Time | Selamat datang di Black Order Headquarters! Waktu dunia Black Order HQ saat ini adalah: Februari 1880 |
|
| [NON-CANON][SERIES][COMPLETED]A Black Cat and A Boy | |
| | Author | Message |
---|
Li Lian Jie
Posts : 346 Pemilik : LLJ Poin RP : 20
Biodata Posisi: Disciple Cabang: Asia Umur: 14
| Subject: [NON-CANON][SERIES][COMPLETED]A Black Cat and A Boy 8th February 2010, 08:22 | |
| Dingin-dingin, baca komik, eh tau-tau ada anak kucing lompat ke pangkuan, minta disayang-sayang *w* Jadilah kisah ini~
A Black Cat and A Boy
Hujan turun dengan derasnya. Gelegar petir menderu-deru di langit yang dipenuhi mega. Kaca jendela milik kamar nomor tiga belas di Asrama Black Order cabang Asia itu berkali-kali digetarkan oleh ketukan es yang bercampur pada tajamnya air hujan yang ditumpahkan langit. Sebetulnya hari masih siang, tetapi mendung yang kehitaman dan amat rapat itu rupanya menjadi penghalang yang amat kuat bagi sinar mentari sehingga tak bisa menembus dengan mudah. Alih-alih melindungi anak lelaki si penghuni kamar dari dinginnya udara di tengah cuaca buruk ini, dinding yang terbuat dari campuran batu dan semen itu justru menghantarkan udara dingin dan membuatnya semakin terasa hingga ke sumsum tulang. Badai di hari Jumat ini dahsyat sekali dan kelihatannya tak akan reda hingga nanti malam.
Sekilasan cahaya kilat mendadak memecah gelapnya langit, kemudian disusul sebuah gelegar yang luar biasa kerasnya, seakan-akan petir itu meledak semeter persis di atas kepala. Suaranya cukup untuk menggetarkan kaca jendela hingga penguncinya terbuka dengan sendirinya, sekaligus mengembuskan udara yang bercampur dengan semburan ganas air hujan dari luar. Tiga batang lilin penerang ruangan yang tampaknya kurang nyaman untuk ditempati dua orang Exorcist itu langsung padam.
Terlihat gerakan di atas salah satu tempat tidur. Di balik gundukan selimut, menyembul keluar kepala berambut hitam milik seorang bocah berusia empat belas tahun berwajah oriental. Li Lian Jie sebetulnya tadi sedang asyik menuangkan imajinasinya ke dalam sebuah tulisan di buku kecil bersampul kulit miliknya. Tapi, baik pena bulu dan bukunya sekarang tak ada padanya. Lalu, ada di mana?
Iris cokelat anak lelaki itu berputar dengan cepat, menelusuri tempat tidurnya. Tidak ada apa-apa di sana selain gundukan selimut yang sebenarnya adalah kakinya sendiri yang sedang terlipat. Sedangkan di tempat tidur lain di seberang pun tak ada. Tempat tidur itu sudah berjam-jam yang lalu kosong. Bukannya tak berpenghuni, tetapi teman sekamarnya itu nampaknya sedang terobsesi dengan sesuatu sehingga berpetualang sendirian entah di bagian mana di Black Order. Toh bukan urusan Lian Jie. Jadi, kalau tidak di sana...
Pandangan Lian Jie jatuh ke lantai dan dia menemukannya. Buku, pena bulu, beserta botol tintanya bergeletakan di sana, berantakan. Botol tintanya yang terbuka tentu saja menumpahkan semua tinta hitam yang ada di dalamnya, bahkan turut menodai sebagian seprai baik milik tempat tidur Lian Jie maupun milik teman sekamarnya itu. Ternyata, secara tak sadar, Exorcist kecil itu melemparkan semua benda itu ketika dia mendengar gelegar petir terkeras selama yang pernah diperdengarkan oleh langit sepanjang hari ini.
Hei, dia hanya kaget lho!
Setelah mempelajari situasi langit, bahwa tak akan ada lagi petir sekeras yang barusan, Lian Jie menurunkan kaki-kaki kurusnya itu ke lantai. Sensasi dingin langsung menjalar dari telapak kakinya, langsung ke seluruh badannya. Menyesal karena tak memakai alas kaki pun percuma karena sudah telanjur.
Dengan malas, Lian Jie memungut barang-barang yang ia jatuhkan sendiri tadi dan menaruhnya ke atas sebuah meja kecil di antara dua tempat tidur, mepet tembok, sekaligus jendela yang terbuka. Dia harus menelengkan muka dan menyipitkan mata untuk melawan air hujan dan sedikit balok es kecil yang menerjangnya berkat terbukanya jendela. Hempasan angin yang dibawa badai menyibakkan rambut Lian Jie yang jatuh di depan dahinya. Kedua tangan kurus dan penuh luka hasil latihan kerasnya sebagai Exorcist itu terangkat dan menutup jendela. Membutuhkan kekuatan tambahan agar bisa menutup jendela penuh-penuh dan menguncinya.
Fiuh...
Lian Jie mengelap wajahnya yang basah dengan telapak tangan kanannya, seraya mengibaskannya untuk membuang sejumlah air yang berhasil ditangkapnya ke sembarang arah di belakangnya. Bukan hanya wajahnya saja yang tersiram air beserta balok es, masih bisa dilihat balok-balok yang terpental oleh kekokohan badannya itu di balik tempatnya berdiri, bagian depan bajunya juga ikut basah. Kesal, Lian Jie mengembuskan nafas panjang dan berputar hendak ke lemari... tapi langkahnya langsung terhenti ketika melihat sesosok bayangan di luar jendela, beberapa meter jauhnya dari jendelanya, di taman, di bawah pohon. Bayangan kucing hitam.
Kucing hitam, angka tiga belas yang tertempel di muka pintu kamarnya, dan badai besar di hari Jumat. Adakah hubungannya? Kok sepertinya Lian Jie disukai hal-hal berbau horor, ya?
Sejenak, Lian Jie menunduk memandang baju Exorcist-nya yang basah sebagian, kemudian memutuskan untuk meneruskan kembali langkahnya yang semula terhenti. Namun, lemari yang menjadi tujuan awalnya itu dilewatinya begitu saja. Lian Jie membuka pintu dan meninggalkan kamarnya. Mau ke mana? Tentu saja membawa masuk si kucing hitam yang kehujanan di luar. Bolehlah hati Lian Jie sedingin udara badai ini, namun rupanya dia masih punya peri kehewanan... mungkin?
Tak sampai sepuluh menit berikutnya, Lian Jie telah kembali berdiri di kamarnya. Kali ini menghadapi tempat tidur milik seorang Exorcist lain yang turut menempati kamar yang sama dengannya itu. Ya, mana mau dia menaruh kucing basah kuyup itu di tempat tidurnya?
Selama beberapa detik, dia hanya bisa berdiri, mengamati makhluk cantik berbulu hitam itu bergetar kedinginan. Berkali-kali, si kucing mengibaskan kepala dan badannya, mencipratkan banyak air ke sekelilingnya, kemudian mulai menjilati dirinya sendiri. Dimulai dari kedua tangannya, kemudian ke kakinya, yang semuanya membawa tanah basah dan ikut menempel di seprai yang tadinya putih bersih. Sepertinya sang kucing tak merasakan adanya ancaman di sana, atau tidak peka dengan tajamnya tatapan ingin tahu Lian Jie semeter di atasnya.
...
Benarkah itu tatapan ingin tahu?
Lian Jie menggigil kedinginan. Sekujur tubuhnya basah kuyup setelah tadi berlari menyeberangi hujan tanpa payung untuk menyelamatkan si kucing dari guyuran badai.
“HATSYIII!” bersinnya rupanya tak mengagetkan si kucing sama sekali. Padahal menurut Lian Jie, suara bersinnya tadi bisa disamakan dengan gelegar petir yang sempat mengagetkannya tadi. Sebal, Lian Jie toh tidak bisa memaksa si kucing untuk kaget karenanya.
Menggigil makin hebat, Lian Jie memutuskan untuk meninggalkan si kucing yang sedang asyik mengeringkan diri dengan jilatannya itu, kemudian menukar bajunya. Baju Exorcist tipe satu yang sekarang ini dia kenakan, ditanggalkannya dan digantinya dengan baju Exorcist lain miliknya yang bisa ia temukan di antara tumpukan bajunya di dalam lemari. Aksen perak lebih sedikit ditemukan di baju barunya ini dan ada garis perak membentuk salib tipis di punggung. Dan di bagian jantungnya, salib Exorcist berkilau ketika cahaya kilat kembali melintasi langit.
Sudah selesai menukar pakaian, Lian Jie masih berjongkok di depan lemarinya, mencari-cari handuk di antara tumpukan lipatan pakaian yang tak rapi. Handuk itu akan digunakannya untuk mengeringkan badan si kucing hitam. Kalau dengan jilatan saja tidak akan cukup, kan? Namun setelah menemukannya pun, Lian Jie masih tak beranjak dari tempatnya. Perutnya berkeriuk, kelaparan.
Udara dingin memang membuatnya mudah lapar, sekaligus meningkatkan rasa malasnya. Dia ingin sekali memakan sesuatu yang hangat, tapi dia terlalu malas berjalan jauh ke Aula Makan. Sedangkan persediaan camilan di laci mejanya juga sudah dia habiskan semalam. Tak ada lagi makanan yang tersisa yang bisa dijangkaunya dengan mudah... kecuali...
Kucing itu boleh dimakan tidak, ya? Kan dia bisa mengeringkannya dulu, kemudian mencincangnya dengan Dragon's Heir. Ada kedutan bergairah di punggungnya ketika Lian Jie menyebutkan nama Innocence-nya itu.
Oi, oi, otak seperti itu Lian Jie bisa jadi Togaochi lho!
Perlahan, seperti harimau yang mengincar mangsa, Lian Jie memutar badannya. Memang tak tergambar ekspresi di wajahnya, tetapi kilat kelaparan terpancar di kedua matanya. Otaknya sedang menyusun strategi bagaimana sebaiknya dia memperlakukan si kucing, apakah boleh dia menggunakan Innocence untuk menyembelih, ketika dia menyadari pada akhirnya bahwa si kucing itu tidak ada.
He? Ke mana perginya kucing hitam itu?
“Glace?” mata Lian Jie menelusuri kamarnya dari sudut ke sudut. Nihil.
Rupanya kucing hitam, yang dinamainya sesuai dengan nama dan tanpa persetujuan teman sekamarnya itu, sudah meninggalkan tempatnya. Bukan hanya itu, makhluk berekor itu juga rupanya meninggalkan kamar Lian Jie, yang pintunya terbuka sedikit. Bagaimana Lian Jie tahu? Kucing itu meninggalkan jejak basah setelah sebelumnya menginjak sisa air yang tadi menetes dari baju basah Lian Jie. Dan ada cap hitam tapak-tapak mungil empat dan lima buku-buku jari. Pasti tadi Glace juga menginjak genangan tinta hitam yang belum sempat dibersihkan oleh Lian Jie tadi.
Selama beberapa detik, Lian Jie hanya bisa menatap kosong pintu kamarnya. Merasa bodoh karena dia lupa menutup pintu. Menyesal juga percuma, si kucing sudah berkelana entah ke mana di Black Order Asia itu.
Tidak akan ada yang keberatan, kan, kalau hanya seekor kucing saja yang menyusup? Yah, sisi positifnya, remaja itu berhasil terhindarkan dari tindakan kekerasan terhadap binatang.
Last edited by Li Lian Jie on 17th February 2010, 16:02; edited 1 time in total | |
| | | Gletsjers van Virchow
Posts : 215
Biodata Posisi: Exorcist Cabang: Asia Umur: 20
| Subject: Re: [NON-CANON][SERIES][COMPLETED]A Black Cat and A Boy 8th February 2010, 09:08 | |
| Wahahaha... Komen yang pertama ya! Boleh gak? *ditabok*
Penggunaan bahasanya bagus! Terutama penggunaan majas hiperbola *ditendang* untuk menggambarkan kondisinya.
Selain itu, saya juga suka sama bagian horor dan sesuatu yang berhubungan dengan sialnya (angka 13, kucing hitam, dll) *btw, kenapa gak ditambahin angka 4 sekalian sih?* *plak*
Nambahin dikit, si Virchow itu sebenarnya gak terlalu suka observasi atau bertualang! Mungkin lebih pas kalau ia sedang keluar mencari-cari informasi tentang bapaknya Si Glenn *PM dihajar chara sendiri? Tapi saya rasa gak diubahpun sudah bagus kok! *PLAK* | |
| | | Louis Eastwood
Posts : 30 Umur : 35 Pemilik : LLJ
Biodata Posisi: Exorcist Cabang: Amerika Utara - Selatan Umur: 16
| Subject: Re: [NON-CANON][SERIES][COMPLETED]A Black Cat and A Boy 8th February 2010, 09:22 | |
| Saya pikir mau komentar tentang nama Glace yang dipakai sembarangan untuk menamai kucing. XDDD Nyohoho, ya terobsesi dengan pencarian Anda, kan? Lagipula, kalau dilihat dari sisi Lian Jie, bisa saja terlihat begitu, karena toh selama ini Glace belum bercerita pada Lian Jie kalau Glace sedang mencari ayahnya. Masa Lian Jie bisa tahu kalau Anda berkeliaran mencari informasi tentang Ayah Anda? Btw, iya, ya? Kenapa aku bisa lupa sama angka 4?! D8 Tapi kan nggak ada angka 4 di sekitar Lian Jie. bisa saja dibuat ada sih, tapi kan sudah telanjur lupaYosh, seri berikutnya masih ada kok~ Tapi... rahasia dong. X3 Terima kasih sudah jadi yang pertama berkomentar~ | |
| | | William R. Rheins
Posts : 36 Umur : 31 Pemilik : Glace
Biodata Posisi: Disciple Cabang: Amerika Utara - Selatan Umur: 17 tahun
| Subject: Re: [NON-CANON][SERIES][COMPLETED]A Black Cat and A Boy 8th February 2010, 09:31 | |
| UWOOOGH.... Nama kucingnya Glace? *kelewat*
Ugh.... Hu... Hu... Hu... *Sudden evil grins*
Wokeh! Tak tunggu yang berikutnya!
And don't forget, I'll return for revenge! *nyiapin plot* XD | |
| | | Louis Eastwood
Posts : 30 Umur : 35 Pemilik : LLJ
Biodata Posisi: Exorcist Cabang: Amerika Utara - Selatan Umur: 16
| Subject: Re: [NON-CANON][SERIES][COMPLETED]A Black Cat and A Boy 8th February 2010, 09:38 | |
| Heee mau balas dendam?! Weleh, padahal di seri berikutnya, sudah saya siapkan plot untuk Lian Jie sebagai ***** *****. Oho, itu masih dirahasiakan tentunya~ >:3
Yah, tapi kalau Anda berniat membuat revenge, why not? XDD ditunggu~ | |
| | | Zhang Huo Ju
Posts : 32 Pemilik : LLJ
Biodata Posisi: Section Staff Cabang: Asia Umur: 24
| Subject: Re: [NON-CANON][SERIES][COMPLETED]A Black Cat and A Boy 17th February 2010, 15:39 | |
| Kelanjutan dari “A Black Cat and A Boy” dengan lakon yang berbeda. Tapi ada Lian Jie jadi figuran. A Black Cat and A Lady“HATCHIIIH!”Yak, suara bersin yang luar biasa keras dan kasar. Untung tak ada orang lain selain dirinya di dalam Ruang Sandi. Tak akan ada yang menegurnya atas suara bersin yang tak sewajarnya dibunyikan oleh seorang gadis. Walau seandainya ada orang lain di sana, toh suara bersin barusan juga tak akan terdengar karena teredam oleh gelegar petir di tengah badai besar ini. Tapi memangnya, siapa yang di tengah deru badai ini masih giat-giatnya bekerja? Tersembunyi, atau malah mungkin tertimbun, di balik tumpukan kertas-kertas dan gulungan bambu dan perkamen di atas sebuah meja yang ukurannya terlalu luas untuk ukuran seorang gadis, adalah Zhang Huo Ju. Penggila sandi berusia dua puluh empat tahun ini melemparkan sehelai kertas ke gundukan sampah di pojok ruangan setelah menggulungnya menjadi bola. Hidungnya mengeluarkan bunyi “srut” khas orang yang sedang pilek. Jadi, jangan bertanya apa yang sebenarnya barusan dia tempelkan pada kertas yang barusan dibuangnya tadi. Badai belum berlangsung selama sehari, tapi dia sudah terkena flu. Huo Ju mengaku, dia memang jarang berolah raga. Wanita ini kalau sudah berkutat dengan segudang sandi, dia akan melupakan segalanya dan hanya memfokuskan diri pada pemecahan maupun penulisan sandi. Memang sudah menjadi wataknya, makanya kalau kena flu pun itu salahnya sendiri. Bicara soal 'melupakan segalanya', coba kita lihat keadaan ruang sandi yang berhasil diubahnya menjadi... entah apa kata yang tepat untuk menyebutnya. Buku-buku yang rata-rata setebal batu bata, dicabut keluar dari lemari penyimpannya. Alih-alih tertumpuk di atas meja yang seharusnya cukup untuk menampung semuanya, buku-buku itu bertebaran di lantai bersama dengan kertas-kertas dan gulungan kitab yang terbuat dari bambu maupun kain. Ya, bertebaran seperti ada badainya berlangsung di dalam ruangan, bukannya di luar. Sebenarnya apa sih yang baru saja dilakukan wanita ini? Jawabannya ada di beberapa menit yang lalu ketika petir terbesar menggelegar, persis terjadinya seperti semeter ada di atas kepala saja. Sedetik sebelum petir ini mengguncang angkasa, Ruang Sandi masih terlihat sedikit lebih rapi tiga menara buku berjajar rapi di tepian meja. Sedangkan Zhang Huo Ju, satu-satunya manusia yang sempat hidup di dalam tempat kejadian perkara di waktu kejadian ini, ketika itu sedang menyusupkan hampir separuh badannya dari kepala sampai pinggang untuk mencari sesuatu yang sangat dibutuhkannya untuk memecahkan tiga halaman sandi, yang hingga sekarang pun masih terbenggang rapi di atas meja. Kemudian--- BLEGAR! Datanglah petir si biang keladi dan--- Jedug! Huo Ju pun terlonjak kaget. Namun, dia lupa kalau dia sedang mengurung separuh badannya di dalam laci yang meski ukurannya besar, pasti tingginya lebih pendek dari tinggi Huo Ju yang sedang melompat. Dan ya, hasilnya adalah benturan yang luar biasa keras, yang bahkan bisa menggoyahkan meja dan merubuhkan tiga menara buku yang sejak semula memang terletak di lokasi yang labil. “Mukyaaa!” perlu waktu beberapa menit bagi Huo Ju untuk mengondisikan diri. Seisi kepalanya rasanya panas sekali. Darahnya seakan mengalir naik ke kepala, mengisinya penuh-penuh. Ke manapun mata cokelat legamnya memandang, segalanya hanya warna putih dan kilauan cahaya pelangi yang muncul sebentar-sebentar. Huo Ju tak berani meraba kepalanya, takut menemukan telur yang tak akan bisa lepas dari batok kepalanya alias benjol. Dinginnya udara yang turut dihantarkan oleh lantai berbatu tempatnya mengistirahatkan diri sejenak itu tampaknya lumayan membantu mempercepat proses pengembalian kesadarannya. Entah sebaiknya dia harus berterima kasih atau tidak pada badai di hari Jumat ini. Lalu, apa yang dilakukannya sekarang? Terlihat begitu seriusnya menekuni sandi, menunjuk-nunjuk deret huruf dengan ujung pena bulunya, dan terakhir bersin dengan hebatnya. Memangnya, apa yang bisa terlihat kalau lenteranya saja dia tinggalkan di lantai, di samping kursinya, yang tadi dipakainya untuk membantunya melihat isi laci meja di samping kakinya. Padahal, dengan pekatnya gumpalan mega di langit, tentu jumlah sinar mentari yang sampai ke mejanya sedikit sekali. Apalagi, sebagian besar dari kaca jendela sudah dipenuhi dengan es. Orang bodoh pun pasti tahu, kalau Huo Ju cuma berpura-pura sibuk. Sehingga kalau ada orang yang berteriak panik, tak akan begitu menyalahkan Huo Ju yang sedang berkamuflase: sok sibuk dengan pekerjaan. Orang kalau sudah sibuk, apa akan memperhatikan hal-hal lainnya, yang di sekitarnya sekalipun? Kalian boleh menjawab berbeda, tapi Huo Ju bukan orang yang akan mengingat siapa pengganggunya kalau dia sedang sibuk... kecuali si “Tuan Petir”. - Quote :
- A textille is better than a board. A seashore is a better place than the street. At first it's better to run than to walk. You may have to try several times. It takes some skills, but it's easy to learn. Even young children can enjoy it. Once successful, complications are minimal. Birds seldom get too close. Rain, however, soaks very fast. Too many people doing the same thing will cause problems. If there are no complications, it will be fun. Rocks will serve as an anchor. If things break loose, you will have no second chance.
Nah lho, apa maksudnya? Sebuah sandi dalam bahasa Inggris ini sampai di mejanya sejak sejam yang lalu. Dan hingga sekarang, isi kepala wanita satu ini masih dipenuhi tanda tanya. Saking seringnya membaca ulang kalimat demi kalimat, Huo Ju jadi takut kalau nanti kecepatan gerak bola matanya tidak terkontrol, atau malah bisa keluar dari tempatnya. Sudah selesai pura-puranya? Tampaknya begitu mengembalikan perhatian ke meja kerjanya, walau untuk kamuflase sekalipun, Huo Ju ternyata bisa kembali mendapatkan tujuan awal dia duduk di kantor ini. Dan jika melihat ketekunannya yang mengabaikan bayangan hitam yang melesat di pintu, menuju ke dalam kantor, benturan di puncak kepalanya tadi mungkin berhasil mengocok otaknya dan mengencerkannya. Dari tiga halaman esai yang dia terima, hanya satu paragraf ini saja yang menunjukkan keanehan. Ya, Huo Ju sama sekali tidak menemukan keserasian antar kalimat. Malah, dia merasa kalau satu paragraf ini hanya merupakan kumpulan kalimat saja. Padahal, sebuah paragraf terdiri dari kalimat-kalimat yang saling berhubungan dan serasi. Sebuah sentuhan lembut di betis putih milik si pemecah sandi ini membuatnya terpaku sejenak. Bulu romanya meremang. Hampir saja Zhang Huo Ju meneriakkan “ hidung belang”, tapi untunglah tidak jadi karena begitu dia memberanikan diri melirik ke bawah, dia hanya melihat seekor kucing hitam membalas tatapannya dengan iris hijau cerahnya. Bunyi gedebum kembali membahana di ruangan itu ketika Huo Ju mengembalikan buku setebal dua batu bata, yang urung dihadiahkannya pada “ hidung belang”, ke meja dan meraih makhluk mungil itu ke gendongannya. Iris cokelat bertemu iris hijau cerah yang menyala bagai sepasang api mercusuar mini. Dengan cepat, warna pucat muka Huo Ju langsung merona merah. Seekor makhluk hitam imut ada di pelukannya, bukannya benda mati berupa buku. Entah sudah berapa lama Huo Ju tidak memanjakan kucing, namun sepertinya kucing hitam legam itu masih mengenali sosok manusia yang berbau kucing. Hohohoho, Huo Ju tertawa bangga dalam hati. Memang, kucing adalah binatang yang paling disukainya. Alasannya mungkin akan terdengar bodoh. Dari semua hewan di muka bumi ini, kucing adalah satu-satunya hewan yang bisa mengesot manja pada manusia, bukan dalam artian bermain bersama manusia, tapi lebih dari itu. “Heee, sorot matamu sepertinya mirip dengan seseorang?” mulut Huo Ju mengerucut. Tingkahnya benar-benar mirip ibu-ibu yang memanjakan putranya, tapi tak mendapat tanggapan balik dari si bayi. Soalnya si kucing hitam juga mulai berkelejat berusaha melepaskan diri dan melompat ke atas meja, dan membaringkan diri dengan nyamannya di atas tumpukan kertas. Begitu besarnya kecintaan Huo Ju dengan kucing, membutakannya dari pekerjaannya. Sebenarnya jengkel juga kalau melihat pekerjaan yang ditekuninya selama ini berubah menjadi ranjang yang nyaman bagi seekor kucing, tapi apa daya yang dia punya? “Aaah, ternyata kau nakal juga, ya?” gerutu Huo Ju dramatis, kemudian merengkuh kembali kucing itu, kali ini ke pangkuannya. Samar-samar, di balik suara hujan, dia masih bisa mendengar suara dengkuran si hitam manis. Kemudian, sebuah cahaya ide menyala terang sekali di dalam ruang kosong di dalam kepalanya, dan dia pun menyerukan sebuah nama yang dianggapnya pantas untuk si kucing, “Lian Jie! Tingkahmu sama persis seperti dia sih~ Jadi mulai sekarang namamu Lian Jie, ya?” dan terkekeh. Kalau dipikir-pikir, tidak akan mungkin bocah bernama Lian Jie akan senang tidur berbantal kedua pahanya seperti si kucing ini, kan? Tapi Huo Ju ingin sekali menganggap sikap dingin Lian Jie adalah sebuah benteng yang memagari rapat-rapat sisi lembut hatinya. Meh, imajinasi. Brak! Mendadak pintu menjeblak terbuka dan masuklah Li Lian Jie yang asli ke dalam kantor sang bibi. Entah apa urusannya, tapi matanya liar menelusuri sudut-sudut kantor yang remang dan... berantakan itu. Ketika sesosok hitam legam berekor melesat melewati kakinya, Lian Jie sontak mengganas dan berlari mengejarnya. Dan makin ganas lagi sewaktu Huo Ju menyeru, “Wahhh, Lian Jie mau ke mana?” dan sadar bahwa bukan “Lian Jie” dirinya yang dimaksud. “Kau menamai kucing dengan namaku?!” dengking Lian Jie. Ingin sekali mengamuk, tapi dia ingat misinya adalah menangkap kembali si kucing. Rupanya Black Order tidak terima ada penyusup walaupun hanya seekor kucing, dan si pelaku yang memasukkan si kucing inilah yang ditugasi untuk menangkap si kucing. “Gara-gara kau datang sih!” Huo Ju tidak mendengarkan, tapi dia melesat meninggalkan kantornya untuk turut mengejar si kucing yang membelok ke koridor lain. “Lagian kalau mau menangkap Lian Jie, jangan lari-lari! Lian Jie kan jadi ikut lari!”Mereka berdua membelok, mengikuti jejak si kucing. Sungguh lucu mendengar cara Huo Ju menggunakan satu “Lian Jie” untuk menyebut dua makhluk yang amat jauh berbeda: keponakannya dan si kucing hitam. Tapi tak ada yang tertawa terhadap lelucon ini. “Jangan namain kucing pakai namaku!” protes Lian Jie, keras, yang meski menyaingi kerasnya guntur hari itu, masih juga tak diacuhkan Huo Ju yang telah dibutakan cinta terhadap seekor kucing berbulu hitam legam. [THE END] NB: Quote diambil dari mata kuliah saya, Reading IV, dengan perubahan. | |
| | | Sponsored content
| Subject: Re: [NON-CANON][SERIES][COMPLETED]A Black Cat and A Boy | |
| |
| | | | [NON-CANON][SERIES][COMPLETED]A Black Cat and A Boy | |
|
Similar topics | |
|
| Permissions in this forum: | You cannot reply to topics in this forum
| |
| |
|
|