[ASIA]Check-Up with the Careless-but-Lucky Doctor

Lokasi: Infirmari
Timeline: Terlepas dari segala roleplay yang ada, sekitar jam 2 siang
Status: Open for All

---

Bahkan di musim dingin pun, matahari masih berbaik hati menyinari bumi.

Mata biru Brian hanya mampu menilik apapun yang berada di luar ruangan. Terriknya matahari seakan tanpa ampun, bahkan di musim dingin sekali pun. Kering, tidak sama seperti saat dirinya masih di Amerika--apapun yang berhubungan dengan musim dingin berkaitan dengan salju... dan natal. Ah, ia jadi merindukan keluarganya.

Tangan kanan menggaruk-garuk pipi, sementara tangan kirinya mengaduk ramuan yang ia buat sejak tadi pagi. Awalnya, ia memang berniat untuk membuat sebuah ramuan penambah darah untuk seorang Jendral garang se-Asia. Entah bagaimana, langkah-langkah yang ia ambil terasa salah... meskipun pada akhirnya hasil dari ramuannya memang benar jadinya: sebuah ramuan penambah darah.

Perlu dipermasalahkan kah?

Tangan kirinya berhenti memutar ramuan dengan sendok, sebelum menatap warna merah kecoklatan ramuan tersebut. Senyum senang merayapi wajahnya--setidaknya hasilnya bukanlah sesuatu yang berbahaya.

Hanya berpotensi berbahaya.

"Syukurlah Section Leader tak datang melihat... Aku ragu kalau langkahku benar..." Brian hanya menghela napas panjang. Mata birunya sekarang menatap ruang infirmari yang sepi. Bagus, karena itu berarti tidak ada korban jiwa untuk saat ini. Hal yang patut disyukuri.

Maaf saja, hari ini Brian Selvatine tidak berniat melihat hal berbau darah.

Sei menghela nafas panjang sambil berjalan gontai ke arah infirmari. Lagi-lagi ia dititipi pesan untuk mengambil obat untuk Xiao Ling, sementara yang bersangkutan sedang pergi dalam misi, tanpa membawa perbekalan obat. Ia jadi heran sendiri, untuk apa ia repot-repot mengambilnya hari itu juga, karena toh si 'pasien' sendiri baru akan pulang beberapa hari atau beberapa minggu lagi.

"Permisi..." ucapnya pelan seraya memasuki ruang infirmari. Ia mengerenyit pelan saat mencium bau-bauan mencurigakan dari dalam ruangan itu. padahal ia sudah sering keluar-masuk infirmari, tapi ia masih belum terbiasa dengan baunya.

Sei melihat ada sosok pria berambut pirang yang sepertinya sedang meracik sesuatu. Racikan yang dibuatnya memang tampak mencurigakan, tapi sepertinya pria itu adalah salah satu peracik obat. Mungkin dia tahu tentang obatnya Ling... batinnya pelan.

"Eeh, Tuan..." sapa Sei sambil tersenyum tipis. "Maaf, kalau boleh tahu, apakah racikan obat untuk General Tek Xiao Ling sudah ada? Saya datang mewakili beliau untuk mengambilnya," lanjut Sei, masih dengan senyum ramah yang sama.

'Nyahahaha... Baunya sudah pas!'

Bersitan pikiran yang meluncur begitu di kepala Brian terasa tidak terbendung. Lihat saja tangan kanannya yang sekarang berhenti memutar sendok, sementara tangannya yang lain mengambil sebuah botol (seukuran botol susu?) sebelum dengan cepat memasukkan ramuan merah kecoklatan tersebut.

...Ah, salah. Ramuan yang ia masukkan ke dalam botol sudah berubah warna menjadi merah darah.

"Sip~! Satu pesanan selesai--"

"Permisi..."

"Eeh, Tuan... Maaf, kalau boleh tahu, apakah racikan obat untuk General Tek Xiao Ling sudah ada? Saya datang mewakili beliau untuk mengambilnya."

Kepala berambut pirang tersebut segera berpaling ke arah pintu. Senyum puas masih tampak pada wajahnya yang kini tampak seakan baru saja menemukan suatu hal yang ajaib. Yah, ramuan yang baru dibuatnya memang bisa dibilang ajaib... toh ia sendiri tidak yakin langkah yang ia lakukan memang benar.

"Ah! Sang koki datang ke sini juga~!" Seringai muncul--sebuah seringai yang sebenarnya bermaksud baik. Kalau saja Brian Selvatine tidak terlalu bersemangat seperti ini... Yah, karena biasanya kesialan seseorang berawal dari bagaimana Brian beruntung.

"Kebetulan, ini racikannya baru saja selesai--" Brian hanya mengacungkan botol tersebut ke arah pria berambut hitam. Mata birunya menyipit, sebelum ia berjalan mendekati pria berambut hitam tersebut dan mengamatinya dengan seksama. "Heeeeeeee... Tuan sepertinya terlalu khawatiran..." Brian segera berjalan mengitari pria berambut hitam ini. Mata birunya mengamati setiap otot yang menegang. "Anda sebaiknya istirahat lebih banyak, tuan. Tidak baik mengkhawatirkan orang lain secara berkepanjangan."

Seringai tersebut masih terpasang sebelum Brian melangkah mundur, sekitar satu setengah meter dari Sei sebelum berbalik menuju mejanya. "Ada yang lain, tuan koki?"

Sei hanya bisa mengangkat sebelah alisnya melihat racikan yang dibuat pria berambut pirang itu. Ia bahkan luar biasa mencurigai racikan yang dibuat olehnya. Ke mana si peracik tua yang biasa membuatkan obat yang lebih tidak mencurigakan?

Dan entah kenapa, cairan kemerahan yang ditempatkan dalam botol kaca itu membuat Sei bergidik melihatnya. Ia berpikir untuk membeli racikan obat di toko obat di luar markas saja, daripada mengambil resiko meracuni sang General yang memang akhir-akhir ini sering sakit-sakitan. Bagaimanapun juga, Xiao Ling masih sahabatnya.

Quote :

"Heeeeeeee... Tuan sepertinya terlalu khawatiran... Anda sebaiknya istirahat lebih banyak, tuan. Tidak baik mengkhawatirkan orang lain secara berkepanjangan."

Sei hanya bisa tersenyum tipis menanggapi ucapan si peracik obat itu. Bagaimana ia tidak khawatir, racikan yang seharusnya ia ambil tampak terlalu mencurigakan untuk menjadi obat... bisa dibilang, racikan itu lebih mirip racun daripada obat. Jelas ia khawatir.

"Ah, saya biasa-biasa saja, kok. Tidak ada yang saya khawatirkan," kata Sei sambil tetap tersenyum.

"Racikannya, erm... saya ambil sekarang, ya. Terima kasih atas kerja kerasnya," tambah Sei sambil mengambil botol berisi racikan tersebut, yang--entah perasaannya saja atau memang benar begitu--lebih terlihat seperti darah sungguhan.

Ia tersenyum kaku, lalu membungkuk pelan dan bersiap-siap untuk meninggalkan infirmari.

---

[OOT : someone, stop him!]

Ck, berdarah.

Sang pria Hindia-Belanda ini mendengus kesal, memperhatikan tangan kirinya yang berdarah, akibat tergores sesuatu. Baik, walau ini akibat dari kecerobohannya sendiri, namun harga diri pria ini terlalu besar, sehingga ia enggan mengakuinya. Jari-jari tangan kanannya mengelus tangan kirinya yang berdarah, mencoba menghentikan pendarahan, namun gagal.

Ia berdecak kesal sekali lagi, langkahnya yang tidak teratur menuntunnya ke infirmari, tempat di mana ia bisa mendapatkan pengobatan seharusnya. Aurelio memasukki ruang infirmari, dan menemukan sosok yang cukup familiar di sana; sang koki Katagiri Seiryuu. "Eh, koki!" panggilnya, "Sudah ketemu resep Ikan Kadondong* belum? Sudah aku suruh cari kan?" tanyanya gamblang, lagaknya seperti bos yang sedang memerintah anak buahnya saja.

Kemudian matanya menangkap sosok yang asing, seorang pria berambut pirang yang nampaknya bekerja sebagai staf. Grr, orang Eropa, lagi?! Namanya cabang Asia, tapi kok ada orang Eropanya! Seharusnya diadakan sweeping saja biar itu semua orang Eropa dipulangkan ke kampungnya! "Kau dokter baru ya?" tanyanya pada Brian, dengan nada yang tidak menyenangkan. "Dari mana asalmu, heh?" lanjutnya lagi, satu tangannya diletakkan di pinggangnya, berkacak pinggang. Kalau pria bule di depannya ini ternyata orang Belanda... Lebih baik Aurelio berobat ke luar saja, meskipun harus bayar. Tentu, hal itu akan dilakukannya bila ia sudah selesai mencaci maki, bila benar kewarganegaraan orang itu adalah Belanda.

---

* = Ikan Cakalang rebus dicampur dengan bumbu daun Kedondong dan Lemon Cina.
[OOC : Maaf, anaknya nggak sopan =)) ]

Belum sempat Sei menyelinap pergi dari Informari untuk membuang ramuan mencurigakan itu dan membeli satu yang baru, sosok Exorcist yang dikenalnya muncul. Lebih parah lagi, pria itu langsung memanggilnya tanpa setitikpun rasa sopan atau apapun itulah.

Quote :

"Eh, koki! Sudah ketemu resep Ikan Kadondong belum? Sudah aku suruh cari kan?"

Sei hanya tersenyum ramah, meski di hatinya ia berbisik 'sialan nih orang satu'. "Waduh, maaf. Aku sudah dapat resepnya, tapi... Aku tidak mengerti Kedondong itu bumbu macam apa. Mungkin kau bisa beri tahu aku, Aurel?" balas Sei tenang, masih sambil tersenyum.

Mendadak, perhatian pemuda itu teralihkan oleh si dokter-peracik-obat yang baru. Ia mengerti bahwa Aurelio sangat membenci orang Eropa, lebih-lebih orang Belanda. Tidak mau ada pertumpahan darah antara sang Exorcist dan si dokter baru, Sei tidak jadi pergi dari Infirmari.

"Tenanglah, Aurel. Bukankah dulu saat pertama bergabung dengan Black Order, kamu sudah diberi tahu bahwa organisasi ini adalah sebuah organisasi plural, yang menampung siapapun yang mau bergabung, entah dari manapun asalnya? Kamu juga, harus bisa menolerir semua orang yang ada di sini. Lihat saja Ling; meski ia adalah General dan seorang Asia sejati, ia mau kok menerima Disciple dari Eropa!" jelas Sei ramah.

"Racikannya, erm... saya ambil sekarang, ya. Terima kasih atas kerja kerasnya,"

Brian berkedip beberapa kali, sebelum mulutnya terbuka sedikit--tanda kecewa. "Heeeeee? Kau yakin dengan racikan itu? Racikan itu baru selesai direbus. Aku belum memroses lebih lanjut!" Dahi pemuda ini berkerut. Maklumkanlah, karena pemuda yang satu ini memiliki tendensi short-attention yang akut.

Sangat, malah.

Dengan segera, pria ini melangkah cepat menuju si pemuda cina dan merampas racikannya. Katagiri Seiryuu mungkin akan bertanya-tanya bagaimana Brian Selvatine bisa menjadi seorang staff. Bagian medis pula.

"Kau dokter baru ya?"

Kepala pirang segera berpaling, tangan kanan masih memegang ramuan semerah darah di tangan kanan (tentunya, yang sudah ia rampas kembali dari tangan Sei). Mata menyipit; seorang pemuda, sepertinya langganan infirmari, dengan postur yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Orang Cina? Tidak, yang jelas bukan. "He? Err... ya?" Brian hanya menjawab agak bingung, dengan tampang oblivious.

"Dari mana asalmu, heh?"

Pria berambut pirang ini berkedip beberapa kali. Ingin mengatakan kalau ia berasal dari Inggris; lidahnya bahkan sudah siap untuk melontarkan jawaban. Pada akhirnya, lidahnya malah menekuk, membentuk fonetik baru--satu kata yang tidak bohong, karena satu kata ini merupakan fakta.

"Amerika." Lidahnya hampir saja tergigit--selalu saja hal ini terjadi. Mungkinkah kalau ia menjawab dengan negara tempat kelahirannya, hasilnya malah buruk? Yang pasti, setelah mendengar kata-kata Seiryuu, senyum dari pria ini melebar. "Yaaah, pokoknya gitu deh. Berhubung ini infirmari, dan saya dokternya, ada yang bisa saya bantu?"

Senyum polos--tak ada maksud tersembunyi, hanya berupa kebaikan. Sayangnya... keteledorannya biasanya tidak berakibat baik (meskipun pada akhirnya hasil akhir sesuai dengan yang diidamkan).

"Waduh, maaf. Aku sudah dapat resepnya, tapi... Aku tidak mengerti Kedondong itu bumbu macam apa. Mungkin kau bisa beri tahu aku, Aurel?"

"Haa?" ujarnya dengan nada heran, alisnya mengerut. "Haloo? Kan kamu kokinya, harusnya tahu dong," ucap Aurelio ringan, dan lagi, dengan nada yang tidak enak didengar di telinga. Bisa dipastikan Sei akan merasa kesal lagi akibat perlakuan tidak menyenangkan yang didapatkannya dari pria Hindia Belanda ini.

Staff yang diyakininya berprofesi sebagai dokter menjawab pertanyaannya dengan singkat dan jelas; "Amerika."

Mata Aurelio berkedip, "Ohh, Amerika?" bibirnya naik sebelah, membentuk sebuah senyuman miring yang sinis, entah apa maksudnya. Sementara di otaknya sedang terjadi brain-storming tentang kalimat ledekan macam apa yang bisa dilontarkan untuk orang Amerika, Sei menginterupsi.

"Tenanglah, Aurel. Bukankah dulu saat pertama bergabung dengan Black Order, kamu sudah diberi tahu bahwa organisasi ini adalah sebuah organisasi plural, yang menampung siapapun yang mau bergabung, entah dari manapun asalnya? Kamu juga, harus bisa menolerir semua orang yang ada di sini. Lihat saja Ling; meski ia adalah General dan seorang Asia sejati, ia mau kok menerima Disciple dari Eropa!"

"Dohh, bukan itu masalahnya, hei, koki," ia mengibas-ngibaskan sebelah tangannya di depan Sei, "Dari awal juga aku tidak mau ada di sini, mau siapa jadi muridnya siapa juga aku tidak peduli. Kalian yang negaranya tidak pernah dijajah mana bisa mengerti sih..." gerutunya sambil mendengus kesal. Sudah sering Aurelio mendapat 'petuah' macam itu, tapi apa itu membuat kebenciannya terhadap Belanda dan negara penjajah hilang? Tidak sama sekali. "Ahh, sudahlah. Malas aku kalau harus berdebat nggak jelas di tempat begini." lanjutnya lagi, mengacak-ngacak rambutnya sedikit sebelum pandangannya kembali kepada Brian.

"Yaaah, pokoknya gitu deh. Berhubung ini infirmari, dan saya dokternya, ada yang bisa saya bantu?"

Orang yang ramah, atau justru bodoh? Aurelio berdecak sebelum duduk di kursi yang ada di depan dokter berambut pirang itu, "Nih, coba kau obati tanganku ini." pintanya sambil memperlihatkan luka gores di tangan kirinya yang masih mengeluarkan darah.

---

[OOC: Duh, pengen gampar si Aurel deh rasanya. ]

Sei mengerutkan dahinya saat Brian menjawab pertanyaan Aurel tentang dari mana asalnya. Amerika? Seingatnya Brian berasal dari Inggris... Ya sudahlah, bukan urusannya kalau Brian mau berbohong atau apapun juga.

Dan mendengar ucapan Aurel--yang sama menyebalkannya dengan wajahnya--Sei lagi-lagi hanya bisa tersenyum ramah sambil menahan amarahnya. Ingat-ingat posisimu di sini hanya koki... Ingat-ingat...

"Maafkan saya kalau begitu. Soal Ikan Kadondong itu, nanti akan saya coba tanyakan ke rekan saya yang lain, siapa tahu ada yang lebih mengerti tentang resep satu itu," balas Sei sambil tersenyum luar biasa ramah, meski dalam hati ia sudah siap menggorok Exorcist di hadapannya itu.

Kalau... Kalau Ling ada di sini, apa yang akan dia lakukan, ya?

Pikirannya agak melayang ke sosok sang General wanita, yang seharusnya sedang menjalani suatu misi di luar sana. Seharusnya. Semoga saja yang bersangkutan tidak mendadak pulang sambil berteriak-teriak protes minta stok obatnya segera diisi kembali.

"Nih, coba kau obati tanganku ini."

Sebenarnya, sebelum Exorcist Hindia-Belanda tersebut menyuruh Brian untuk memeriksa tangannya (yang sepertinya mengalami pendarahan luar biasa?), staf medis dari Inggris ini sudah memperhatikan titikan darah dari awal. Baiklah, mata birunya itu memang cukup tanggap pada sesuatu yang berwarna kemerahan tersebut.

Ketika tangan Aurelio terulur, sontak saja Brian menelitinya... dengan agak kasar. Tapi hei, kita membicarakan staf medis paling teledor yang pernah ada di cabang Asia! Jangan berharap banyak, bukan?

"Hoooooo.... ini cuma luka biasa kok. Harusnya tidak menghasilkan nanah atau efek mematikan yang lain. Hrrrmph..." Brian menyentuh sedikit luka tersebut sebelum tersenyum lega. Tangannya melepaskan tangan Aurelio, sebelum dirinya pergi mengambil peralatan medis dari lacinya; segulung kain kasa dan satu botol kecil povidon-iodine. Seiryuu sepertinya sempat mengatakan sesuatu pada Aurelio. Ah, pria ini jadi teringat bahwa ia masih ada urusan rauman penambah darah dengan pemuda cina tersebut, bukan?

"Kemarikan tanganmu lagi, Mister Exorcist." Matanya masih berbinar-binar (dengan sedikit naif) dan menatap Aurelio, sebelum ia berpaling sesaat pada Seiryuu. "Oh, ramuan penambah darah akan kuselesaikan... er... setelah aku mengurus tuan Exorcist ini. Kuharap anda dapat menunggu, tuan..."

Hmm, siapa tuan ini lagi?

"Maafkan saya kalau begitu. Soal Ikan Kadondong itu, nanti akan saya coba tanyakan ke rekan saya yang lain, siapa tahu ada yang lebih mengerti tentang resep satu itu,"

Menanggapi kalimat terakhir dari si koki kacamata, "Hoo, baguslah," ujarnya dengan senyum asimetris--meremehkan. Seolah berkata agar Sei cepat-cepat mendapat resep itu sebelum ia kembali mendampratnya. Dan sekarang, kembali ke urusan luka...

"Hoooooo.... ini cuma luka biasa kok. Harusnya tidak menghasilkan nanah atau efek mematikan yang lain. Hrrrmph..."

Aurelio sedikit meringis ketika Brian menyentuh lukanya. Ya, ya, ia tahu kok kalau lukanya tidak parah, tidak usah dibilang juga, ia tahu. Kalau tangannya tercabik misalnya, barulah ia dibawa ke Unit Gawat Darurat. Penjelasan dokter kadang-kadang tidak penting. Ia hanya memutar matanya dengan malas ketika sang dokter beranjak untuk mengambil peralatan yang dibutuhkan.

"Kemarikan tanganmu lagi, Mister Exorcist."

Apa pula, maksud senyum dan mata berbinar-binar yang tampak bodoh itu? Memangnya dia ini... mangsa yang empuk, heh? "Hati-hati, dokter aneh." tuturnya skeptis pada Brian, mengulurkan kembali tangannya yang terluka. Ayo cepat, ia tidak betah berlama-lama di ruangan bau obat ini...

"Hati-hati, dokter aneh."

Kapan terakhir kali dirinya dipanggil aneh? Sebenarnya, sejauh apa yang pernah ia ingat, dirinya tidak pernah merasa dipanggil 'aneh' ataupun dengan sinonim-sinonim kata lain. Sungguh, mungkin ini pertama kalinya ia dipanggil aneh.

Tapi, ini juga efek dari sugesti bahwa dirinya juga masih normal.

"Yaya--" Alis beradu sementara tangannya segera menarik telunjuk yang pria yang terluka itu... dengan agak kasar. Baiklah, mungkin baginya hal tersebut merupakan prosedurr standar, namun prosedur standarnya cenderung lebih keras daripada prosedur standar perawat lain.

...Hasilnya bisa cukup menyakitkan, sayangnya.

Tangan kanannya sudah memegang kapas yang terlebih dahulu sudah diberikan Iodine, kemudian mengoleskannya pada luka. Sebelum Aurelio bisa bereaksi lebih lanjut, pemuda ini pun menekan sekeliling luka--setidaknya, pendarahan bisa dilambatkan dengan cara ini. Mengundang rintihan kecil, mungkin? Ayolah, Exorcist tidak se-whiny itu bukan?

Dengan sentuhan terakhir, pemuda tersebut membalut luka dengan kain kassa. Selesai--satu luka yang menutup dalam beberapa menit. Sebenarnya bisa sembuh tanpa perawatan kecil seperti itu, namun... hey, sterilisasi itu perlu bukan?

"Selesai~ Ada yang lain?"

Senyum Sei mulai berkedut-kedut melihat ekspresi Aurel yang tampak semakin menyebalkan di matanya. Sedikit banyak ia menyesal tidak membuka kacamatanya dulu sebelum datang ke infirmari. Setidaknya, dengan mata yang agak rabun, ia hanya bisa mendengarkan suara menyebalkan pria itu, bukan kombo suara dan ekspresi.

Kembali ke urusan luka si pria Hindia-Belanda yang harus ditangani Brian. Tampaknya, seperti biasa, dokter 'gadungan' satu itu kembali melakukan prosedur standar yang di luar standar. Lihat saja, luka kecil yang diludahi saja sembuh tampak diobati seperti luka tusuk yang dalam. Hei, meski tidak begitu paham tentang dunia kedokteran, setidaknya Sei mengerti sedikit tentang P3K. Mau bagaimanapun juga, ia adalah mantan Finder.

"Um, Selvatine... Obat untuk Ling, bisa dipercepat penyelesaiannya? Aku tidak mau sampai... dia datang di saat yang--kurang tepat." Sei membetulkan letak kacamatanya yang agak melorot dengan satu dorongan pelan dari jari tengahnya. "Kamu tahu, kalau sampai obat itu datang terlambat, aku yang susah..." katanya sambil tersenyum pahit. Malas ia berurusan dengan dampratan wanita itu.

Pemuda berambut pirang ini tahu apa tugasnya dalam bidang medis--bagaimana ia harus berhadapan dengan pasien yang terluka, ramah terhadap pasien dan protokol-protokol lain yang sebenarnya tidak ia dengarkan dalma masa pelatihannya. Hei, dia tidak diharapkan menjadi perawat (hanya menjadi peramu obat-obatan saja) dan juga tidak mengharapkan demikian. Karena itulah ia sekarang menjadi peramu obat--satu hal yang memang sudah ia inginkan sejak dahulu, jadi bukan masalah.

Yang ia kesal dari tugasnya adalah ketik abertemu dengan orang-orang yang tak tahu bahwa obat pun dibuat dengan memakan waktu. Pikirannya menyerapahkan beberapa kata tak tersirat ketika Seiryuu memintanya untuk mempercepat pembuatan obatnya.

Yah, tapi karena Seiryuu setidaknya tidak memiliki sopan santun yang buruk seperti pasien yang satu lagi, Brian Selvatine bisa bertahan.

"Sebentar, aku hanya butuh menyampurkannya dengan ekstrak blueberry. Obat ini bisa menjadi pahit sekali tanpa perisa." tersenyum--lebih tepatnya, menyeringai--sebelum melaju pergi ke sisi mejanya yang lain. Tangannya dengan cekatan mengambil ekstrak yang dimaksud, memasukkannya ke panci, mengaduknya, sampai akhirnya mengambil satu botol kecil. Larutan tersebut masih tampak merah, meskipun tidak semerah darah.