Harusnya saya menulis fict yang lain, tapi ada inspirasi yang datang mengganggu *shot*
Disclaimer: Fuchsia Scarlet milik Eri. Keberadaan dan perannya di sini sudah mendapat izin dan saran dari Eri dengan tanpa mengubah sedikitpun sifat dan segala sesuatu yang telah ada pada Fuchsia yang sudah dibuat Eri.
圖書館 ~ Librarians
Di sekolah manapun, tak akan ada ruangan yang lebih sepi dan lebih misterius daripada perpustakaan. Gudang buku ini bisa dikatakan sebagai jantungnya sebuah sekolah yang merupakan tempat untuk menimba ilmu. Jika kau seorang yang haus akan ilmu pengetahuan, sudah sepantasnya kakimu merambah kemistikan perpustakaan. Banyak hal secara tak sadar akan kaulakukan: melongo, cekikikan, mengumpat, terpesona, dan masih banyak lagi lainnya yang tak akan pernah bisa dilihat dan dirasakan oleh orang-orang yang picik.
Plek! Akhirnya melekat juga sebuah plester di pelipis kanan Lian Jie, remaja berseragam putih biru yang memejamkan sebelah matanya ketika sensasi perih mencubit lukanya. Dan jemari lembut nan dingin milik orang lain yang ada di sana itu pun menjauh darinya. Dara berkuncir dua itu menghembuskan napas panjang. Semburat merah memenuhi wajahnya yang nampaknya mencoba menyimpulkan senyum kaku.
Sudah selesai, kan? Lian Jie menyandarkan punggungnya ke dinding perpustakaan yang langsung menyejukkan tubuhnya yang panas bersimbah keringat. Ada suara sorakan keras sekali terbawa oleh angin yang berhembus lembut melalui jendela beberapa senti di atas ubun-ubunnya. Suara itu pasti datang dari keramaian di sekitar lapangan, bermeter-meter jauhnya dari gedung perpustakaan. Begitu gegap gempitanya suasana lapangan sepak bola.
Namun apa yang barusan terjadi di tempatnya berada kini, perpustakaan, juga tak kalah hebohnya. Beberapa menit yang lalu, Lian Jie masuk ke perpustakaan untuk mengembalikan novel yang baru selesai dibacanya. Baru saja dia menyelipkan novel itu ke antara deretan buku di raknya semula, dia dikejutkan dengan cicit panik seseorang di belakangnya yang sempat tersenggol olehnya. Lian Jie berputar, dan dia melihatnya: nyaris semua buku di dalam rak sedang berjatuhan dari tempatnya untuk menimpa seorang gadis cilik. Atau setidaknya begitu yang sempat terlihat. Kejadiannya begitu cepat sehingga otak Lian Jie tak sempat merekam semuanya.
Badan Lian Jie bergerak tanpa diperintah. Tangannya secara otomatis menarik bahu anak itu dan menyeretnya mendekat padanya. Memang tak akan banyak berpengaruh, tapi setidaknya bisa mencegah hal-hal parah yang tidak diinginkan.
Entah kenapa dia mau melakukan tindakan tak sayang nyawa itu. Daripada menghiraukan buku-buku keras yang satu per satu, atau beberapa bersamaan, menimpa kepala dan punggungnya, Lian Jie malah lebih peduli pada keselamatan sosok mungil seorang dara yang dilindunginya dengan seluruh tubuhnya, menutupinya seutuhnya dari hujan buku. Kalau itu bukan dirinya, dan dirinya hanya penonton, mungkin Lian Jie akan mencemoohnya “sok pahlawan”. Tapi kini justru remaja empat belas tahun itu sendiri yang berada di posisi “sok pahlawan”. Apa kira-kira yang akan dikatakan pada dirinya sendiri?
Pening, Lian Jie tersungkur begitu saja seusai hujan buku. Sama sekali tak menyangka ia akan menderita sakit luar biasa hasil timpukan buku-buku itu. Rasanya seperti baru digilas sekawanan kuda (yah, walau Lian Jie juga tahu seperti apa rasanya itu). Pinggang si mungil yang barusan diselamatkannya itu juga lemas dan turut terpuruk ke lantai bersamanya.
Tersengal, Lian Jie mengangkat wajahnya akhirnya, memandang mata cokelat lain yang irisnya memantulkan sosok dirinya sendiri.
“Kau tak apa-apa?” tanya suara lemah Lian Jie yang tak diharapkan keluar dari mulutnya itu.
BLETAK! Serangan berikutnya datang tak terduga... dari dara berseragam putih-biru di hadapannya ini. Tangan kurusnya melayangkan sebuah timpukan yang cukup membuat Lian Jie terjungkal. Ujung logam jilidan bukunya menggores kulit di pelipis Lian Jie dan sedikit cairan panas meleleh dari sela-sela torehan luka itu.
Apaan sih?! Bukannya ucapan terima kasih. Lian Jie mengumpat lebih banyak lagi di dalam batinnya.
Begitulah asal mulanya hingga kini Lian Jie duduk untuk menenangkan dirinya, tak mau terbawa emosi. Ia tahu betul siapa gadis kecil yang telah mengucap ribuan maaf kepadanya dengan wajah merona merah seperti mau menangis itu.
Fuchsia Scarlet, terkenal sebagai satu-satunya siswi yang keranjingan buku. Tujuan rekreasinya selama jam istirahat bukannya kantin, melainkan perpustakaan. Dan hari ini bukan pertama kalinya Lian Jie bertemu dengannya. Sekali dua kali, Lian Jie pernah melihatnya duduk membaca di balik timbunan buku di meja yang paling sudut. Meja yang ditempatinya selalu sama, seolah telah menjadi singgasananya. Dan bukan jarang lagi, Lian Jie merasa bola mata cokelat itu mengamatinya secara sembunyi-sembunyi. Ada lagi (Lian Jie mencuri pandang Fuchsia yang sedang menyibukkan diri mengumpulkan kembali buku-buku dan menumpuknya menjadi satu) yang Lian Jie lupakan, gadis berambut eboni itu terkenal dengan hantaman bukunya yang luar biasa, bahkan untuk ukuran reflek sekalipun. Pelipis Lian Jie tak akan pernah melupakannya.
Nah, dia tahu sebanyak itu? Lian Jie heran dengan dirinya sendiri. Apakah selama ini dia terlalu sering terganggu dengan tindakan mata-mata yang dilakukan oleh gadis kecil itu, atau---yang paling susah diakui dirinya sendiri---tak sengaja menanamkan perhatian yang menyeluruh padanya. Lian Jie bukan tipe orang yang peduli dengan siapa yang ada di sekitarnya, tapi ternyata ada juga yang tersangkut di dalam benaknya ini. Persoalannya apakah penyandang putih-biru berusia empat belas ini menyadari apa yang dirasakan hatinya, atau malah akan mengingkarinya?
Sebagian rambut hitam legam Lian Jie jatuh ke sisi lain dahinya ketika dia memiringkan kepala, cukup yakin dia sedang tak bertemu pandang dengan gadis itu. Mulutnya sedikit terbuka ketika ada luapan emosi menggelora di dalam dadanya, memaksa jantungnya untuk berdebar lebih kencang daripada biasanya. Darahnya seakan mendidih, wajahnya memanas. Meski begitu, dia tak khawatir dengan luka yang mungkin akan terbuka lagi. Padahal memang, ada setitik noda darah merembes keluar dari pori-pori plester di dahinya.
”Aku...” kata itu meluncur begitu saja tanpa persiapan. Dan dia bersyukur Fuchsia tidak berpaling ke arahnya. Tapi remaja berparas oriental itu tak tahan untuk terus memandangi punggung si dara yang sedang membeku di tempatnya. Lian Jie berpaling ke lorong yang kosong, merasakan wajahnya semakin memanas.
”... Namaku Li Lian Jie, kelas dua.”Ada yang panik~ Suara-suara mendengung di dalam kepalanya, menggodanya. Lian Jie jadi sebal sendiri karena ia tak bisa melawan. Ya, memang dia agak panik atas kebodohannya.
Buat apa coba dia berkenalan?!Haha, mungkin saja tak ada salahnya. Selama ini hanya dia yang tahu nama Fuchsia secara sepihak. Itu pun hasil penyelidikan privat yang dilakukannya dengan menggerecoki petugas penjaga perpustakaan. Dengan kata lain, ada kemungkinan Fuchsia tidak tahu namanya... kecuali dia juga sudah mencari tahu entah bagaimana. Seperti ada makhluk lain di dalam diri Lian Jie yang nyengir bergairah.
Dirasakannya ada gerakan di dekat bahunya. Tampaknya ada yang duduk di sana, dan meski tak melihat, Lian Jie tahu hanya Fuchsia yang sedari tadi ada bersamanya dan pasti dia. Memastikan pun tak ada salahnya, kan? Lian Jie mengerling sampingnya dan menemukan kebenaran atas dugaannya.
Memang
dia. Duduk di sandingnya, memandang ke lorong kosong yang lain. Di balik kacamatanya, Lian Jie melihat sedikit siluet iris cokelat berkeliaran nanar.
Ada yang panik~ Kali ini Lian Jie mungkin akan bisa mengungkapkan penggoda itu, tapi dia menahan diri. Dia belajar dari pengalaman, tak akan memicu sebuah buku lain melayang ke arahnya. Salah-salah, dia bisa mati.
Alih-alih, Lian Jie mengenyakkan diri ke dinding. Entah bagaimana rasa nyaman itu tiba dengan sempurna menguasai dirinya. Walau tak ada senyum melintasi wajahnya yang sebetulnya manis itu, sorot mata Lian Jie melembut. Cokelat gelap yang biasanya nyaris hitam legam karena dingin dan kekakuannya, kini terlihat lebih terang. Ada cahaya di sana.
Dan harus diakui juga, Lian Jie bukan orang yang mudah bicara. Sudah terbukti dari caranya berkenalan tadi, kan?
Ini bukan dunia di mana dia adalah seorang Exorcist dan selalu akan berjuang untuk membasmi Akuma. Jika dia bisa selamanya tinggal di sini, yang perlu dia cemaskan mungkin adalah teguran dari Kepala Perpustakaan yang galak, atau nada-nada menggoda dari teman-temannya kalau dia pulang bareng Fuchsia nanti.
Dengan sangat perlahan, nyaris tak menyangka dirinya sendiri yang melakukannya, jemari Lian Jie bergerak dan menangkap jemari lain yang lebih kurus darinya. Dingin, pasti karena terlalu lama berada di dalam ruangan ber-AC ini. Juga agak berkeringat, mungkin karena kegugupannya menghadapinya sedari tadi. Lian Jie tak akan menyalahkannya, Lian Jie tak akan bicara.
Genggaman tangannya sudah mewakilinya.
Sudah mengerti, kan, apa maksudnya?[FIN]