Katakanlah berkali-kali: Ravel Kohler tidak menyukai
desk job.
Apapun yang berhubungan dengan meja, kursi, kertas, dan alat tulis sama saja dengan sebuah bencana yang menimpa. Meskipun pada dasarnya misi-misi ofisial dikirimkan oleh Ezekiel, fakta bahwa ia harus me-
review puluhan bahkan ratusan lembar kertas yang ada di mejanya sebelum bertugas membuat kepalanya penat. Barisan kata-kata yang ada pada kertas membuatnya pusing--lebih baik ia mendapat penjelasan langsung dari atasannya mengenai misi yang harus ia lakukan. Tentunya, sesuatu semacam itu tidak mungkin terjadi; Ezekiel Wright tidak memiliki banyak waktu untuk melakukan hal setrivial itu.
Karena itu, tidaklah mengherankan jika seseorang mendengar helaan napas kembali keluar dari bibirnya, bersamaan dengan tangan kanan yang memijat dahi.
Mata kuning kecoklatan sempat bersembunyi di sarangnya, mencoba untuk mengurangi rasa lelah yang mulai menumpuk di kepalanya.
Strain; sudah berapa lama ia tidak merasakan rasa lelah yang menusuk.
Di saat seperti ini, ia teringat akan anaknya, Heidrich Kohler, yang ia titipkan pada seorang kawan di Asia sana. Anak lelakinya, darah daging dari Nicola Tchaikova, yang harus ditinggalkan ibunya di umur yang belia. Selama enam tahun, ia lah yang mengajarkannya untuk menjadi lebih sabar, lebih lepas; supaya ia bisa melupakan fakta kejam bahwa dirinya lah yang telah memanggil ibunya ke dunia ini, dalam bentuk paling terkutuk yang pernah diketahui.
Ravel tahu bahwa ia
salah.
Dalam opininya, ia tahu suatu saat nanti anaknya harus menghadapi kenyataan bahwa ia sudah memanggil ibunya. Meskipun hal tragis tersebut sudah terjadi, anaknya harus mampu menyikapi bahwa apa yang dulu ia lakukan salah—supaya ia tidak melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari; agar, kalau suatu saat ayahnya sudah tiada dari muka bumi, anaknya takkan sebegitu bodohnya untuk memanggil Earl dan menyegel rohnya dalam jasad sebuah akuma. Namun, apa yang ia lakukan? Ia malah mementingkan agar darah dagingnya untuk menempuh masa kecil yang bahagia, lepas dari segala perubahan yang mungkin terjadi sejak ia diangkat menjadi exorcist.
Di umurnya yang sudah berkepala tiga, Ravel sadar bahwa tindakannya terbilang naif.
Mata kuning kecoklatan menatap perapian yang telah lama mati. Hawa dingin yang mulai merayapi ruangan seakan datang secara perlahan. Sudah berapa lama ia terduduk di belakang meja kerjanya, sampai-sampai indra perasanya sudah gagal mendeteksi perbedaan suhu? Pria ini menghela napas panjang, lagi. Uap air yang keluar dari bibirnya segera menjadi putih karena hawa dingin.
Tenggorokannya menginginkan teh. Karena itulah, pria ini melepas pijitannya dari dahi dan segera berdiri. Kakinya melangkah, membawanya ke depan jendela, tempat sebuah satu
teaset tergeletak di atasnya.
Teaset terbuat dari perak dan tidak terlalu memiliki motif yang cukup menarik. Mungkin daya tariknya ada pada tulisan latin yang tertera di bibir cangkir. Sorot mata coklat kekuningan tersebut melunak; Nicola Tchaikova memang meninggalkan sebuah kenang-kenangan yang berkesan.
“
Dum Spiro Spero. *)” Suara datar Ravel tidak bergetar, bahkan ketika ia menggumamkan sebuah frase sakral yang melambangkan pribadi dari sang pemilik awal set peralatan the tersebut. Kata-kata tersebut telah ia ucapkan berkali-kali, semuanya sebelum ia menuangkan teh ke dalam cangkir. Hal ini seakan sudah terlalu biasa. Setelah melakukannya selama enam tahun, rasa sakit ketika kata-kata tersebut kembali meluncur dari mulutnya sudah hilang. Maka, setelah mengucapkan frase latin yang melambangkan persona dari mendiang istrinya, Ravel menuang isi teko perak ke dalam gelasnya; earl grey, dengan sedikit bau lemon.
Jenis teh kesukaan mendiang istrinya.
Pria berambut pirang ini pun duduk di kursi yang ada. Matanya menerawang ke arah jendela di mana matahari sudah siap terbit. Sudah berapa lamakah ia bernaung di antara kegelapan kantornya untuk menyelesaikan laporan beserta serangkaian penjelasan mengenai misi yang datang dari sang Chief Supervisor? Yang jelas, terlalu banyak hingga ia sampai kehilangan tata waktu. Matahari baru saja terbenam ketika ia harus menyelesaikan tugasnya, dan sekarang sudah pagi begitu saja?
Bibirnya menyentuh cangkir perak dan menghabiskan seperempat isinya. Gambaran anaknya kembali muncul dalam benak jendral ini. Heidrich Kohler selalu tertawa riang di depannya, senang bermain dengan tiga kawat innocence yang segera didesain oleh para staff riset Black Order. Di setiap tawanya, Ravel pasti akan tersenyum—bukan senyum tipis yang biasa muncul sebagai sebuah formalitas belaka, namun senyum karena bersyukur bahwa setidaknya anaknya masih bisa tertawa seperti itu. Selama enam tahun hidup awal dari bocah sebagai seorang exorcist, Ravel mengajarkannya nilai-nilai yang diajarkan mendiang ayahnya padanya. Ia menasehatinya bagaimana seorang pria harus bisa tegar dan kokoh—berdiri dengan akar-akar yang kuat, dan tidak goyah. Semua nilai-nilai tersebut ia serap, kecuali…
…kecuali, ketergantungan.
Cangkir tersebut tidak habis seperempat; alih-alih seperempat, Ravel mengosongkannya sampai tak ada yang tersisa. Tangan kirinya memijit dahi kembali. Untuk pertama kali dalam sejarah, teh yang menjadi andalannya untuk mengusir rasa penat dan lelah gagal memenuhi standar sang Jendral. Pikirannya berpacu kembali. Bila sekarang bayangan dari bocah berumur dua-belas tahun terbersit di memorinya, bayangan akan seorang Jendral wanita berambut hitam, yang kini menjadi master dari anaknya, kini memenuhi ruang memorinya.
Jendral wanita tersebut bukanlah orang yang mudah dikendalikan; sekali lihat pun, Ravel bisa mengerti ketegasan milik wanita tersebut. Keteguhannya memegang prinsip membuatnya penasaran—bukan heran, karena mendiang istrinya juga bersikap demikian. Sementara itu, wataknya yang independen membuatnya takjub—tidak banyak wanita yang bisa bersikap demikian. Di saat itu, gambaran anaknya kembali muncul. Heidrich Kohler yang belum mampu menerima fakta pahit dan menjalani hidupnya kembali, sebagai seorang exorcist, akan membutuhkan kualitas-kualitas itu suatu hari nanti. Dengan demikian, pria ini bisa pergi ke liang kubur dengan tenang.
Tek Xiao Ling sangat cocok untuk mendidik anaknya, di mana ia sudah gagal karena
memanjakannya. Apalah dinyana, anaknya masih berumur belia. Tentunya, ia harus dimanjakan dahulu, sebelum dihadapkan dengan fakta keras yang pasti akan melumatnya kalau diterima di usia yang masih belia.
Cangkir perak miliknya masih berada di tangan kanan. Perlahan, Ravel meletakkannya kembali di atas meja. Matanya menyorot ruang kerja yang sudah sangat lama tidak ia sentuh. Debu tebal di mana-mana seakan memberikannya peringatan, ‘Aku bisa menyebabkanmu tergeletak tak berdaya di bangsal rumah sakit’—minus kursi panjang yang ia beli dari Belanda. Di saat Nicola masih ada, tak ada debu yang menempel pada sudut manapun; semuanya bersih, hasil kerja keras mendiang istrinya. Sekarang, jendral ini bahkan tidak tahu bagaimana membersihkan debu tebal yang menempel di setiap sudut ruangan.
Seakan ruang kerjanya akan terus menjadi bagian dari memori.
Tangan pria ini bermain dengan peralatan perak yang ada di atas meja. Tangannya meraba peralatan tersebut—merasakan bagaimana dinginnya logam beradu dengan jarinya. Ia mengingat setiap ukiran yang ada pada peralatan the tersebut; huruf demi huruf, spasi demi spasi, istilah demi istilah—semuanya. Ketika tangan tersebut menjamah pinggir peralatan dapurnya, dahi Ravel Kohler mengerut.
Tekstur kertas amplop.
Di bawah peralatan teh tersebut, pria berkebangsaan Prancis-Jerman tersebut dapat melihat amplop yang menyembul di bawah peralatan teh. Entah siapa yang menaruhnya di sana, yang pasti jendral ini harus menegur pihak diplomasi dan komunikasi. Tidak bisa kah mereka menaruhnya di atas meja kerjanya? Oh tunggu, kalau mereka menaruhnya di atas meja kerjanya, amplop tersebut bisa dijamin masuk ke tempat sampah tanpa pertimbangan lain. Ravel memang tidak suka pekerjaan berkaitan dengan kertas, namun ia tahu surat tak memiliki tempat di meja kerjanya.
“Seharusnya sebuah terima kasih, bagi mereka yang mengingat caraku berpikir.” Ravel hanya bergumam sementara tangan kirinya mulai menyobek pinggir amplop tersebut. Mata kuning kecoklatannya tidak sempat melirik siapa yang menjadi pengirim ini, ataupun segel markas Black Order cabang Asia yang menutup mulut amplop. Surat yang ia dapatkan biasa berasal dari mendiang istrinya—tanpa segel.
Jarinya sadar akan keberadaan amplop tersebut. Dalam pikirannya, apapun yang berkaitan dengan Black Order biasa berkaitan dengan misi, perkenalan, atau kegiatan formal lainnya sehingga seorang jendral harus diberitahu melalui surat tersebut.
Ketika pinggiran amplop tersebut terbuka, tangannya segera meraih isi. Dahi segera berkerut ketika ia hanya menemukan selembar kertas. Dari teksturnya saja, Ravel bisa seratus persen yakin bahwa yang mengirimnya tinggal di cabang asia—kertas yang mereka gunakan terasa berbeda. Selembar kertas tersebut segera memasuki ruang penglihatan jendral ini; kertas surat yang terlipat rapi.
Sontak, pria berambut pirang ini membuka kertas tersebut. Otot yang ada pada dahinya mengendur; pria ini mengenyakkan dirinya pada kursi duduk kemudian membacanya sesaat. Dalam sebuah gerakan cepat, pria ini pun juga pindah ke meja kerjanya. Tangan kirinya segera mencari kertas dan sebuah pena.
Kata pertama yang muncul dalam pandangannya menghentikan usahanya untuk membalas surat tersebut dalam waktu singkat.
Kohler,
Maaf kalau selama ini aku membuatmu gusar dengan semua laporan mengenai kenakalan anakmu, Heidrich. Aku tidak bisa bilang semua itu bohong, karena ia memang nakal.Dengusan kecil tanda geli; dalam konteks paragraf yang ia baca pun, sang jendral bisa langsung tahu siapa yang mengirimnya surat ini. Bayangan exorcist wanita berkebangsaan Cina segera terbesti di wajahnya. Segala kualitas yang membuatnya mempercayakan anaknya di bawah asuhannya dalam sekejap menarik kembali memori visual tentang diri jendral cabang Asia tersebut. Tidak lupa juga, serentetan laporan akan kenakalan Heidrich di Asia sana. Pria ini tersenyum sedih—ia sudah memperkirakan keadaan akan menjadi seperti itu. Heidrich Kohler pastinya merasa kesepian di sana, belum lagi dengan guru seketat Tek Xiao Ling.
Jendral ini menghela napasnya kembali—entah kapan pula ia menahannya. Manik kuning kecoklatan segera memindahkan fokusnya pada tulisan selanjutnya.
Tapi aku tidak bisa bilang bahwa semua itu benar, karena bagaimanapun juga, ia masih kecil. Sudah sewajarnya ia bersikap nakal seperti itu. Satu hal yang tidak pernah kusertakan dalam laporan itu; Heidrich sudah berkembang menjadi Exorcist yang baik. Aku bangga melihat perkembangannya, dan kurasa kamu pun perlu mengetahuinya.Senyum merekah; ada kebanggaan yang muncul, membuatnya merasa tenang dan puas. Perubahan pada diri Heidrich? Ia optimis anaknya menjadi lebih baik. Pertanyaan besar masih muncul pada benaknya: apakah fakta kejam enam tahun lalu sudah bisa melepaskan cengkramannya dari diri anaknya? Harapannya merelakan anaknya diasuh oleh seorang rekan Jendral, terutama seorang wanita, adalah untuk membuatnya bisa menerima fakta tersebut apa adanya.
Setidaknya, mungkin anaknya akan mengubah cara pandangnya tentang kata yang seakan tabu baginya: ibu.
Sorot matanya kembali melanjutkan perjalanan.
Ah, baru-baru ini, ia sempat merasa agak terpuruk. Kurasa ia merindukanmu. Mau bagaimanapun juga, kamu adalah ayahnya. Jangan bilang kamu sudah lupa janjimu untuk menjadi ayah yang baik bagi Heidrich, apapun yang terjadi. Jangan bilang juga kamu lupa bahwa kamu sudah berjanji pada Heidrich untuk mengiriminya surat dan datang menemuinya. Jujur saja, sebenarnya semua laporan negatifku selama ini adalah untuk memancing kedatanganmu. Kuharap kamu tidak marah.Senyum yang masih terpampang pada wajahnya berubah menjadi sebuah senyum sedih. Genggaman tangannya pada surat tersebut menguat, mulai
lecek karena tekanan tangan. Anaknya—darah dagingnya—tidak dalam kondisi mental yang baik, ya? Ia teringat akan kisah seorang raja membuang anaknya agar ia bisa belajar kehidupan rakyatnya, sehingga ia bisa merasakan hidup seorang biasa. Ravel tidak mungkin setega itu, meskipun ia melakukan hal yang mirip.
…atau justru, apa yang dilakukannya lebih kejam daripada tindakan sang Raja?
“Aku sudah berjanji… dan aku masih mengingat janji itu, juga memegangnya.” Ravel Kohler hanya bergumam pelan. Tenggorokannya mulai terasa sakit, mungkin karena pengaruh asam lambung yang mulai naik ke pangkal tenggorokan. Dengus tanda miris terdengar. “Hanya saja, untuk menepati janji itu… janji lain terpaksa dipatahkan.”
Meskipun rasa sakit pada tenggorokannya masih bersisa, mata kuning kecoklatannya segera berlanjut pada paragraf selanjutnya. Sinar matahari pagi mulai merembes dari jendela besar ruangan, memberikan pandangan yang lebih jernih akan tulisan yang ada sepucuk surat tersebut.
Sesuai janjiku waktu itu, aku akan terus mendidiknya dengan baik. Sebelum ia menjadi Exorcist yang dapat dibanggakan oleh keluarga, guru, dan sahabatnya, aku tidak akan mundur. Terima kasih sudah mempercayaiku untuk mendidiknya selama ini.
Salam,
Tek Xiao LingRasa sakit pada Tenggorokannya berkurang. Senyum sedih yang tadi menggantikan raut wajah ini perlahan menipis, hingga akhirnya bibirnya tidak menunjukkan tanda-tanda akan senyum. Ia ingin tersenyum karena Xiao Ling pun tampaknya—meskipun dengan kebandelan anaknya yang luar biasa—bisa menanggung beban tersebut. Di lain pihak, ia merasa bersalah karena telah menitipkan darah dagingnya pada jendral wanita tersebut, di mana seharusnya tanggung jawab tersebut menjadi miliknya.
…sebuah tanggung jawab di mana ia tidak memiliki peran.
Ia tahu. Ravel Kohler sadar bahwa Heidrich hanya mendapat pendidikan dari sang ayah. Bocah tersebut tidak pernah lagi mengenal ibunya, dengan pandangan yang sama, sejak enam tahun yang lalu. Pria ini takut; selama enam tahun ini, ibunya hidup dalam memori bocah tersebut sebagai sebuah kesalahan yang takkan bisa diampuni. Padahal, bocah itu masih sangat muda—masih banyak yang dapat ia lihat dan rasakan, tanpa perlu memanggil kembali memori tak mengenakkan itu. Sang ayah ingin supaya itu terjadi.
Pria ini menghela napas lagi. Dirinya kembali mengenyakkan diri pada kursi kerja. Ingin rasanya meminum teh itu lagi, mengenang seorang yang spesial baginya yang telah lama meninggal. Hal yang buruk, karena dengan keadaannya sekarang, pasti butiran-butiran air akan segera mengaburkan penglihatannya.
Pria berkebangsaan Jerman ini kembali memejamkan matanya, menahan rasa sakit yang mulai menghalau pernapasan dan tenggorokan. Sudah berapa kali ia melalui pertimbangan ini, namun rasa sakit tersebut selalu muncul. Rasa bersalah? Mungkin sebagian. Dalam pikirannya sempat terbesit inisiatif untuk membalas surat tersebut.
Dan ia pun melakukannya.
Sontak, tangan kanannya menaruh kertas tersebut di atas meja, menaruhnya di sebelah kanan meja. Tangan kirinya segera mengambil kertas, sementara tangan kanan menggenggam pena. Tanpa perlu berpikir panjang pun, kata-kata mulai terbuat dalam otaknya, mengalir deras di setiap goresan tinta yang ia buat.
- Quote :
- Liebe Tek,
Laporanmu sudah saya terima. Jujur saja, saya merasa geli sendiri membaca laporan kelakuan Heidrich yang mungkin… di atas standar. Tidak, ini semua bukan tindakan untuk mengusili kalian yang ada di cabang Asia—semua tindakan saya memiliki alasan lebih, alasan yang mungkin banyak dicerca pihak lain meskipun sang penggagas tetap bersikeras dengan alasan tersebut. Saya harap ia tidak sampai membahayakan kelangsungan hidup orang lain, karena saya tidak pernah mengajarinya untuk berlaku demikian.
Saya tahu, laporan-laporan yang sampai di tangan saya memang kebanyakan berhubungan dengan kenakalan Heidrich. Jujur, saya sempat heran mengapa tidak ada progress report pada laporan. Apakah ini kesalahan pihak komunikasi, atau memang isinya tak pernah sampai? Saya takkan berprasangka, karena saya optimis anak saya berada di bawah bimbingan yang baik.
…saya harap kamu sudah sadar bahwa Heidrich cenderung menutupi apapun yang ia rasakan dengan tersenyum riang. Entah sejak kapan, sikap tersebut berubah menjadi kejahilan. Perubahan yang perlahan, namun pasti semenjak mendiang ibunya meninggal. Sisanya, mungkin kamu termasuk salah satu dari minoritas yang mengetahui cerita panjangnya—kau pasti tahu.
Ia butuh figur seorang ibu. Pastinya kau sadar, bukan?
Figur saya sebagai ayah yang baik itu sudah tertanam dalam pada diri Heidrich, bahkan sejak lama… atau justru sebaliknya. Pada kenyataannya, bukankah akulah yang membunuh ibunya—istriku—di kala kematian keduanya? Anak itu pintar; saya mengakuinya, karena ia bisa saja mengerjai seseorang dengan wajah jahil, lalu tersedu di ruangannya sendiri setelah itu. Sudah enam bulan kau bersamanya, pastinya kau menyadarinya..?
Saya ingin agar Heidrich bisa menerima apa yang terjadi padanya—mulai dari fakta akan ibunya sampai dengan bagaimana ia dijadikan disciplemu—dengan sabar. Kalaupun kamu bertanya-tanya mengapa saya tidak mengirimkan kabar, respons, ataupun kiriman, itu agar ia bisa lebih fokus pada apa yang terjadi di sekitarnya—hidupnya masih panjang; selama umurnya masih belia, ada baiknya ia bisa tertawa lepas dan tersenyum tulus.
…Saya sadar, pernyataan terakhir memang mematahkan janji saya yang kedua.
Ada beberapa hal yang perlu saya urus di markas besar. Tidak, ini bukan alasan untuk menghindar dari permasalahan utama. Hanya saja, saya tidak ingin apapun yang keluar dari goresan pena ini… terpengaruh oleh keadaan saya sekarang. Hanya akan membawa rasa asam daripada manis, saya bisa meyakinkanmu akan hal itu.
Izinkan saya menyampaikan rasa terima kasih karena telah mendidiknya selama ini. Tidak perlu menyampaikan maaf saya padanya; saya akan melakukannya sendiri.
Tanggung jawab ini… mungkin tak ada yang bisa mengembannya selain kau, Fraulein Xiao Ling.
Schönest Dank,
Ravel Kohler
Tangan kanannya menaruh pena. Matanya sibuk mencari-cari sosok amplop yang seharusnya ada di antara tumpukan kertas di atas meja kerjanya. Alih-alih amplop, pria ini malah menemukan sebuah tulisan tambahan—cukup kecil, ia sendiri heran mengapa matanya sempat melihat tulisan itu—pada pojok bawah surat. Rangkaian huruf-huruf tersebut membuat rongga matanya melebar. Seulas senyum kecil nan tipis menghiasi wajahnya sekali lagi. Tangan kanannya yang sempat menganggur kembali mengambil pena dan membubuhkan sebuah kalimat terakhir di bawah tanda tangannya.
- Quote :
- P/S: Ich weiß. Vielen Dank für fehlt mir, auch wenn es nur ein Witz. **)
Ada yang mengganggu pikirannya—pembicaraannya dengan Xena membuatnya menjadi sedikit pesimis. Bagaimana jadinya kalau waktunya memang tiba? Waktu… di mana ia akan hilang dari dunia ini, dengan cara yang paling tidak berharga; entah, ia sendiri belum bisa mengendalikan hawa membunuhnya yang makin hari membesar. Ia mengikhlaskan keberadaan istrinya yang sudah pergi, di lain pihak kekosongan tersebut memacu hawa membunuh tersebut untuk kembali timbul ke permukaan. Sejauh ini, memang target awalnya masihlah mereka yang dianggap lawan. Namun, bila keadaan tersebut tidak bertahan lama dan dirinya akhirnya mengganti target karena bisikan seseorang… Ravel Kohler tidak berani membayangkannya.
…kembali lagi, salah satu alasan yang ia punya untuk mengirim satu-satunya darah dagingnya pergi ke Cina.
“…Karena itu, mungkin ‘dirindukan’ bukan masalah.”
Pria ini melipat kertas tersebut. Tangan kirinya akhirnya menemukan sebuah amplop yang cukup
decent. Tangannya yang tidak melakukan apapun segera menulis alamat tujuan. Surat kemudian dimasukkan, sebelum Ravel menyegel amplop tersebut. Namun, ia tidak membubuhkan insignia Black Order—ia ingin agar surat ini tidak mendapat pandangan sebagai surat formal, karena itu bukan.
Pria ini bangkit dari tempat duduknya dan melangkahkan kakinya keluar dari ruangan. Tujuannya pasti—kantor bagian komunikasi dan diplomatik.
Setidaknya, surat yang satu ini takkan berakhir di perapiannya; itulah takdir dari puluhan surat yang sudah ia buat setelah membaca laporan Xiao Ling.
—FIN
Misc:
*) I breath, I hope
**) I know. Thank you for missing me, even though it's just a joke.
A/N: Omake ini dibuat setelah “Letter” yang dibuat Issei Akira
Credits to Issei Akira (Tek Xiao Ling) and myself *shot*
~ 29 September 2009