Note :
ga berani melabelkan [CANON] sebelum dibaca dan disetujui masmun *dilempar* udah disetujui masmun, jadi Canon yaa~
Ravel Kohler, Heidrich Kohler (c) masamune11
Tek Xiao Ling (c) Issei Akira
LetterEntah sudah berapa bulan berlalu. Entah sudah berapa minggu berlalu. Entah sudah berapa hari berlalu. Entah sudah berapa jam berlalu. Entah sudah berapa menit berlalu. Entah sudah berapa detik berlalu. Entah sudah berapa lama waktu berlalu, sejak seorang bocah bernama Heidrich Kohler dititipkan padanya oleh ayahnya sendiri.
Samar-samar, Xiao Ling masih mengingat kejadian waktu itu, seolah semuanya terus terpatri di ingatannya. Hari itu, ia pergi ke Cabang Utama untuk mengecek tingkat sinkronisasinya dengan Innocence-nya, karena selama beberapa hari terakhir tangannya sempat terasa sakit… yang ternyata setelah diperiksakan ke Theodora Xena, bukan disebabkan karena kompabilitasnya yang menurun, melainkan karena masalah kesehatan biasa. Merasa agak kesal, waktu itu Xiao Ling berencana untuk langsung pulang kembali ke Cabang Asia…
…kalau saja seorang General yang sempat dikenalnya sejak ia masih menjadi Disciple dari Zhui Long menghentikan niatnya itu. Ia masih ingat, saat ia berjalan menuju kamar sementaranya di cabang tersebut, seseorang memanggilnya dengan nama keluarganya, ‘Tek’. Xiao Ling baru saja mau mendamprat orang tersebut, tapi setelah ia melihat siapa yang memanggilnya seperti itu, ia langsung batal mendampratnya. Sosok seorang General dengan rambut pirang panjang dan mata kuning kecokelatan tampak sedang berjalan ke arahnya, sendirian. Suatu hal yang tidak biasa, karena selama ini sejauh yang diketahuinya, sang General selalu bepergian dengan seseorang, entah dengan anaknya atau Disciple-nya.
“Tuan Kohler, selamat pagi,” sapa Xiao Ling sopan sambil membungkuk sedikit. Meski ia tahu kini ia sudah sederajat dengan lawan bicaranya ini, tetap saja kebiasaan lamanya tidak bisa dibuang. Lagipula, pria itu masih jauh lebih tua daripada dirinya, ia harus tetap mempertahankan kesopanannya. Begitu ia menegakkan kembali tubuhnya, bisa dilihatnya pria itu membuat ekspresi yang jelas mengatakan ‘tidak perlu sesopan itu’.
“Selamat pagi, Tek. Kalau boleh tahu, sedang apa kamu di sini?” tanya General berambut pirang itu. Ah, ingin rasanya Xiao Ling mengingatkan pria satu itu bahwa ia benci dipanggil dengan nama keluarganya… Tapi ia rasa sesekali dipanggil seperti itu bukanlah masalah besar. Toh yang memanggilnya seperti itu adalah pria yang jauh lebih tua daripadanya, ia tidak enak kalau harus mengoreksinya.
“Tidak, saya tidak ada urusan penting di sini. Hanya berkunjung saja,” jawab Xiao Ling agak datar. Tidak mungkin ia mengatakan bahwa ia datang untuk mengecek tingkat sinkronisasinya karena tangannya sempat terasa sakit, apalagi mengatakan kenyataan bahwa percuma ia datang karena rasa sakit di tangannya ternyata hanyalah masalah kesehatan biasa, bukan masalah tingkat sinkronisasi.
Mendengar jawaban dari Xiao Ling yang terdengar agak aneh di telinganya, Ravel terdiam. Tampaknya ia tahu bahwa wanita di hadapannya ini sedikit banyak berbohong, tapi ia tidak berkomentar ataupun bertanya lebih jauh. Sepertinya, memang bukan kebiasaannya untuk mencampuri urusan orang lain, apalagi General lain dari cabang lain pula.
“Mumpung kamu berkunjung ke sini, bagaimana kalau kita minum teh sebentar?” tanya Ravel. Dari nada suaranya, Xiao Ling dapat menangkap dengan jelas bahwa ajakannya itu merupakan ajakan resmi, bukan sekedar ajakan untuk bersantai sejenak. Ia sudah mengerti, dengan posisinya yang sekarang itu, hampir semua orang datang padanya untuk urusan resmi, bukan sekedar untuk bersantai atau bercakap-cakap biasa. Xiao Ling menhela nafas pelan, lalu mengangguk.
“Boleh juga. Terima kasih atas ajakannya,” jawab Xiao Ling sopan. Tanpa basa-basi, Ravel langsung berjalan menuju ruang pribadinya, diikuti Xiao Ling di sebelahnya. Keduanya sama sekali tidak berbicara sepanjang perjalanan. Orang-orang yang melintas pun memberi jalan untuk keduanya, seolah mereka takut tergilas oleh kedua orang tersebut.
Begitu sampai di ruangan sang General, keduanya langsung duduk berhadap-hadapan. Tidak ada teh, karena bagaimanapun hal itu adalah basa-basi belaka. Xiao Ling menumpangkan satu kakinya pada kaki yang lain, dan meletakkan kedua tangannya di atas pangkuannya. Mata hitam kelamnya menatap langsung ke mata kuning kecoklatan Ravel. Tatapannya jelas menanyakan apa yang ingin dibicarakan oleh General pemegang Wirksame Wille itu. Dan sepertinya, tanpa perlu membuang-buang tenaga dan nafas untuk menjelaskan apa yang ingin ditanyakannya, Ravel sudah mengerti maksud Xiao Ling.
“Kuharap kamu masih ingat pada putraku, Heidrich Kohler,” kata Ravel sebagai pembukaan. Xiao Ling mengerutkan keningnya bingung. Jelas ia masih ingat dengan sangat jelas sosok anak itu. Empat tahun silam, saat ia pergi mendampingi Zhui Long yang saat itu masih menjabat sebagai salah satu General Cabang Asia, ia sempat bertemu dengan anak itu. Saat itu ia sempat mengira anak itu adalah Disciple dari General bermata kuning kecokelatan itu, sampai yang bersangkutan memperkenalkannya sebagai anaknya. Ia masih ingat bagaimana anak itu begitu cerewet dan usil, membuatnya hampir berteriak frustasi kalau saja tidak ada dua orang General yang sedang bersamanya.
“Ya, aku masih ingat. Ada apa dengannya?” tanya Xiao Ling. Ia yakin benar, pasti pembicaraan kali ini berkaitan dengan anak lelaki yang saat itu tidak ada bersama mereka. Sejauh yang diketahuinya, Ravel adalah tipe orang yang berdedikasi tinggi pada keluarganya. Ia juga mendengar bagaimana pria berusia 36 tahun itu sangat menyayangi dan melindungi anaknya, entah seberapa bandelnya anak itu. Bisa dibilang, dia adalah sosok ayah yang sempurna… sosok ‘ayah’ yang diinginkan semua orang di dunia.
Ravel Kohler menghela nafas panjang, lalu memperbaiki posisi duduknya yang sebenarnya tidak perlu diperbaiki. Ia tampak gelisah dan bingung, meski hal itu tidak ditunjukkannya secara terang-terangan. Ia berpikir lagi, haruskah keputusan ini dibuatnya. Ia memang selalu menginginkan yang terbaik untuk putra tunggalnya, hanya saja tidak jarang ia meragukan apakah pilihannya memang benar-benar yang terbaik untuk anak itu. Mata kuning kecokelatannya menatap dalam-dalam mata hitam Xiao Ling. Xiao Ling sendiri membalas tatapan Ravel, membuat keduanya seolah sedang bercakap-cakap dengan telepati.
“Kudengar kau sudah menjadi General yang baik,” kata Ravel, tidak menggubris pertanyaan Xiao Ling sebelumnya. Xiao Ling mengangkat sebelah alisnya, berusaha mencerna makna yang tersirat di dalam kalimat itu. Selama ini, tidak ada yang pernah mengatakan bahwa ia sudah menjadi General yang baik. Kebanyakan orang mengatakan bahwa ia sudah menjadi General yang
kuat, bukan
baik. Keduanya kembali terdiam, sambil saling menatap ke dalam mata masing-masing. Setelah beberapa saat, Xiao Ling mengerti maksud Ravel. Ia lalu menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya sambil menatap tajam ke arah General satu itu.
“Sayangnya, aku tidak punya kemampuan dan keinginan untuk mendidik seseorang yang menjadi tanggung jawab orang lain,” balas Xiao Ling ketus. Bukan maksudnya bersikap tidak sopan, tapi ia sengaja mengatakannya dengan nada seperti itu untuk menegaskan maksud kata-katanya. Tidak ada yang tersirat, semuanya tersurat dengan jelas. Ravel menghela nafas panjang, tampak putus asa. Tapi tidak, ia lalu balas menatap General wanita yang lebih muda 13 tahun daripadanya itu dengan tatapan yang tidak kalah tajamnya.
“Kalau ada hal yang harus kupenuhi, katakan saja dengan jelas,” kata Ravel tegas. Kini kedua tangannya pun terlipat di depan dadanya, seolah mengatakan bahwa Xiao Ling harus menerima tawarannya atau pembicaraan itu akan berakhir dengan pertarungan antar-General. Xiao Ling mengerutkan alisnya, berpikir keras mengapa General yang duduk di hadapannya ini begitu bersikeras membuat Xiao Ling menyetujui tawarannya. Ia menghela nafas panjang, lalu mengedipkan matanya pelan. Begitu ia membuka matanya lagi, ia langsung menatap tajam Ravel, namun kali ini bukan dengan tatapan melawan, tapi tatapan bingung.
“Bukankah sudah sepantasnya seorang anak lelaki dididik oleh ayahnya sendiri, bukan oleh orang asing?” tanya Xiao Ling tegas. Perubahan ekspresi pada wajah Ravel membuat Xiao Ling yakin ucapannya tadi langsung tepat sasaran. Pria itu kini tampak gelisah. Alisnya berkerut, dan kedua ujung bibirnya turun. Suka tidak suka, ucapan Xiao Ling tadi itu ada benarnya. Seumur-umur, Xiao Ling bertemu dengan Heidrich baru satu kali, itu pun sudah cukup lama sehingga tidak bisa dianggap perkenalan yang valid lagi.
“Seandainya… Seandainya Chief Supervisor yang memerintahkan Anda untuk mengambil Heidrich sebagai Disciple Anda, apa yang akan Anda lakukan, General Tek?” tanya Ravel dengan tatapan serius dan dingin. Tidak biasanya ia mengancam seseorang dengan embel-embel kekuasaan. Xiao Ling sendiri merasa agak merinding ditatap seperti itu, tapi ia sudah memutuskan untuk tidak mematahkan prinsipnya begitu saja, bahkan di hadapan kekuasaan yang lebih tingi.
“Kalau hanya karena masalah sepele seperti ini aku diberhentikan sebagai General, aku tidak keberatan. Lebih baik aku menjadi Exorcist biasa yang bisa menjalankan prinsipku, daripada menjadi General boneka,” desis Xiao Ling. Pandangan Ravel tampak mengeras, membuat Xiao Ling mulai berkeringat dingin. Ia tahu bukan waktunya adu pendapat dengan General yang jauh lebih tua dan lebih berpengalaman daripada dirinya, tapi ia juga penasaran, ada apa gerangan di balik semua sikap General satu ini.
“Sepertinya memang sulit memaksa Anda, Tek,” kata Ravel lagi. Xiao Ling menurunkan tangannya, kembali mengistirahatkannya di atas pangkuannya. Ia menghela nafas panjang, dan tatapannya melembut. Tidak, bukan berarti ia mengaku kalah. Ia hanya ingin memutus ketegangan yang terjadi di antara dirinya dan Ravel. Pandangannya beralih dari mata General itu ke lantai.
“Saya memang tidak bisa dipaksa, tapi saya bisa diyakinkan,” kata Xiao Ling, pelan namun tegas. Ia mengangkat kembali pandangannya, menatap lagi kedua bola mata Ravel yang berwarna kuning kecokelatan. Pria itu tampak terkejut dan bingung mendengar kalimat Xiao Ling, yang sepertinya memang agak rancu. Xiao Ling menatap Ravel dengan serius, meminta jawaban yang jujur dan tegas dari pria itu.
“Yakinkan saya, bahwa Anda tetap akan menjadi ayah yang baik bagi Heidrich, apapun yang terjadi,” kata Xiao Ling tegas. Ravel terkejut mendengar ‘persyaratan’ yang diajukan oleh Xiao Ling. Sesuatu yang ringan, namun juga berat. Pria itu pun menurunkan tangannya, mengistirahatkannya di lengan kursinya. Ia menutup matanya sejenak, alisnya berkerut. Begitu ia membuka matanya, ia menatap langsug ke dalam mata Xiao Ling, dengan tatapan seorang ayah yang begitu mencemaskan anaknya.
“Mau bagaimanapun juga, Heidrich adalah anakku, kau tahu?” katanya sambil tersenyum tipis, sangat tipis sampai seolah tidak ada perubahan ekspresi pada wajahnya. Xiao Ling mengangguk pelan, menerima pernyataan Ravel dalam diam. Ia lalu berdiri dari tempat duduknya, sambil tetap menatap ke arah pria yang lebih tua darinya itu.
“Aku akan bicara pada Tuan Wright,” kata Xiao Ling pelan, menyiratkan bahwa ia menyetujui tawaran Ravel. Pria itu tampak cukup lega, meskipun ia tetap menatap Xiao Ling dengan tajam. Xiao Ling pun membalas tatapan itu dengan sebuah senyum sinister yang sering dilemparkannya pada lawan bicaranya, entah siapapun itu.
“Tapi aku tidak bertanggung jawab atas apa yang akan terjadi nanti kalau ia menjadi Disciple-ku. Bagaimanapun juga, Anda sudah saya peringatkan, Tuan Kohler. Saya permisi dulu.” Dengan kalimat itu, Xiao Ling berjalan keluar, meninggalkan Ravel sendirian di ruangannya.
Apa yang terjadi selanjutnya sama persis sesuai prosedur pengangkatan Disciple. Persetujuan dari Ezekiel Wright, persetujuan dari Heidrich Kohler yang diwakilkan oleh Ravel Kohler, pengurusan dokumen pemindahan anggota… Semuanya berjalan dengan rapi dan teratur, sesuai prosedur. Namun hari di mana Heidrich harus dibawa ‘pulang’ ke Cina oleh Xiao Ling, terjadi keributan kecil. Seperti yang diduga sebelumnya, Heidrich protes dan mengambek karena ia tidak mau dididik oleh orang lain selain ayahnya sendiri. Ia merengek dan berteriak tidak ingin dipisahkan dari ayahnya. Tapi setelah Ravel berusaha meyakinkan anak itu dengan sabar, bahwa ia akan mengirim surat dan berkunjung secara teratur ke Cabang Asia, akhirnya anak itu menurut.
Tepat sebelum Xiao Ling naik ke atas kapal yang akan membawanya kembali ke Cabang Asia, General wanita itu memberikan sebuah pelukan kepada Ravel. Tanpa memikirkan bagaimana orang-orang akan menginterpretasikan tindakannya itu, Xiao Ling berbisik pelan pada Ravel, “Aku berjanji akan merawat putramu dengan baik.” Ia lalu melepaskan pria itu, lalu berjalan naik ke atas kapal tanpa menengok lagi ke belakang sedikitpun.
Sebagai seorang General baru yang masih belum berpengalaman dalam melatih siapapun, Xiao Ling merasa cukup kerepotan mendapatkan seorang Disciple. Dengan berbekalkan ingatan akan semua latihannya dengan mendiang Zhui Long, Xiao Ling menerapkan sistem latihan spartan yang sama seperti yang diterapkan padanya dulu. Dan sama seperti Zhui Long yang tidak pernah memberikan setitikpun toleransi padanya, ia pun tidak memberikan setitikpun toleransi pada Heidrich… meski sering kali ia mengurangi porsi latihan dan kekuatannya kekuatan serangannya setiap kali mereka latih-tanding. Ia pun sering menggendong sendiri anak didiknya itu ke klinik setiap kali ia jatuh pingsan atau terluka parah.
Perlahan tapi pasti, Heidrich berkembang menjadi Exorcist yang jauh lebih kuat daripada sebelumnya. Semua latihannya selama ini berhasil memaksa anak lelaki itu memaksimalkan semua kemampuannya sebagai seorang Exorcist. Tapi tetap saja, ada satu hal yang tidak bisa diubah Xiao Ling : kebandelannya. Lebih parah lagi, tingkat kenakalan dan keusilannya malah meningkat sejak ia pindah ke Cabang Asia. Xiao Ling sempat mengira bahwa ia salah didik, tapi akhirnya ia mendapatkan jawaban yang lebih masuk akal.
Meski Ravel mengatakan bahwa ia akan sering mengirim surat dan berkunjung, tak pernah sekalipun Xiao Ling menerima surat, telegram, ataupun berita kunjungan Ravel ke cabang tersebut. Kalau dikatakan secara gamblang, ucapan Ravel saat itu hanyalah bohong belaka. Sedikit banyak Xiao Ling mengerti mengapa anak didiknya itu menjadi begitu nakal. Ia hanya menginginkan perhatian, yang tidak didapatkannya secara jelas dari Xiao Ling ataupun dari ayah kandungnya.
Jadi, setelah enam bulan penuh Xiao Ling tidak mendapatkan kabar apapun dari Ravel (meski ia sudah sering mengirim laporan tentang kenakalan Heidrich untuk memancing kedatangan General itu), ia memutuskan untuk menulis sepucuk surat kepada General tersebut. Bukan surat laporan yang menyatakan kebandelan Heidrich, bukan juga surat yang mengundang General itu secara resmi ke Cabang Asia. Surat yang ingin dibuatnya itu lebih kepada surat dari seseorang untuk sahabatnya. General wanita itu duduk di balik meja kerjanya, yang nyaris tidak pernah disentuhnya karena ia lebih sering melatih fisiknya daripada otaknya. Ia mengeluarkan beberapa lembar kertas dan sebuah pena dan sebotol tinta, lalu berpikir sejenak tentang apa yang ingin ditulisnya.
Setelah berpikir agak lama, ia mulai menulis. Semua perasaan dan pikirannya mengalir begitu saja, tertuang dalam kata-kata yang ditulisnya dalam bentuk surat itu. Ia terus menulis, sampai dirasanya cukup. Ia memandang surat buatannya, lalu membacanya dalam diam.
- Quote :
- Kohler,
Maaf kalau selama ini aku membuatmu gusar dengan semua laporan mengenai kenakalan anakmu, Heidrich. Aku tidak bisa bilang semua itu bohong, karena ia memang nakal. Tapi aku tidak bisa bilang bahwa semua itu benar, karena bagaimanapun juga, ia masih kecil. Sudah sewajarnya ia bersikap nakal seperti itu. Satu hal yang tidak pernah kusertakan dalam laporan itu; Heidrich sudah berkembang menjadi Exorcist yang baik. Aku bangga melihat perkembangannya, dan kurasa kamu pun perlu mengetahuinya.
Ah, baru-baru ini, ia sempat merasa agak terpuruk. Kurasa ia merindukanmu. Mau bagaimanapun juga, kamu adalah ayahnya. Jangan bilang kamu sudah lupa janjimu untuk menjadi ayah yang baik bagi Heidrich, apapun yang terjadi. Jangan bilang juga kamu lupa bahwa kamu sudah berjanji pada Heidrich untuk mengiriminya surat dan datang menemuinya. Jujur saja, sebenarnya semua laporan negatifku selama ini adalah untuk memancing kedatanganmu. Kuharap kamu tidak marah.
Sesuai janjiku waktu itu, aku akan terus mendidiknya dengan baik. Sebelum ia menjadi Exorcist yang dapat dibanggakan oleh keluarga, guru, dan sahabatnya, aku tidak akan mundur. Terima kasih sudah mempercayaiku untuk mendidiknya selama ini.
Salam,
Tek Xiao Ling
Xiao Ling membacanya lagi beberapa kali. Ia merasa cukup puas dengan suratnya itu, dan rasanya tidak ada lagi yang perlu ditambahkan. Ia pun mengambil sebuah amplop, lilin, dan cap; bersiap untuk menyegel surat itu dan mengirimkannya ke Cabang Eropa. Tapi sebelum ia melipat dan memasukkan suratnya, terpintas di pikirannya untuk menambahkan satu pesan kecil. Maka di bawah tanda tangannya, ia menuliskan sebuah pesan;
- Quote :
- PS : Kurasa aku juga merindukanmu. Hahaha, bercanda.
Sebuah senyum terulas di wajah General wanita itu, lengkap dengan rona merah di pipinya. Tapi ia segera menepuk-nepuk wajahnya sendiri, membawanya kembali ke kesadarannya. Ia lalu cepat-cepat memasukkan suratnya dan menyegel amplopnya sebelum akhirnya ia membawanya ke Ruang Departemen Diplomasi dan Komunikasi dan meminta agar suratnya dikirim.
Kini, ia berharap semoga suratnya bisa segera sampai ke tangan orang yang berkepentingan. Sementara itu, tentu saja, ia akan kembali melatih anak didiknya, yang dipercayakan padanya.