Note : saya menyalahkan pertandingan Armenia vs Spanyol semalam dan flu berat yang saya idap dari kemaren =w=/ *dijotos*
mengubah BANYAK hal dari pertandingan aslinya... Ceritanya Roman adalah pemain bola tim Rusia *ngakak* dan Bianca adalah pastur asal Italia yang bersahabat baik dengan Roman *halah*
Roman Pavlovich Sintsov (c) Sacchii
Bianca Corda (c) Issei Akira
credits tambahan untuk Torres sebagai model Roman, dan untuk Giraile-Abisak yang meski tidak saya sebutkan namanya tapi saya pakai figurnya sebagai sosok supporter Armenia
*dihajar bu chief*
In His EyesPertandingan sudah dimulai saat seorang pemuda albino berlari menuju stadion. Meski ia sudah diberi tahu jauh-jauh hari bahwa jadwal pertandingan hari itu kemungkinan bertabrakan dengan jadwal Misa yang ia pimpin, ia tidak mungkin membatalkan jadwal Misa hari itu. Sebagai seorang pastur baru, adalah kewajibannya untuk memimpin misa, meski artinya ia harus terlambat menonton pertandingan penting sahabat terbaiknya, yang sedang bermain mewakili negaranya dalam Pertandingan Kualifikasi Piala Dunia 2010.
Jadi, dengan rambut putih panjang yang belum sempat disanggul dan berkibar-kibar di belakangnya bagaikan benang-benang perak, Bianca Corda berlari sekuat tenaga menuju pintu masuk stadion. Ia menarik nafas panjang ketika ia sampai, berusaha menormalkan kembali nafasnya yang tidak teratur. Setelah ia merasa agak lebih tenang, ia menyerahkan karcisnya ke petugas yang ada.
“Menonton pacar, Nona?” canda si petugas karcis. Bianca agak bingung, ‘nona’ yang mana? Tapi ia segera sadar bahwa penampilannya memang mirip wanita. Ia hanya bisa memberikan senyum tipis kepada si petugas karcis itu.
“Teman, kok. Aku seorang pastur, mana boleh punya pacar,” jawab Bianca cepat, sebelum mengambil kembali potongan karcisnya dan berjalan masuk ke dalam stadion, meninggalkan si penjaga karcis yang sepertinya agak terkejut mendengar kenyataan bahwa Bianca adalah lelaki.
Bianca berjalan dengan cepat melintasi barisan tempat duduk, sambil mencari-cari di mana kursi yang kosong. Setelah mencari agak lama, ia menemukan kursi barisan depan di dekat gawang lawan tampak kosong melompong. Ia segera berjalan menuju barisan kursi itu, dan duduk di salah satunya. Sorak-sorai para supporter terdengar dengan begitu keras, menyemangati mereka yang sedang bertanding di lapangan.
Roman mana, ya? Kalau tidak salah, nomor punggungnya 9…Mata merahnya menyusuri lapangan, mencari sosok sang pria Rusia. Agak sulit memang mencarinya, karena semua pemain yang ada di lapangan bergerak dengan sangat cepat, bagaikan kelebatan bayangan marun-merah di tengah-tengah lapangan hijau muda. Ia hampir putus asa mencarinya, saat akhirnya ia melihat angka keemasan yang tampak begitu kontras dengan marunnya seragam tim sepakbola Rusia…
Roman Pavlovich Sintsov, sang pemain bernomor punggung 9, sedang membawa bola ke gawang lawan.
Spontan, sama seperti supporter yang lainnya, ia berdiri dan menyoraki pria itu. “Roman!! Roman!! Roman!!” Ia berteriak-teriak bersama supporter lainnya, menyemangati sahabatnya itu agar ia bisa membobol gawang lawan dan mencetak skor bagi negaranya. Meski Bianca sadar tindakannya itu sudah jelas membeberkan bahwa ia sangat tidak nasionalis, karena bukannya ia meluangkan waktunya untuk menonton pertandingan negara asalnya, ia malah menonton pertandingan negara sahabatnya dan menyorakinya supaya menang.
Tapi, siapa yang peduli? Bianca senang mendukung sahabatnya sendiri, dari manapun ia berasal. Tuhan pun tidak mengajarkan kita untuk tidak mendukung sahabat sendiri.
Sayangnya, meski sudah disoraki sedemikian rupa, Roman gagal menjebol gawang lawan karena bolanya berhasil dicuri lawan. Tapi seluruh tim tidak menyerah; mereka masih terus berusahan mempertahankan gawangnya sambil terus berusaha untuk merebut bola dari lawan, berusaha menjebol gawang lawannya.
Kalau harus berkata jujur, sebenarnya Bianca tidak mengerti apa-apa tentang sepak bola. Lebih gamblang lagi, ia tidak mengerti olah raga sama sekali. Paling-paling yang ia paham benar adalah catur—sebuah olah raga yang memerlukan kekuatan otak, bukan otot. Tapi melihat bagaimana sahabatnya itu begitu menggebu-gebu dan mencintai sepak bola, Bianca merasa ia tidak memerlukan alasan lebih jauh untuk turut menyukai olah raga tersebut meski tidak benar-benar memahaminya juga.
Melihat bagaimana Roman bermain dengan penuh semangat, meski di tengah hujan gerimis, Bianca hanya bisa tersenyum lebar. Ia memang tidak begitu mengerti tentang kesenangan yang didapatkan lewat olah raga fisik, tapi melihat bagaimana mata cokelat Roman tampak berkilauan dengan semangat saat ia berlari melintasi lapangan berumput itu sesuai dengan strategi yang sudah disusun oleh pelatihnya, seketika Bianca dapat juga merasakan semangat dan kesenangan dari bermain bola.
Angin dingin mulai berhembus, membuat pria albino ini terpaksa merapatkan lagi jaketnya yang tipis. Sejujurnya hari itu ia sedang agak pusing, demam, pilek, dan terkena radang tenggorokan, tapi ia tetap bersikeras datang untuk mendukung sahabatnya itu. Agak mengigil, ia terus mengamati jalannya pertandingan.
Gemuruh sorak-sorai kembali terdengar saat tim Rusia kembali menyerang gawang tim lawannya, Armenia. Suasana di lapangan dan di kursi penonton tampak semakin tegang seiring dengan bergulirnya bola di lapangan rumput tersebut. Saat pemain-pemain tim Rusia semakin dekat dengan gawang, sorakan berhenti. Para supporter menahan nafas mereka, menunggu hasil dari serangan tim Rusia dan pertahanan tim Armenia. Bola terus bergulir di antara kaki para pemain tim Rusia dan tim Armenia, dan…
Gemuruh sorak-sorai bahagia dari pendukung tim Rusia terdengar. Semuanya berdiri dan bersorak, sambil melambaikan tangan dan melompat-lompat girang. Para pemain tim Rusia yang ada di lapangan pun saling berpelukan bahagia karena mereka sudah berhasil mencetak skor untuk negaranya itu. Mereka tersenyum cerah, lalu saling menyemangati satu sama lain sebelum akhirnya kembali melanjutkan pertandingan. Bianca, yang tadi juga ikut bersorak dan melompat-lompat bersama para supporter, juga kembali duduk manis dan menonton jalannya pertandingan.
Sang pastur albino itu mulai bisa merasakan serunya menonton pertandingan sepak bola. Ia bisa merasakan ketegangan saat para pemain Armenia membawa bola ke gawang tim Rusia, dan merasa luar biasa lega saat serangan tim Armenia berhasil digagalkan. Ia berusaha untuk terus terjaga, agar bisa menonton pertandingan itu sampai selesai. Tapi tampaknya matanya mengkhianatinya. Kedua pelupuk matanya sudah terasa luar biasa berat, ditambah lagi ia sedang dalam keadaan sakit. Tapi ia terus berusaha untuk tetap terjaga, semua demi sahabatnya yang sedang bermain di lapangan sana.
Tak terasa, babak pertama usai. Bianca langsung bangkit dari tempat duduknya dan berlari menuju pembatas lapangan. “Roman!!” panggilnya keras pada sahabatnya yang hendak meninggalkan lapangan tersebut. Entah memang Roman mengenali suaranya atau karena ikatan persahabatan yang begitu kuat, Roman langsung menoleh ke arah pria Italia itu begitu namanya disebut. Ia minta waktu sebentar ke pelatihnya, lalu berlari ke pinggir lapangan untuk mengobrol sejenak dengan sahabat terbaiknya itu.
“Oi, Bianca! Tumben rambutmu digerai!” sapa Roman sambil menunjuk rambut Bianca yang tergerai begitu saja sampai dadanya. Bianca tersenyum lebar pada sahabatnya itu, yang tampak masih bersemangat meski sudah bersimbah keringat dan hujan.
“Sanggulnya lepas di jalan saat aku berlari kemari. Aku agak terlambat, tadi ada Misa dulu dan harus aku yang memimpin,” jawab Bianca cepat. Roman melirik ke arah pelatihnya sekilas, yang tampak agak kesal karena pemain berharganya satu itu tampak lebih mementingkan obrolan ringan dengan sahabatnya daripada keberhasilan timnya untuk masuk ke Piala Dunia.
“Err, Bianca… Aku harus segera pergi. Tonton aku terus, ya!
For the glory of the Russian Empire!!” kata pria itu. Bianca hanya mengangguk pelan sebagai jawaban, sebelum Roman segera berlari melintasi lapangan untuk bergabung dengan rekan-rekan satu timnya.
Bianca berjalan kembali ke tempat duduknya, lalu melihat keadaan sekeliling. Tampak para supporter tim Rusia berbahagia dan tertawa-tawa, sementara supporter tim Armenia tampak kesal. Ia bahkan mendengar ada seorang wanita yang mengucapkan serentetan sumpah serapah dalam bahasa Armenia. Wanita berambut hitam panjang itu tampak luar biasa kesal, sementara pria yang kelihatannya agak lemah di sebelahnya tampak biasa-biasa saja… sebelum akhirnya si wanita ikut mendampratnya, dan sepertinya juga mengatainya ‘tidak nasionalis’.
Mengamati suasana stadion yang ramai, Bianca kembali tersenyum tipis sambil kembali merapatkan jaketnya. Sepertinya udara sore itu lebih dingin daripada yang ia perkirakan. Hidungnya sudah agak memerah karena udara dingin dan flu yang diidapnya. Tapi ia memaksa dirinya untuk terus bangun. Bagaimanapun, ia sudah berjanji pada Roman untuk menontonnya sampai akhir.
Setelah menunggu agak lama, akhirnya babak kedua dimulai. Bianca mulai tidak bisa konsentrasi pada jalannya pertandingan karena kedua pelupuk mata dan kepalanya terasa benar-benar berat. Ia sampai terpaksa bernafas dengan mulutnya karena hidungnya sudah tersumbat karena dinginnya udara hari itu. Ia kembali merapatkan jaketnya sambil terus berusaha menonton jalannya pertandingan, meski kini pandangannya sudah tidak fokus lagi.
Terdengar suara peluit ditiupkan. Sepertinya ada pergantian pemain? Bianca tidak tahu. Pandangannya sudah mulai kabur karena rasa kantuk dan pusing yang menyerangnya. Sebelum ia bahkan sadar pemain mana yang kembali ditarik ke kursi pemain cadangan, kedua matanya sudah tertutup rapat, dan tubuhnya terkulai lemas di kursi tempat ia duduk sekarang, dan oleng ke kursi di sebelahnya.
Dan sang pemain yang ditarik kembali ke kursi cadangan, Roman Pavlovich Sintsov, menengok ke arah kursi di mana sang pemuda albino duduk di saat yang cukup tepat, untuk menyadari bahwa sahabatnya itu telah pingsan tepat saat ia ditarik ke kursi pemain cadangan.
Tuhan bekerja dengan cara yang aneh, eh?
---
“Lain kali, jangan memaksakan diri kalau kamu memang sedang sakit,” kata Roman pada sahabatnya yang sedang terbaring lemas di salah satu tempat tidur di rumah sakit terdekat. Bianca hanya bisa membalasnya dengan sebuah senyum lemah, yang terbaik yang bisa diberikannya dalam keadaan seperti itu.
“Bagaimana pertandinganmu kemarin? Tim negaramu menang, kan?” tanya Bianca lemah, sambil tetap tersenyum pada sahabatnya itu. Roman tersenyum lebar, jelas ia sedang sangat senang. Tanpa perlu dikatakan juga, Bianca sudah tahu bahwa tim Rusia pasti menang.
“Armenia kalah! Rusia menang 2-1. Bukan aku yang mencetak skor, sih, tapi tetap saja! Rusia menang!!” jawab Roman dengan wajah yang berseri-seri. Bianca pun ikut tersenyum lebar melihat kebahagiaan sahabatnya itu.
“Kalau begitu, aku akan menabung untuk membeli tiket pertandingan final Piala Dunia 2010,” kata Bianca sambil tersenyum lembut. Roman tampak agak bingung dengan pernyataan sahabatnya satu itu. Tapi lalu Bianca menambahkan sambil menatap Roman dengan serius, “Kalau kamu dan timmu itu sampai gagal mencapai final, aku akan marah karena kamu sudah membuatku membuang tiket yang berharga sia-sia.”
Awalnya Roman tampak terkejut mendengar ucapan sahabatnya itu, tapi ia lalu tersenyum yakin dan menepuk bahu Bianca dengan penuh kepercayaan diri. “Kalau begitu, kamu juga harus berada dalam kondisi sempurna untuk melihat bagaimana Rusia memenangkan Piala Dunia 2010,” sahut Roman dengan tegas dan percaya diri. Dan sekali lagi, Bianca hanya bisa memberikan sebuah senyuman pada sahabatnya itu. Ia memang masih belum bisa benar-benar mengerti seluk-beluk tentang sepak bola, tapi ia merasa semangat sahabatnya itu sudah cukup baginya untuk menjadi penggemar sepak bola.
Karena di mata sahabatnya, sepak bola adalah olah raga yang begitu menggairahkan…
[THE END]