Note : balasan dari 'Reply' karya masmun *digetok rame2* se...sepertinya saya dan masmun akan balas-balasan omake... mungkin... *digetok lagi*
Tek Xiao Ling (c) Issei Akira
all characters mentioned are (c) their respective owners
Another LetterMembereskan surat-surat dan berkas-berkas adalah hal yang sangat jarang dilakukan oleh seorang Tek Xiao Ling, meski ia masih rutin melakukannya. Ia memang tipe orang yang lebih suka melatih fisiknya ketimbang otaknya, hanya saja ia sudah diancam oleh dokternya untuk tidak melakukan kegiatan fisik yang terlalu berat karena beberapa hari terakhir ia sering pingsan karena berlatih terlalu keras. Jadi, untuk mengusir kebosanan karena tidak bisa melakukan apa-apa, Xiao Ling mulai membereskan semua dokumen yang harus diurusnya, yang selama ini selalu ditundanya.
Pertama-tama, ia memilah semua surat yang ditumpuk begitu saja di atas meja kerjanya. Ia memisahkan surat resmi dengan surat pribadi dalam 2 tumpukan berbeda. Ia lalu mengambil sebuah peti kayu untuk membuang surat-surat yang dianggapnya tidak penting, lalu mulai menelusuri surat-surat pribadi yang diterimanya. Ia membuang semua surat yang berasal dari orang yang tidak dikenalnya. Begitu banyak surat yang dilemparnya begitu saja, dan hampir saja ia melempar sebuah surat dari Ravel Kohler kalau saja ia tidak segera menyadari siapa pengirimnya.
Ia membaca nama pengirim itu perlahan dalam hati, lalu meletakkan surat itu dengan hati-hati di atas mejanya, dan membuang semua surat sisanya… seolah hanya surat dari Ravel Kohler yang berarti baginya. Ia membuka surat itu dengan sangat hati-hati, lalu mulai membacanya perlahan.
Liebe Tek,
Laporanmu sudah saya terima. Jujur saja, saya merasa geli sendiri membaca laporan kelakuan Heidrich yang mungkin… di atas standar. Tidak, ini semua bukan tindakan untuk mengusili kalian yang ada di cabang Asia—semua tindakan saya memiliki alasan lebih, alasan yang mungkin banyak dicerca pihak lain meskipun sang penggagas tetap bersikeras dengan alasan tersebut. Saya harap ia tidak sampai membahayakan kelangsungan hidup orang lain, karena saya tidak pernah mengajarinya untuk berlaku demikian.Alis Xiao Ling berkerut sedikit, sementara bibirnya mengulaskan sebuah senyuman tipis. Ia memikirkan bagaimana selama ini Heidrich berulah, dan bagaimana ia bereaksi atas ulah itu. Daripada Heidrich membahayakan orang lain, lebih sering ia membahayakan nyawa bocah itu karena latihan-latihannya yang tidak kenal ampun. Matanya pun kembali menelusuri lanjutan dari surat itu.
Saya tahu, laporan-laporan yang sampai di tangan saya memang kebanyakan berhubungan dengan kenakalan Heidrich. Jujur, saya sempat heran mengapa tidak ada progress report pada laporan. Apakah ini kesalahan pihak komunikasi, atau memang isinya tak pernah sampai? Saya takkan berprasangka, karena saya optimis anak saya berada di bawah bimbingan yang baik.Xiao Ling tidak bisa menahan tawa kecil yang lolos dari bibirnya. Ia tidak tahu, apakah tawa itu ditujukan kepada Ravel, atau pada dirinya sendiri. Selama ini, belum pernah ada yang mengatakan bahwa ia bisa mendidik seseorang dengan baik… Bahkan Xiao Ling sendiri merasa dirinya bukan guru yang baik. Mungkin, kalau Heidrich tidak benar-benar dipaksa oleh Ravel, anak itu tidak akan pernah mau menjadi Disciple-nya. Dan mungkin, selamanya ia tidak akan pernah memiliki Disciple karena memang tidak akan ada yang mau.
…saya harap kamu sudah sadar bahwa Heidrich cenderung menutupi apapun yang ia rasakan dengan tersenyum riang. Entah sejak kapan, sikap tersebut berubah menjadi kejahilan. Perubahan yang perlahan, namun pasti semenjak mendiang ibunya meninggal. Sisanya, mungkin kamu termasuk salah satu dari minoritas yang mengetahui cerita panjangnya—kau pasti tahu.Kali ini, Xiao Ling terdiam. Ekspresinya menjadi kaku. Tidak usah diingatkan pun, ia masih ingat jelas cerita tentang wafatnya Nicola Tchaikova, mendiang istri dari Ravel. Ia memang tidak pernah mengenal wanita itu, tapi kalau dilihat dari bagaimana sikap Hedrich setiap kali anak itu diam-diam merajuk di kamarnya—yang diketahui oleh Xiao Ling, tapi didiamkannya—Xiao Ling tahu seberapa besar rasa sayang muridnya itu pada mendiang ibunya. Dan pastinya, saat masih hidup dulu, Nicola sangat menyayangi Heidrich.
Sebuah bayangan keluarga bahagia, yang ia tahu tidak akan ia miliki…
Tapi kini, rekan sesama General dan Disciple-nya itu juga sudah kehilangan bayangan keluarga bahagia itu. Hanya bedanya, Ravel dan Heidrich sempat mengecap rasa ‘keluarga bahagia’ itu, sementara Xiao Ling tidak. Ia memang dikelilingi oleh satu-dua orang yang menyayanginya, tapi semuanya sudah lenyap begitu saja tanpa sempat ia nikmati.
Xiao Ling menggelengkan kepalanya pelan, berusaha untuk menghapus pikirannya itu. Ia lalu kembali menelusuri rangkaian kata-kata yang ada di dalam surat itu, sampai ia tertegun pada kalimat berikutnya.
Ia butuh figur seorang ibu. Pastinya kau sadar, bukan?Pikirannya melayang, kembali ke beberapa saat yang lalu, saat ia sempat mengeluh tentang Heidrich ke salah satu rekan General-nya, Lim Jeong Hu. Pria berkepala 3 itu sempat mengatakan bahwa mungkin di mata Heidrich, Xiao Ling sudah selayaknya ‘ibu’ baginya. Saat itu, Xiao Ling merasa Jeong Hu hanyalah mengejeknya. Tidak, sampai sekarang pun, ia merasa begitu. Kalau sosok ‘ibu’ benar-benar ada, maka sosok itu adalah sosok seorang wanita yang begitu lemah lembut dan penuh perhatian, yang tidak akan tega melihat anaknya menderita ataupun kesusahan. Sementara, pada dirinya sendiri, Xiao Ling merasa ia adalah kebalikan dari semua itu.
“Sampai mati juga, aku tidak akan pernah bisa menjadi figur seorang ibu…” gumam Xiao Ling pelan. Tangan kanannya secara refleks menyentuh perutnya, tepat di atas rahimnya seharusnya berada. Nasehat yang sempat diberikan Theodora Xena pun muncul di ingatannya, membuatnya merasa semakin gagal sebagai seorang ‘ibu’ ataupun seorang ‘wanita’. Tapi sekali lagi, ia berusaha untuk tidak memikirkannya. Ia kembali membaca lanjutan surat dari Ravel itu.
Figur saya sebagai ayah yang baik itu sudah tertanam dalam pada diri Heidrich, bahkan sejak lama… atau justru sebaliknya. Pada kenyataannya, bukankah akulah yang membunuh ibunya—istriku—di kala kematian keduanya? Anak itu pintar; saya mengakuinya, karena ia bisa saja mengerjai seseorang dengan wajah jahil, lalu tersedu di ruangannya sendiri setelah itu. Sudah enam bulan kau bersamanya, pastinya kau menyadarinya..?Lagi-lagi Xiao Ling terdiam. Sedikit nyeri terasa di dadanya, meski ia tidak mengerti kenapa. Sedikit banyak, ia merasa ia mengerti perasaan General berambut pirang itu. Dulu, di awal karirnya sebagai seorang Exorcist, ia juga pernah membunuh seseorang yang sangat dekat dengannya—sahabatnya, yang juga adalah orang yang sempat dicintainya di awal masa pubertasnya. Rasa sakit yang dirasakannya hari itu sama sekali belum menghilang, bahkan sampai detik itu. Dan ia juga tahu, Sei tidak akan pernah memaafkannya.
Memikirkan hal itu, ia berpikir apakah Heidrich juga merasakan hal yang sama dengan Sei. Tapi kalau ia mengamati bagaimana sikap anak didiknya itu, Heidrich tampaknya menyalahkan dirinya sendiri atas kematian ibunya. Ya, anak itu menempatkan dirinya sendiri sebagai pembunuh ibunya; bukan ayahnya.
Aku juga… benci pada diriku sendiri…Xiao Ling kembali menatap surat yang belum dibacanya sampai habis, kembali menelusuri isinya.
Saya ingin agar Heidrich bisa menerima apa yang terjadi padanya—mulai dari fakta akan ibunya sampai dengan bagaimana ia dijadikan disciplemu—dengan sabar. Kalaupun kamu bertanya-tanya mengapa saya tidak mengirimkan kabar, respons, ataupun kiriman, itu agar ia bisa lebih fokus pada apa yang terjadi di sekitarnya—hidupnya masih panjang; selama umurnya masih belia, ada baiknya ia bisa tertawa lepas dan tersenyum tulus.
…Saya sadar, pernyataan terakhir memang mematahkan janji saya yang kedua.General wanita ini kembali terdiam membaca lanjutan surat tersebut. Ia membayangkan, bagaimana beratnya harus menahan perasaan sendiri untuk kebaikan orang yang disayanginya. Pastinya hal tersebut akan terasa sakit, baik bagi yang menyayangi maupun yang disayangi. Ia kembali teringat waktu dulu ia mengunjungi kedua ayah-anak itu saat keduanya masih berada di cabang yang sama. Ia teringat bagaimana keduanya dapat tertawa dan tersenyum bersama… yang kini pasti sulit dilakukan. Xiao Ling kembali membaca suratnya, yang tinggal sedikit lagi selesai dibaca.
Ada beberapa hal yang perlu saya urus di markas besar. Tidak, ini bukan alasan untuk menghindar dari permasalahan utama. Hanya saja, saya tidak ingin apapun yang keluar dari goresan pena ini… terpengaruh oleh keadaan saya sekarang. Hanya akan membawa rasa asam daripada manis, saya bisa meyakinkanmu akan hal itu. Kata ‘beberapa hal’ membuat Xiao Ling kembali terdiam dalam ekspresi kaku. Ia teringat tentang pertemuannya dengan Xena dan percakapan yang sempat dilakukannya dengan sang Guardian itu. Tanpa disadari, air matanya kembali bergulir. Xiao Ling sendiri terkejut mendapati dirinya kembali meneteskan air mata mengingat apa yang dikatakan Xena pada hari itu.
“Eh… lho? Aku… aku ini kenapa, sih…” gumam Xiao Ling sambil menghapus air matanya dengan tangannya. Jauh di lubuk hatinya, ia mengerti apa arti air matanya itu. Tapi sisi dirinya yang lain menolak kenyataan itu, dan menghentikan air mata itu agar tidak mengalir lagi. Ia mengusap sisa-sisa air mata yang ada di pipinya, lalu kembali membaca suratnya itu.
Izinkan saya menyampaikan rasa terima kasih karena telah mendidiknya selama ini. Tidak perlu menyampaikan maaf saya padanya; saya akan melakukannya sendiri.
Tanggung jawab ini… mungkin tak ada yang bisa mengembannya selain kau, Fraulein Xiao Ling.
Schönest Dank,
Ravel Kohler
P/S: Ich weiß. Vielen Dank für fehlt mir, auch wenn es nur ein Witz.Setelah membaca kalimat-kalimat penutup surat itu, Xiao Ling melipat kembali surat itu dan memasukkannya kembali ke dalam amplopnya. Ia lalu menarik salah satu laci meja kerjanya, yang berisi berbagai benda yang dianggapnya berharga, lalu meletakkan surat itu dengan hati-hati di dalam meja itu. Ia lalu membuka laci yang lain, mengambil sebuah amplop, kertas, pena, dan tinta.
Ia tidak dapat menahan dirinya untuk menulis surat balasan untuk General satu itu.
- Quote :
- Kohler,
Terima kasih sudah membalas suratku. Mungkin kamu akan tertawa, tapi jujur saja, aku memang sudah lama menunggu kontak darimu. Terima kasih juga sudah mempercayaiku selama ini, meski aku sendiri menyangsikan apakah aku pantas menerima kepercayaan darimu.
Tentang menjadi sosok seorang ibu bagi Heidrich… Kurasa aku tidak akan pernah bisa memenuhinya. Aku yakin, sosok ‘ibu’ di matanya adalah sosok seorang wanita yang lembut dan penuh kasih sayang, sementara aku hanyalah seorang wanita kasar yang selalu menghajarnya tanpa ampun. Secara gamblang, daripada Heidrich membahayakan nyawa orang, lebih sering aku yang membahayakan nyawanya.
Kurasa kamu sudah salah memilihku, percayalah.
Tapi seandainya kamu tidak percaya bahwa sangat berbahaya membiarkan Heidrich tetap dalam asuhanku, kamu masih boleh membiarkannya dididik olehku. Tapi seandainya kamu juga merasa aku sudah keterlaluan, aku tidak keberatan kamu mempercayakan anak itu pada General lain. Aku tidak akan keberatan, karena aku yakin masih ada banyak General lain yang lebih baik daripada aku.
Bukannya aku mau melarikan diri dari tugasku, aku hanya ingin memberikan saran, dan aku benar-benar menyangsikan kepantasanku sebagai seorang guru yang baik.
Seandainya kamu juga mau berkunjung, Kohler, aku dan Heidrich akan menyambutmu dengan senang hati. Kurasa, Heidrich akan sangat senang bisa melihatmu lagi. Bagaimanapun, kamu adalah satu-satunya keluarga yang tersisa baginya.
Maaf sudah membuang waktumu yang berharga dengan surat tak berguna ini. Semoga hari-harimu di Inggris sana menyenangkan. Aku akan mendoakan keselamatan dan kesehatanmu dari sini.
Salam,
Tek Xiao Ling
Lalu, seperti suratnya sebelumnya, ia membubuhkan sebuah pesan kecil di bawah tanda tangannya;
- Quote :
- PS : Kutarik kembali kata-kataku di surat sebelumnya. Aku memang merindukanmu. Jadi segeralah datang kalau tidak ingin aku yang datang ke sana.
Xiao Ling segera melipat suratnya yang sudah jadi itu, lalu memasukkannya ke dalam amplop. Namun kali ini, ia tidak membubuhkan segel, sebagaimana Ravel tidak membubuhkan segel pada surat balasannya. Ia tersenyum tipis menatap amplop kecil yang dipegangnya itu. Bisa dibilang, ini pertama kalinya ia mengirim surat kepada seseorang sebagai seorang Tek Xiao Ling, bukan sebagai seorang General Black Order Cabang Asia. Dan mungkin, untuk beberapa bulan ke depan, ia akan terus mengirimkan surat semacam itu.
Ia berjalan dengan langkah ringan, meninggalkan ruangannya dan pergi menuju Ruang Diplomasi dan Komunikasi. Ia berharap dalam hatinya agar surat itu segera sampai, dan surat balasan berikutnya akan segera diterimanya.
Untuk sesaat—hanya sesaat—Ia merasa hatinya terasa jauh lebih ringan daripada biasanya.
[THE END]