Note : credits untuk Shrei n Shu untuk karakter Shreizag E. Halverson dan Nikolai Mikhailov (meski mereka nggak ngomong juga, dan kemunculannya juga nggak begitu banyak OTL *dihajar).
Cerita ini terjadinya nggak jelas kapan, tapi yang pasti setelah Lia diterima di Black Order dan sudah menjadi Disciple dari Shrei.
Terjemahan :
Brionglóid : Mimpi
Athair : Ayah
Mathair : Ibu
Brionglóid
Kalau ada hari di mana Lía pernah menunjukkan luapan perasaannya, itu adalah hari di mana ibunya meninggal. Air matanya seolah tidak pernah berhenti saat ibunya dibawa pergi untuk dikuburkan dengan bantuan beberapa mantan pelanggan tetap toko roti miliknya. Dan kalau ada hari di mana Lía mulai berhenti berekspresi, itu adalah sehari setelah hari kematian ibunya.
Sejak hari itu, Lía berhenti menangis, tetapi ia juga berhenti tertawa. Ia berhenti mengekspresikan perasaannya, seolah tidak ada lagi yang harus diekspresikan. Ia berubah menjadi seperti boneka, seperti Bábóg Liath peninggalan kedua orang tuanya yang selalu dipeluknya dengan erat. Lía seolah telah kehilangan jiwanya di hari ibunya meninggal.
---
Entah sudah malam keberapa Lía menghabiskan harinya di Black Order Headquarter. Perasaan Lía tentang tempat itu masih sama, sebuah tempat yang dianggapnya asing dan tidak menyenangkan. Satu-satunya hal yang membuatnya tetap bertahan di sana adalah karena Masternya, Shreizag E. Halverson, juga berada di sana. Shreizag bukan hanya penyelamat nyawanya, tapi juga orang yang dianggapnya ‘ayah’ yang tidak pernah dimilikinya.
Tapi Shreizag bukan athair-ku yang asli… Bagaimanapun, aku hanyalah penipu bagi diriku sendiri…
Lía masih tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana ia telah menipu dirinya sendiri, berusaha menghibur dirinya sendiri untuk mencari ayahnya yang entah masih hidup atau sudah mati. Ia menghibur dirinya sendiri, agar ia bisa terus bertahan hidup, dan tidak berusaha mengakhiri nyawanya sendiri karena kesedihan dan kesepian yang begitu mendalam.
Lía berusaha memejamkan matanya, berusaha menghilangkan semua pikiran buruk yang menghantui dirinya. Bagaimanapun ia butuh istirahat setelah seharian berlatih dan berpikir. Namun tetap saja, bayangan samar tentang ayah kandungnya terus terbayang di benak gadis itu.
---
Saat Lía membuka matanya, yang dilihatnya adalah langit-langit kamarnya di rumahnya di Irlandia dulu. Ia mengerjapkan matanya pelan, lalu menoleh untuk melihat di mana ia sebenarnya. Saat matanya menelusuri tempat di mana ia berada, ia menemukan bahwa ia benar-benar berada di rumahnya di Irlandia. Tak salah lagi, karena wangi roti khas buatan ibunya menguar sampai kamarnya, seperti dulu.
Lía kembali mengerjap pelan, lalu bangun sambil meregangkan tubuhnya. Dilihatnya Bábóg Liath yang dibaringkannya di sebelah bantalnya, lalu diangkatnya boneka itu dan dipeluknya erat sambil berjalan ke arah pintu, lalu membukanya perlahan. Saat pintu kamarnya dibuka, wangi roti yang baru saja selesai dipanggang menguar makin kuat. Sebuah senandung kecil pun terdengar, sebuah lagu yang selalu disenandungkan oleh ibunya saat sedang membuat roti.
Lía berjalan keluar dari kamarnya, menuju dapur dengan wajah yang masih sangat mengantuk. Setibanya ia di dapur, ia menemukan ibunya sedang sibuk di depan oven, dan… seorang pria berambut pirang pucat seperti dirinya dengan mata biru cemerlang seperti mata kancing Bábóg Liath sedang duduk sambil menyeruput teh di meja makan. Lía hanya menatapnya bingung, karena ia tidak mengenali siapa pria itu.
Namun tampaknya pria tersebut menyadari kehadiran Lía, karena ia berhenti minum teh dan menatap ke arah gadis itu sambil tersenyum lebar, lalu berdiri dari kursinya. Pria itu berjalan ke arah Lía, lalu mengusap-usap kepalanya lembut.
“Líadan White, putriku yang manis. Apa kabarmu pagi ini?” sapa pria tersebut sambil tersenyum lembut pada Lía. Lía merasa kaget luar biasa. Pria tak dikenalnya ini memanggilnya ‘putriku’, mengimplikasikan bahwa ia adalah ayah dari Lía.
“William, jangan buat putri kita kaget begitu. Setelah lama pergi, kamu baru pulang hari ini, ‘kan? Kasihan Lía, mungkin ia sudah agak lupa dengan wajahmu,” timpal Dáirine sambil melemparkan senyum ke arah Lía sekilas, di sela-sela kesibukannya memanggang roti.
Lía menatap pria di hadapannya ini lekat-lekat. Rambutnya pirang pucat seperti Lía. Matanya biru cerah seperti Bábóg Liath. Wajahnya tampak sudah sangat tua, mungkin 30 tahun lebih tua daripada Lía. Tetapi senyumnya begitu hangat dan menentramkan hati.
“Athair…?” panggil Lía ragu. William tersenyum semakin lebar pada Lía, dan Lía merasakan kebahagiaan meluap di dadanya. Begitu menyesakkan, sampai air mata Lía mengalir begitu saja. William tampak terkejut melihat Lía yang mendadak menangis begitu.
“Waduh, Lía? Kamu kenapa? Ada yang sakit?” tanya William panik. Lía menggeleng pelan sambil terus menangis, lalu memeluk William erat.
“Lía rindu…” bisik Lía di sela-sela tangisnya. William terdiam, lalu ia mengangkat tangannya untuk memeluk putri satu-satunya itu. Dáirine pun berhenti dari pekerjaannya untuk bergabung dengan keduanya.
“Mulai sekarang, kita akan terus tinggal bersama-sama. Kami tidak akan pernah meninggalkanmu, Lía,” bisik William lembut di telinganya.
Namun begitu ia mendengar kalimat itu, entah mengapa ia teringat pada sosok dua orang yang selama ini selalu bersamanya. Sesosok pria berambut putih dengan mata biru cemerlang, Shreizag E. Halverson, dan sesosok anak lelaki berambut putih dengan mata abu-abu, Nikolai Mikhailov, melintas di pikirannya. Lía segera melepaskan pelukannya, lalu mundur perlahan. Dilihatnya Dáirine dan William tampak terkejut dan sedih melihat reaksi Lía, yang seolah menolak keduanya.
“Ada apa, Lía?” tanya Dáirine lembut. Lía menggelengkan kepalanya pelan, sambil memeluk Bábóg Liath semakin erat.
“Lía harus kembali ke Shreizag dan Nikolai. Mereka butuh Lía. Lía tidak bisa pergi meninggalkan mereka begitu saja, karena keduanya adalah keluarga Lía yang baru, setelah…” Lía terdiam, tertegun karena ia teringat pada kenyataan yang sebenarnya. Tetapi ia melanjutkan dengan tegas, “Setelah athair menghilang dan mathair meninggal.”
Suasana lalu berubah gelap. Di sebelah William dan Dáirine, muncul Shreizag dan Nikolai. Keduanya tidak mengatakan apa-apa, tapi kedua sosok itu tampak jauh lebih nyata dibandingkan William dan Dáirine, yang menunjukkan ekspresi sedih dan kecewa.
“Maafkan Lía, athair, mathair… Lía tidak akan pernah melupakan athair dan mathair,” kata Lía lagi sambil tersenyum lembut, lalu berlari ke arah Shreizag dan Nikolai.
---
Saat Lía membuka matanya, kali ini ia melihat langit-langit kamarnya di Black Order. Ia memandang situasi sekelilingnya, dan menemukan bahwa ia memang masih berada di Black Order. Lía lalu bangun sambil meregangkan tubuhnya, lalu menatap Bábóg Liath yang dibaringkannya di sebelah bantalnya. Kali ini, semuanya terasa jauh lebih nyata. Lía lalu menyentuh pipinya, hanya untuk menemukan bahwa ia pun baru saja menangis di dunia nyata.
“Tadi itu… mimpi…” bisik Lía pelan. Ia berusaha kembali mengingat wajah kedua orang tuanya, tapi ia tidak lagi bisa mengingatnya sejelas ia melihatnya di dalam mimpi.
“Hanya mimpi…” bisik Lía lagi. Tak lama, ia mendengar suara nyanyian aneh, yang tak lain pasti dinyanyikan oleh Nikolai. Lía segera menghapus air matanya dengan lengan gaun tidurnya, mengambil Bábóg Liath, lalu berjalan keluar dari kamarnya.
“Nikolai…” panggilnya datar. Tapi sebelum Lía sempat melemparinya, Nikolai sudah keburu lari sekuat tenaga sambil berteriak keras-keras.
Dan tanpa ada seorangpun yang melihat, Lía tersenyum tipis.
Inilah kenyataan. Aku punya Nikolai sebagai ‘adik’-ku, dan Shreizag sebagai ‘ayah’-ku. Aku tidak butuh mimpi.