya lebih suka melihat mereka sebagai kakak-adik yang rukun saja *didepak* Soal cerita, sebenarnya tidak apa sih menyatukan kedua chapter dalam satu post, toh keduanya tidak diberi jeda yang panjang, sehingga masih berkesinambungan. Namun, bila hal itu bertujuan untuk 'mengistirahatkan' mata pembaca, itu merupakan keputusan yang bagus Lanjut lagi! | |
| | | Leonard Chezza
Posts : 78 Pemilik : Issei Akira Poin RP : 20
Biodata Posisi: Section Staff Cabang: Eropa Umur: 22
| Subject: Re: [COMPLETED] Merry Christmas 12th September 2009, 13:28 | |
| Note : yaak, bagian terakhir... yang ini udah soft lagi. Saya emang ga kuat nulis yang aneh2 kepanjangan, hahaha~
Chapter 3
Lia merasa luar biasa pusing dan mual saat ia bangun keesokan harinya. Dengan sempoyongan, ia berjalan ke dalam kamar mandi hanya untuk memuntahkan apapun isi perutnya semalam. Setelah perutnya berhenti berulah, ia membersihkan semua sisa-sisa muntahannya dan meminum beberapa teguk air keran dan membilas wajahnya beberapa kali.
Lia masuk kembali ke kamarnya, lalu duduk di tepi tempat tidurnya sambil terus memijat-mijat kepalanya yang terasa luar biasa berdenyut-denyut, seolah jantungnya pindah ke kepala. Sedikit banyak ia menyesal sudah menemani Leon minum-minum malam itu, tapi di saat yang bersamaan, ia juga tidak begitu menyesal karena sudah membuat kakak sepupunya itu ‘agak’ bahagia. Lia sendiri, kalau ditanya, sebenarnya cukup senang juga.
Biasanya, aku cuma merayakan Natal dengan mathair… Lalu setelah mathair meninggal, aku berhenti merayakannya. Tapi semalam, Leon menyempatkan diri untuk merayakannya denganku. Aku merasa agak bersalah juga sih menolak ajakan makan malamnya, habisnya—
Lia langsung mengangkat kepalanya begitu ia teringat pada apa yang seharusnya dilakukannya semalam. Ia langsung menengok ke kolong tempat tidurnya, lalu mengaduk-aduk tumpukan kain yang ada di sana, mencari sesuatu. Begitu ia mendapatkan sehelai kain berwarna putih, ia langsung mengambilnya, beserta jarum dan benang yang masih tersangkut di sana.
“Aduh, gawat… Harusnya ‘kan selesai hari ini…” kata Lia sambil menatap kain putih itu. Sebuah sulaman huruf ‘L’ dan ‘W’ yang belum selesai tampak di ujung kain tersebut, yang rupanya adalah sehelai sapu tangan. Setelah menepuk pipinya sendiri beberapa kali, Lia kembali melanjutkan sulaman yang belum jadi itu.
Setelah sekitar jam 10 pagi, Lia berhasil menyelesaikan sulamannya itu. Kedua huruf yang disulam dengan warna emas itu tampak mewah di atas putihnya sapu tangan tersebut. Lia lalu melipatnya dengan rapi, dan dibungkusnya dengan kertas cokelat seadanya. Ia lalu masuk ke kamar mandi untuk cuci muka, lalu berjalan ke area kerja staff diplomatik dan komunikasi.
Begitu sampai di area departemen tersebut tanpa tersesat, Lia menanyakan pada salah satu staff yang baru saja keluar dari ruang khusus staff apakah Leon ada di dalam. Staff tersebut mengiyakan, dan Lia langsung masuk ke dalam ruangan tersebut sambil mengucapkan ‘permisi’.
Ruangan departemen itu saat ini relatif kosong, karena banyaknya staff yang pulang kampung atau masih bermalas-malasan di kamar masing-masing. Tetapi Leon, meski dengan wajah luar biasa kusut, sudah duduk di hadapan meja kerjanya untuk menerjemahkan beberapa dokumen yang baru saja diserahkan kepadanya. Ia tampak begitu serius, sampai tidak menyadari kehadiran Lia di ruangan itu, yang berjalan dengan pelan menuju ke meja kerjanya.
“Leon…” panggil Lia pelan. Mendengar namanya dipanggil, Leon langsung mendongak kaget. Lia sudah berdiri di depan mejanya, sambil menyodorkan sebuah bungkusan berwarna cokelat. Leon, yang masih ingat dengan jelas apa saja yang terjadi semalam, merasa agak kaku.
“Oh… hai…” sapanya pelan sambil berusaha tersenyum, meski akhirnya senyum itu malah terlihat kaku. Lia memiringkan kepalanya melihat kelakuan Leon yang dianggapnya aneh. Tapi ia mengambil kesimpulan, kepalanya pasti pusing berat, sama seperti Lia.
“Kalau Leon masih pusing, lebih baik istirahat saja. Semalam kamu minum lebih banyak daripada aku, ‘kan?” kata Lia pelan, dengan nada suara yang jelas-jelas menaruh perhatian pada kakak sepupunya itu. Leon bingung ia harus berkata apa sekarang. Ia ingin bertanya apakah Lia ingat hal apa saja yang sudah dilakukan Leon semalam, tapi kalau dilihat dari bagaimana Lia bersikap, sepertinya ia tidak ingat apa-apa.
“Lia… kamu ingat apa yang terjadi semalam, tidak?” tanya Leon ragu-ragu dengan wajah serius. Lia tampak bingung, dan Leon merasa agak lega. Biar begitu, masih ada kemungkinan gadis itu ingat sesuatu.
“Memangnya kita melakukan hal-hal lain selain minum banyak-banyak?” tanya Lia polos. Ia sama sekali tidak bisa mengingat apa-apa selain ia dan Leon minum sebanyak yang mereka sanggup. Setelahnya… Lia tidak begitu ingat. Semuanya terasa samar. Tapi, ia merasa seperti ada seseorang yang mendekapnya erat dan hangat… seseorang yang entah bagaimana diingatnya sebagai Shrei, dan langsung dianggapnya hanya mimpi karena bagaimanapun seorang Shrei tidak mungkin memperlakukannya seperti itu.
Leon sendiri malah terdiam mendengar balasan Lia. Ia agak bimbang antara memberi tahu Lia tentang apa yang sesungguhnya terjadi atau diam saja. Tapi selama ia berpikir begitu, Lia sudah menatapnya dengan tatapan ingin tahu. Leon yang tak lama kemudian menyadari tatapan Lia itu, langsung memutuskan apa yang akan dikatakannya.
“Semalam… kamu itu…” Lia tampak penasaran luar biasa, terutama karena cara bicara Leon yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu yang luar biasa serius. Leon lalu menatap Lia dan tersenyum sangat lebar, “Semalam kamu menabrak meja saat pingsan karena kebanyakan minum!!” sambung Leon keras, disusul dengan tawa yang keras dan riang.
“Leoooonn!!” kata Lia, merajuk. Ia lalu mengulurkan tangannya untuk mencubit pipi pria itu, tapi ditepis Leon dengan sangat baik. Leon sendiri masih tertawa-tawa puas. Setelah Lia tenang, Leon melihat bungkusan yang tadi disodorkan Lia, lalu menatap gadis itu dengan pandangan yang jelas menanyakan isi dari bungkusan itu.
“Ah, itu… Itu yang seharusnya kuselesaikan semalam, tapi baru kuselesaikan tadi pagi karena semalam aku ketiduran. Bukalah,” kata Lia. Leon lalu mengambil bungkusan tersebut dan membukanya perlahan. Sehelai sapu tangan dengan sulaman huruf ‘LW’ dari benang emas tampak di balik bungkusan itu. Leon tampak senang, namun heran dengan sulaman yang ada di situ.
“Kenapa ‘LW’? Namaku ‘kan Leonard Chezza, harusnya ‘LC’ dong…” tanya Leon.
“Tapi nama aslimu ‘Lucas White’ kan? Anggap saja sapu tangan ini adalah pengingatmu akan identitasmu yang sebenarnya,” jawab Lia langsung. Leon kembali terdiam sambil menatap sapu tangan itu. Matanya terpaku pada sulaman emas yang tampak luar biasa berkilau.
‘LW’… Lucas White… Lidya White… Lia, kamu jahat. Bagiku, ini bukan untuk mengingatkanku akan identitas asliku, tapi untuk mengingatkanku bahwa kita masih sedarah!
Tetapi meski hatinya merasa terluka, Leon tetap tersenyum; sebuah senyum yang begitu tulus, bukan senyum sinister yang biasa terlukis di wajahnya. “Terima kasih…” katanya pelan sambil melipat sapu tangan itu dan memasukkannya ke dalam saku celananya.
Lia menatap Leon sebentar sampai akhirnya pria itu menatap Lia dengan tatapan bingung. Begitu Leon mengangkat kepalanya, Lia langsung mengecup pipi pria itu. Kecupan itu hanya sekilas, tapi itu sudah cukup untuk membuat wajah Leon bersemu merah muda. Ia menyentuh tempat Lia mengecupnya, sambil menatap gadis itu dengan tatapan bingung dan senang.
“Itu hadiah tambahan karena sudah menemaniku merayakan Natal. Selamat Natal,” kata Lia. Ia lalu pamit pada Leon dan langsung pergi entah ke mana. Leon terhenyak di kursinya, masih memegangi pipinya dengan wajah memerah.
“…kamu mau apa sih sebenarnya, Lia…” bisiknya pelan. Setelah ia berhasil menenangkan dirinya lagi, ia melanjutkan kembali pekerjaannya, dengan penuh senyum dan semangat Natal.
[THE END] | |
| | | Nikolai Mikhailov
Posts : 183 Pemilik : Cairy
Biodata Posisi: Disciple Cabang: Eropa Umur: 15
| Subject: Re: [COMPLETED] Merry Christmas 16th September 2009, 19:49 | |
| Wah... saya membaca pada saat yang tepat, ketiganya sekaligus xD~b
Keren... jadi ingin kasihan sama Leon *dilempar*
tapi beneran yang disebut itu nama Shreu ;___; *ngeloyor* ayaaah jangan menikah dengan kakak *dilempar*
... eniwey tulisan yang bagus xDb | |
| | | Sponsored content
| Subject: Re: [COMPLETED] Merry Christmas | |
| |
| | | | [COMPLETED] Merry Christmas | |
|
Similar topics | |
|
| Permissions in this forum: | You cannot reply to topics in this forum
| |
| |
|
|