[CENTRAL] Girls' Night Out

Closed, khusus Shion, Gaby, sama Lia
Timeline : malam, sesudah curhatan di Medical Check Up
Tempat : Kamar Gaby+Lia (Kamar 12)

---

Cinta.

Sejak tadi siang, terutama setelah cerita curahan hati dari seorang gadis exorcist mengenai cinta, isi pikiran Gabrielle van Rijn menjadi agak penuh dengan kata kata manis itu. Gab dan Shion, tampaknya sedang mengalami masa-masa indah, di mana mereka sedang terkena dampak perasaan itu (walaupun Shion masih agak bingung tentang kebenaran hal itu).

"Li-Lia, tidak apa-apa kan, aku mengundang Shion ke sini?" tanyanya agak gugup. Yah, walaupun mereka sudah bersahabat sejak cukup lama, namun kadang Gabrielle yang pemalu itu masih suka agak ragu kalau berpendapat dengan Lia.

Temannya itulah--Liadan Ni Suilleabhain--yang mengajarkan gadis asal Belanda itu mengenai hal-hal berbau cinta itu. Gadis Irlandia itu sepertinya memang lebih berpengalaman dengan hal-hal macam itu, yang rupanya agak bertolak belakang dengan sabahatnya itu.

Ya, sekarang tinggal menunggu kedatangan gadis exorcist yang di maksud. Semoga saja ia menepati janjinya. Gaby juga butuh acara "curhat antar perempuan" yang akan diadakannya nanti.

---

oot : webeeeeeee *plak*

Bohong namanya kalau Lia mengatakan bahwa ia mengerti seluk-beluk tentang cinta. Tapi bohong juga kalau ia bilang ia tidak tahu apa-apa. Masalahnya, akhir-akhir ini Lia sendiri suka merasa bingung pada perasaannya sendiri. Yang mana yang 'kagum', yang mana yang 'sayang', yang mana yang 'cinta', yang mana yang 'suka'.... semuanya seperti bercampur aduk begitu saja. Garis batas perasaan-perasaan tersebut sangatlah samar, sehingga membedakannya pun sulit.

Gaby, teman sekamarnya, sering curhat tentang satu-dua hal padanya; satu-dua hal mengenai cinta. Awalnya Lia hanya memberikan nasehat asal yang diragukan kebenarannya, bahkan oleh dirinya sendiri. Tapi setelah beberapa 'kejadian tidak mengenakkan' yang dialaminya, Lia merasa ia sudah tidak boleh lagi memberikan nasehat asal. Takut kualat.

Quote :

"Li-Lia, tidak apa-apa kan, aku mengundang Shion ke sini?"

Sahabatnya itu kembali memastikan bahwa Lia tidak keberatan mengundang seorang tamu lagi ke dalam kamar itu. Rasanya pertanyaan itu sudah diajukan untuk entah ke berapa belas kalinya, dan Lia akan menjawabnya dengan jawaban yang sama untuk entah ke berapa belas kalinya, "Tidak apa-apa. Shion temannya Gaby, 'kan? Berarti dia temanku juga..."

Kalau seandainya mereka mengobrol terlalu malam sampai gadis bernama 'Shion' ini tidak sempat kembali ke kamarnya, mereka masih punya sofa di kamar itu. Atau mungkin, mereka bisa tidur agak berdesakan dalam satu tempat tidur; Lia tidak keberatan.

Sekarang, ia tinggal menunggu kedatangan tamu istimewa itu. Ia agak penasaran juga, seperti apa sosok gadis itu, eh?

Ah sudah jamnya!

Shion yang sedari tadi pergi ke perpustakaan untuk mengambil beberapa buku dan membacanya mulai membereskan buku-buku tersebut, sekadar untuk melupakan suatu pernyataan yang sangat sulit diterimanya. Cinta. Benda macam apaan sih itu? Shion tidak pernah mengerti dan tidak mau mengerti, bukankah kalau ada perasaan seperti itu maka kita akan menjadi lemah? Shion tidak ingin lagi merasakan perasaan pilu kehilangan untuk kedua kalinya seperti waktu itu. Tidak.

Tidak berlangsung lama ketika sang gadis exorcist berkebangsaan Islandia ini tadi pergi ke ruang infirmary sekadar mengecek keadaannya yang terasa aneh, terutama setelah kejadian nista tersebut berlangsung. Tapi bukannya mendapatkan pemberitahuan bahwa dia terserang suatu penyakit atau apapunlah semacam itu, Shion malah mendapatkan sebuah kenyataan bahwa katanya dia jatuh cinta?!

Sepertinya Gaby salah.

Atau dia saja yang keras kepala tidak mau menerima hal tersebut?

Ah sudahlah, memikirkan hal tersebut tidak ada habisnya, sebaiknya Shion pergi saja sekarang daripada membuang waktu percuma disini. Dia pun beranjak berdiri, dan setelah mengembalikan sejumlah buku yang dibacanya saat itu, Shion melenggangkan kakinya ke arah asrama perempuan, kalau tidak salah Gaby menyebutkan nomor kamar mereka adalah dua belas, ya sudah, kita cari saja.

......

Disinikah?

Memandang pintu kamar bernomorkan dua belas, apakah benar Gaby ada disini? Tiba-tiba saja Shion menjadi ragu. Apakah memang benar dia harus masuk ke sini jika pemberitahuan yang akan dia dapat nantinya tidak akan berubah seperti di ruang infirmary tadi? Ah, kenapa jadi takut begini Shion! Bukan sifatmu, ok? Lagipula kalau memang benar, tinggal menghindari bertemu saja dengan pemuda dengan general sama sepertinya itu kalau perlu, ah tapi cara seperti itu juga sama saja seperti Shion adalah pengecut, dan dia benci akan hal tersebut.

"Ah, sial mengapa kejadian itu harus terjadi jika akhirnya malah jadi merepotkan seperti ini!"

Tidak sengaja tangan kanannya yang putih halus bersinggungan dengan pintu kamar nomor dua belas tersebut, menimbulkan bunyi 'Brak!' yang lumayan keras sebelum Shion menyadari bahwa tindakannya barusan mungkin akan mendatangkan protes dari tetangga sebelahnya.

"Ups, ah biarlah, anggap saja sekalian mengetuk pintu" pikir Shion menjulurkan lidahnya nakal. Sebodo deh mau marah atau apapun, cuekin saja kalau benar itu terjadi.

"Gaby? Ini Shion"

Mengeraskan sedikit volume suaranya, berharap sosok gadis staf medical tersebut keluar dari pintu kamar di hadapannya ini. Kalau salah atau lama menjawabnya mungkin Shion akan langsung melangkahkan kakinya pergi ke kamar miliknya sendiri dengan Allegra, teman sekamarnya.

BRAK!!
Auh, Gabrielle yang sedang cemas itu melompat saking kagetnya dengan suara keras yang datang dari arah pintu kamarnya itu. Suara apa itu? Apakah ada orang mabuk yang ingin mendobrak pintunya?? Euh, sadarlah Gabrielle, mungkin itu hanya Shion. Kemudian Gabrielle menarij nafasnya perlahan dan menghembuskannya lagi.

“Li-Lia, kau dengar suara itu?” tanyanya perlahan pada Lia yang sedang berada di sampingnya.

“Gaby? Ini Shion.”

Ternyata dugaan Gabrielle benar, Shion-lah yang tadi mengetuk pintu kamarnya dengan agak keras. Setidaknya bukan orang mabuk, kalau benar sungguh menyeramkan. Gabrielle tertawa kecil dalam hati, membentuk senyuman lembut dari wajah putihnya. Syukurlah Shion bersedia datang ke kamarnya untuk sekedar bincang-bincang.

“A-ahh, silakan masuk, Shion. Oh, ya ini temanku Lia. Ka-kalian pernah bertemu?” sapanya ramah saat membukakan pintu pada Exorcist kelahiran Islandia yang bertamu ke kamarnya. Dan ya, kemungkinan Lia dan Shion bertemu sepertinya cukup besar. Mereka berdua sama-sama berjabatan Disciple, walaupun General mereka berbeda.

…Kira-kira Shion akan cerita apa ya?

Fuh, tindakannya pasti akan membuat terkejut apa yang sedang ada di dalam. Biarkan saja, bukan salahnya toh? Salahkan PEMUDA itu. Yang benar saja, kenapa wajahnya selalu berbayang di benaknya sekarang? Tidak lama lagi ia akan melakukan sesuatu agar dapat menghapuskan sisa ingatan tentangnya itu, lihat saja nanti. Jangan protes pada dirinya atas apa yang akan dilakukannya nanti padamu nanti, Lioret Ifrit Shirogane.

Menatap seulas wajah ramah beserta dengan sambutan baik untuk masuk ke dalam.

Membalaskannya juga dengan seulas sabit kecil manis di wajahnya Shion pun melangkahkan kakinya masuk setelah sebelumnya mengatakan "Permisi kalau begitu". Mengerlingkan pandangannya ke arah seorang gadis yang kemungkinan besar adalah teman sekamar Gaby. Seorang bermahkotakan hampir sama dengannya, namun nampak lebih pucat dibandingkan tirai pirang cerah yang dimilikinya.

Kata Gaby apa tadi? Lia namanya? Hmm, ia memang pernah mendengar nama itu, kalau tidak salah disciple dari seorang general Halverson eh? Ia tidak terlalu peduli dengan hal tersebut sebenarnya, dan setahunya kenapa selama ini banyak sekali kenalannya yang adalah seorang exorcist sama seperti dirinya juga berjabatan disciple? Apakah memang banyak sekali yang terangkat menjadi seorang murid di bawah perintah langsung atas kemampuan yang ia miliki?

Silakan tanyakan sendiri pada sang Chief Supervisor.

"Umm, rasanya belum, tapi sekarang sudah kan? Shion, salam kenal"

Salam singkat.

Dia tidak ingin berlama-lama atas perbincangan tak masuk akal ini. Kalau bisa ia ingin segera mengakhirnya sekarang. Menurutnya sangat tidak penting atas perasaan yang dikatakan Gaby ketika di infirmary ketika itu. Apakah memang rasa itu penting jika kemampuan yang kau miliki tak bertambah sama sekali? Menyebalkan? Silakan katakan apapun, ia hanya mengatakan argumennya.

"Jadi? Apa yang perlu kita mulai sekarang? Dan bolehkah aku duduk disini?"

Menatap.

Mengambil tempat di salah satu tempat tidur yang ada, rasanya ia tidak begitu sopan eh? Perasaan saja, ia sudah berusaha untuk selalu mematrikan senyum manis itu di wajahnya.

BRAK!!
Mata hijaunya melotot sedikit, kaget mendengar bunyi gebrakan keras di pintu kamarnya. Ada sesuatu yang menabrak pintu itukah? Atau ada seseorang yang menggebraknya? Gaby menanyakan apakah Lia mendengar suara itu, dan Lia hanya mengangguk pelan sebagai balasan. Suara sekeras itu, tidak mungkin Lia tidak dengar.

Tak lama, terdengar suara anak perempuan dari balik pintu, yang langsung dibalas dengan ramah oleh Gaby. Seorang anak perempuan masuk ke dalam ruangan itu. Melihat dari seragamnya, anak perempuan itu pastilah seorang Exorcsit, sama sepertinya. Tapi mungkin karena padatnya jadwal dan segala macam kesibukan tiap-tiap Exorcist, mereka tidak pernah berpapasan. Mungkin pernah, tapi Lia tidak ingat.

Gaby kemudian bertanya apakah anak perempuan itu dan Lia saling kenal, yang langsung dijawab oleh anak perempuan itu. Rupanya nama anak perempuan itu adalah Shion. "Lia, salam kenal," balasnya sama singkatnya.

"Jadi? Apa yang perlu kita mulai sekarang? Dan bolehkah aku duduk disini?"

"Silakan duduk di manapun kamu mau," jawab Lia ringan. "Dan aku juga tidak tahu mau bicara apa. Gaby, ada yang mau kamu bicarakan?" tambah Lia sambil menatap Gaby dengan tatapan datarnya yang biasa.

"Duduklah di tempat yang menurutmu nyaman, Shion. Anggap saja kamar sendiri," ucapnya ramah ditambah senyuman manis di mukanya.

Fuh, baiklah sebenarnya Gabrielle cukup menanti cerita romansa gadis Exorcist yang bertamu ke kamarnya itu. Siapa nama lelaki yang menciumnya ngomong-ngomong? Auh, karena terlalu panik untuk siap-siap tadi, Gabrielle jadi lupa beberapa omongan Shion padanya di infirmari tadi siang.

"J-jadi, masih merasa tidak enak badan, Shion?" tanya Gabrielle untuk memulai sesi curhat malam ini.

---

OOT : webeeee nyingkah doong *shot*

Satu persatu dengan baik hati berkata bahwa dia bebas mendudukkan dirinya dimana pun, dan disuruh menganggap kamar ini seperti kamar miliknya sendiri. Hmm tak usah dikatakan pun ia akan seenaknya sendiri walau bukan kamar miliknya sekalipun. Buktinya ia sudah mengambil posisi duduk di salah tempat tidur entah milik Gaby atau gadis dengan nama Lia itu tanpa menunggu jawaban kembali dilontarkan oleh mereka. Dia bukannya tak bertatakrama, tidak mungkin dengan kondisi keluarga Gelvanekennari yang masih merupakan keturunan dari bangsawan.

Hanya sedang tak ingin mungkin.

Apa yang harus dibicarakan ya.. hmm, ia kesini untuk kembali mendapatkan kejelasan mengenai perasaan aneh yang dirasakannya sekarang. Bisakah mereka menjelaskannya? Apa boleh buat, ia tidak tahu siapa lagi yang bisa dicari bantuan untuk kebingungannya saat ini terhadap apa yang terjadi padanya, semenjak kejadian nista di bawah salju putih bersih itu, tak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya.

"Tidak sih, hanya.."

Hanya?

"Tak tahu lagi apa maksud dari perasaan itu, kalian tahu?"

--Atau justru pernah merasakan hal yang sama?

"J-jadi, masih merasa tidak enak badan, Shion?"

"Tidak sih, hanya.. Tak tahu lagi apa maksud dari perasaan itu, kalian tahu?"

Sepertinya, ada percakapan antara Gaby dan Shion yang Lia tidak tahu. Sudah tidak tahu apa-apa, dimintai nasehat pula, Lia rasanya mau geleng-geleng kepala saja. Bukannya ia tidak bisa melogika apa yang sebenarnya terjadi, hanya saja ia terlalu malas untuk menggunakan otaknya untuk sesuatu yang sebenarnya bisa ditanyakan secara langsung.

Perasaan yang mirip tidak enak badan, tapi bukan tidak enak badan... Mungkinkah...

"Shion, ada seseorang yang kamu sukai, ya?" tanya Lia langsung, tanpa basa-basi, dengan nada yang tenang dan datar. Lia yakin pertanyaannya itu tidak perlu dijawab, karena pasti jawabannya 'iya'. Tapi tetap saja, ia perlu kepastian dulu.