Ehm, ditulis setelah menemukan omake dudutz 3 tahun yang lalu *ngakak*ALIVEYes, I'm Alive
Nothing I say comes out right
I can't love without a fight
No-one ever knows my name
When I pray for sun, it rains
I'm so sick of wasting time
But nothings moving in my mind
Inspilation can't be found
I get up and fall but...
I'm ALIVE
...
Disclaimer:
as for quote
Alive - Kuroshitsuji 1st edas for character
Nikolai/Fyodor Mikhailov ; Shreizag E. Halverson ; Líadan ó Súilleabháin ; Deniska MikhailovRating: SU
deh kayaknya, non mature contents kokStory: by Fyodor Mikhailov
February, 1875
Kupikir hari itu adalah saat semuanya berakhir. Saat kami berlari menapaki butiran salju putih yang begitu terasa dingin dari balik telapak kaki kami yang telanjang.
...
"Lari! Larilah! Tidak usah lihat jalannya, lari saja!"
Sampai saat inipun aku masih merasa bahwa kami sedang berlari.
///
Masih teringat dibenakku, hari itu kami sekeluarga --yah kami masih satu keluarga walau bagaimanapun juga-- menyiapkan makan malam bersama. Saat itu kami masih sangat kecil, namun kami cukup piawai untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bagaimana tidak, di rumah yang cukup luas ini hanya ada 4 orang laki-laki tanpa status yang jelas pada masing-masing personilnya.
Sebut saja, seorang suami beranak dua tanpa seorang istri. Seorang pemuda yang hanya dijadikan bahan eksperimen tidak jelas hingga jatuh sakit. Dua anak laki-laki kembar, tanpa ibu mereka dan sama sekali tidak mengenyam pendidikan apapun.
Sejak awal keluarga ini sudah hancur. Bahkan ketika kami kembali para pria yang disebut sebagai 'ayah', yang saat itu ada di benak kami hanyalah sejuta pertanyaan.
Seberapa pantas orang ini disebut sebagai ayah?"Yoru~ kau salah memotongnya," ucapan itu masih terdengar dengan sebuah sunggingan senyum lebar. Kami masih saling menyapa dengan nama itu, nama untuk kami berdua saja. Aku masih melihat senyumnya, setidaknya untuk yang terakhir kalinya sebelum peristiwa itu terjadi.
...
Dentuman benda keras, hentakkan benda di tanah cukup membuat rumah ini bergoyang. Sekelompok orang berbaju hitam dengan lambang 'cross' berjajaran seakan mau menerkam kami.
Shu melihat kawanan hitam itu dari balik jendela, dan sempat berkomat-kamit meminta penjelasan mengapa orang-orang tersebut ada di sana? Apa yang mereka inginkan?
Ia melihatnya dengan tatapan kosong seakan semua telah berakhir, "Yoru... aku takut."
Setelahnya kami hanya bisa berlari, terus berlari menyusuri jalanan kota yang begitu gelap. Tidak ada siapapun di sana, selain orang yang bertubrukan, saling menyahut, berteriak, ketakutan. Kami hanya bisa saling menggenggam tangan, tidak kubiarkan sedikitpun ia lepas.
Walau kemudian kejadian yang berhasil melepaskan kami itu datang. Langkah kami terhenti begitu sesosok makhluk putih bertampang menyeramkan menghadang kami. Ia menyerang, entah apa yang ia mau, tapi dari sekian banyak orang yang ada makhluk jelek ini hanya menyerang kami.
... terpojok. Kami benar-benar terpojok. Aku kehabisan akal untuk bisa menghindarinya, yang ada... aku hanya bisa menyuruh Shu bersembunyi di balik balok kayu sambil tetap memegang sebuah tongkat aneh yang diberikan oleh ayah sebelum meminta kami untuk lari.
Benda apa itu? Sejujurnya kami tidak tahu. Tidak ada yang kami tahu. Selama ini kami hanya pion yang dimainkan untuk permainan sang ayah. Kami berlari sesuai apa katanya, dan kami berhenti sesuai apa yang telah direncanakannya.
Aku MATI sesuai keinginannya...
Kukira semua telah berakhir. Saat kami saling berlari, menerobos angin, menghantam butiran salju, dan mengalahkan makhluk putih nan buas itu. Terakhir kulihat adalah cahaya putih yang bersinar dari tongkat itu, menghanyutkan semuanya,
dan...
.
.
.
kosongKetika itu kepalaku berat, dan nafasku tidak teratur. Pemandangan sekutarku memburam dengan cepat. Tidak ada yang lagi terasa selain dingin... dingin yang menjalar ke seluruh tubuh. Ingin rasanya kembali ke rumah itu, berdua kami duduk di depan perapian sambil saling bernyanyi...
"Shu..." panggilku dengan suara yang hampir tak terdengar. "Shu...?"
.
basah?Salju mencair kah? Bukan... ini air matanya. Dari balik lensa di mataku bisa kulihat tangisnya yang begitu keras. Pedih rasanya, ini terasa lebih sakit daripada aliran darah yang terus mengucur dari balik kepalaku.
Sebuah benturan kah? Persitiwa hebat tadi membuatku terlempar dan membentur sesuatu kah? Apa yang terjadi di sini? Apakah aku akan mati?
... Pemandangan itu kemudian berubah, sedikit demi sedikit. Namun, hanya ada Shu di mataku. Ia yang terus menangis, mungkin sedih melihat saudaranya akan mati. Tapi bukankah lebih baik jika aku mati sehingga ia bisa terus hidup?
"Kau bisa bertahan?"
Suara lagi. Kini seorang pria, berambut putih... apa dia malaikat yang akan membawa nyawaku pergi? Oh... sepertinya bukan. Pria ini menggunakan pakaian dengan 'cross' yang sama dengan orang-orang hitam yang tadi kami temui.
Tersadar dengan itu kemudian kuremas tangannya sekuat mungkin. "Jangan, jangan bunuh..." ucapku perlahan padanya. Ia pasti mengincar kami, berniat membunuh kami.
'Kau sudah membunuhku, cukup satu dari kami saja yang mati. Jangan bunuh dia.... "Tolong, jaga Shu."
.
Setelah itu aku pasti MATI.
Kukira kematian adalah hal yang lebih sulit dibandingkan saat-saat tersulit kami di dunia ini. Misalnya bagaimana kami pernah hampir membakar diri karena terlalu dekat dengan perapian, atau bagaimana ayah memukuli kami karena kami tidak menuruti apa maunya.
Kukira kematian adalah, AKHIR dari segalanya.
Sampai kemudian aku kembali sadar, berada di ruangan itu. Ruangan kecil milik kami berdua saja. Dulu... di kediaman kami, ada sebuah ruang rahasia di bawah tangga. Tempat di mana kami bersembunyi jika ayah sudah mengamuk dan kembali mengacungkan sebilah kayu untuk memukuli kami. Tempat itu sempit, tapi untuk dua anak kecil seperti kami, tentu masih ada
space kosong.
Kami bersembunyi di sana hingga ayah lupa akan kemarahannya. Dan beliau tertidur di atas meja setelah menegak minuman beralkohol itu lagi.
Aku ada di sana, entah sejak kapan dan bagaimana aku di sana. Sendiri... tanpa Shu, tanpa ayah dan tanpa siapapun. Hanya ada pintu keluar di mana jika aku membukanya, maka dunia kembali kutemukan.
...
"Siapa kau?"
Pertanyaan bagus, begitu untuk yang pertama kali kubuka pintu tersebut dan menemukan diriku sedang diikat di atas kursi. Apa ini? Penculikan?
Ini bukan ikatan secara lazim. Yah, sebut saja seperti sedang terikat oleh sesuatu, yang aku sendiri tidak tahu ada benda apa yang bisa menyebabkanku tidak bisa bergerak seperti itu. Seorang pria duduk di hadapanku. Aku seperti mengenalnya, siapakah dia?
"Kau lupa?" ia bertanya lagi. Lupa bagaimana? Yang ada aku memang tidak mengenalnya. Tapi tunggu, sepertinya aku memang pernah bertemu dengannya, tapi kapan?
Ia lantas berdiri, memainkan tangannya di dekatku dan... ajaib, aku bisa kembali bergerak lagi. Oh, orang ini pasti pendulum, atau penyihir, atau sejenisnya?!
"Shreizag Erstad Halverson, bukankah tadi sudah kukatakan itu?" berbicara dengan tampang datar, tatapan mata yang berkata
terserah padamu. Wajah yang menyebalkan, tanpa ekspresi.
"Oh..." gumamku pendek membalasnya. Tidak mau tahu siapa dirinya, walau tadi sempat menanyakan itu. Lebih penting adalah, "Di mana ini? Di mana saudaraku?" bertanya langsung pada intinya. Sejak tadi hanya ada kami berdua di tempat ini.
"Di kapal," sedikit melirikku dengan mata kecilnya yang membeku. "Saudaramu..." berbicara terhenti, seakan tidak ingin membicarakannya. "Ia sudah meninggal."
Eh?! MENINGGAL katanya? Bagaimana mungkin?!
Spontan aku beranjak dari tempat itu, berdiri tidak percaya. Shu, meninggal? Bukankah tadi... bukannya tadi yang terlempar menabrak sebuah benda, terpelanting, jatuh, hilang kesadaran adalah aku sendiri? Kenapa jadi Shu yang...
Pemikiranku terhenti begitu melirik sebuah cermin di ruangan itu.
Siapa? penasaran kemudian kudekati cermin tersebut. Melihat pantulan dari balik cermin itu, dan menyadarinya. "Ini bukan aku, ini Shu," berbicara pelan.
Kemudian merasa jatuh... lepas... dan kacau. Kenapa bisa aku ada di tubuh ini? Bagaimana bisa?
.
.
Sejenak berpikir kemudian aku kembali kehilangan kontrol atas segalanya. Terlihat kejadian hitam-putih, tentang pemandangan yang bergerak, tentang suara-suara yang terdengar begitu nyaring. Seakan badan ini ada yang menggerakkan namun aku tidak bisa berbuat macam-macam selain memerhatikan apa yang ada.
Sampai kemudian aku tersadar, aku sudah mati... dan aku kembali hidup di tubuh ini. Tubuh milik Shu yang kini ditempati oleh kami berdua. Yah~ kami kembali hidup sebagai satu kesatuan.
Sekarang kami... SATU.
...
"Anda tuan Halverson?" ini pertemuan kedua kami sejak saat itu. Kesadaranku masih belum benar normal karena di sini peranku adalah sebagai penghuni kedua. Terkadang aku bisa mengambil alih tubuh ini dan terkadang hanya bisa menjadi penonton.
Pria bermata es ini hanya mengangguk tenang, masih bersama bukunya dan seekor banda aneh yang melayang-layang. Oh... apalah itu? Bola terbang?
Tapi mungkin Shu sudah memilih orang ini. Sebagai pegangannya? Di saat kami terpisah, di saat tidak ada lagi ayah yang bersama dengan kami.
Aku hanya diam sebentar, namun kemudian pria ini segera menyadarinya. "Kau bukan anak itu, Shu?" ia tahu bahwa aku bukan Shu. Mungkin yang menjadi pilihan Shu salah, tapi mau bagaimana lagi.
"Bukan," jawabku pelan. Mungkin aku harus bercerita padanya?
"Jadi?"
Sejenak menghela nafas pelan. Benar, aku harus bercerita padanya. Tentang aku, kami, semuanya. Cerita yang bermula dari kediaman keluarga Mikhailov di St. Petersburg, cerita tentang anak-anak yang kehilangan arah. Menceritakan siapa itu Nikolai Deniskayewich Mikhailov yang memiliki tubuh ini, dan siapa itu Fyodor Deniskayewich Mikhailov yang kini bersarang di tubuh yang sama.
Bercerita tentang kehidupan kecil kami. Bercerita tentang semua... semua tentang anak-anak ini.
...
Dan hari-hari itu kemudian terlewatkan. Satu... dua... hingga kini lima tahun telah berlalu. Cepat, waktu berjalan begitu cepat. Terkadang Shu membuat ulah, terkadang aku harus turun tangan demi menjaganya. Terkadang kami berebut tempat di dalam sini, dan terkadang kami tidak saling sadar bahwa kini kami menjadi satu.
Shu tidak tahu bahwa aku masih hidup di dalam dirinya. Hanya sebagai pengelabuan saja aku menulis sebuah surat untuknya yang menyatakan bahwa 'Yoru Masih Hidup'. Hanya sebuah drama singkat tentang permainan hidup. Shu kehilangan ingatan masa lalunya, aku datang untuk menggantikan ia di mana ia tidak mau mengingat hal yang telah lalu.
Dan kami mulai hidup seperti anak-anak lainnya, tumbuh besar, menjadi seseorang untuk kami sendiri.
.
.
"Jangan memukuliku lagi!" Shu terus merengek begitu sebuah boneka kelinci yang difungsikan sebagai itu mendarat di kepala kami. Aku hanya diam di sini, tidak mengambil tindakan kecuali kalau tubuh kami terluka.
... Nona berambut ikal ini hanya memandangi Shu dengan kerutan di wajahnya seraya berkata, "Bocah berisik!"
"Kau yang berisik dasar jelek!!"
Sebuah hantaman lagi... "Diam!"
"Sakit tahu!"
"Makanya kubilang diam!"
--slap!
Kena lagi mereka berdua. Yah~ tuan berambut uban itu menggunakan segelnya untuk mendiamkan kedua orang ini. Sebenarnya aku tidak menyukai caranya karena ia nampak sedang menyakiti Shu. Tapi... terkadang hal tersebut aku biarkan agar Shu diam dan nantinya aku bisa mengambil alih tubuh kami serta membalas dendam.
Tersenyum.
Walau bagaimanapun berisiknya kehidupan kami, tapi harus kuhargai satu hal. Dibandingkan dengan kehidupan kami dulu, baru kini kurasakan sesuatu yang bernama keluarga.
Seorang ayah, seorang kakak, dan kutahu bahwa Shu bahagia atas semua itu.
.
.
"Kalau kalian diam, akan kulepas segelnya," tuan berambut uban ini mengancam sepertinya. Membuat kedua muridnya mengangguk tenang dan berjanji.
Segel terlepas, kini giliranku muncul. Menghadapi si nona rambut ikal dan tuan berambut uban. "Cih, kalian ini merepotkan," bergumam seperti biasa. Melakukan penyangkalan lagi... dan yah, aku tahu kami tidak akan pernah bisa berhenti bercekcok ria.
Di tengah keramaian kota London itu, di tengah keramaian perayaan tahun baru, di tengah keceriaan orang-orang, bisa kulihat sosoknya. Mata merah yang sedari tadi mengawasiku dalam jarak yang tidak begitu jauh. Sesosok pria yang tidak asing di hadapanku.
Menyunggingkan senyum dan berkata, "Aku masih hidup, ayah."
Lalu berbalik menghampiri keluargaku yang baru. Membiarkan Shu mengambil alih kesadaran ini dan kembali memerhatikannya dari dalam.
"Hey~! Kalian tidak boleh meninggalkanku!"
"Makanya jalan yang cepat, sudah tahu lamban,"
"Kau tidak berhak menilaiku dasar rambut mie!"
"Siapa yang kau bilang rambut mie hah?!"
"Siapa lagi!... Ah~! Shreirin lihat bibi tua ini memukuliku lagi!"
... "Tenanglah,"
"Aku bukan bibi tua!"
"Kau memang sudah tua! Pendek!"
"Bukan!"
"..."
.
.
Aku bisa membuktikan bahwa kami bahagia. Untuk saat ini. Dan ucapan lanjutan bahwa, kami masih hidup di sini.
I live, My life, I'm ALIVE!
END