Ini kisah awal pertemuannya Li Lian Jie dengan masternya.
Yah, sebenarnya saya sudah minta izin dari PM Jeong Hu, tapi beliau belum konfirm, jadi saya sengaja tidak menyebutkan namanya di sini. *dikeplak*
Pats on the Head“So Long” and “Hello”
Latihan keras memang adalah menu wajib bagi para Exorcist. Menjalaninya atau tidak adalah keputusan masing-masing. Merasa kurang? Tentu kau boleh menambah porsimu sendiri dan menjadi saksi atas komitmen dirimu sendiri. Tempaan yang matang dibutuhkan sebuah pedang agar menjadi pedang yang kokoh dan tangguh, sama halnya dengan Exorcist di Black Order cabang manapun. Masing-masing dari mereka dibuat untuk menjadi angkatan perang Tuhan yang dianugerahi sebuah senjata yang bernama Innocence.
Untuk menjadi kuat... bagaimanapun caranya, harus menjadi kuat!
Li Lian Jie telah tiga jam mengurung diri di Arena Latihan dengan beberapa boneka kayu sebagai temannya. Apa dia sedang bermain boneka? Tentu saja tidak. Boneka kayu itu adalah boneka yang dibuat secara spesial untuk para Exorcist berlatih menguatkan tangan dan kaki mereka. Tujuh buah boneka teronggok rusak di pojok ruangan. Ada yang tangannya patah, ada yang kepalanya lepas, ada pula yang dadanya melesak ke dalam, dan masih banyak lagi jenis kerusakan yang dihasilkan oleh tangan kecil milik
Zhong Guo-Ren itu. Sama sekali tak terlintas di kepalanya kalau yang ia lakukan ini sebenarnya menghabiskan kas Black Order.
Siapa yang peduli?
Tak sampai lima menit berikutnya, remaja lelaki ini mengempaskan tubuh kurus yang dadanya dibalut perban kecokelatan itu ke lantai Arena Latihan yang dingin. Dadanya naik turun cepat seiring gerakan paru-parunya mencari udara. Seluruh tubuhnya bersimbah keringat... dan darah mungkin? Lian Jie mengangkat tangan kanannya yang buku-buku jarinya mendadak terasa nyeri. Tadi sewaktu berlatih
sih belum terasa.
Wah, ada agak banyak serpihan kayu yang menyelip masuk ke kulitnya walau tidak berdarah.
Pantas saja sakit!
Alih-alih panik dan berlari ke infirmary, Lian Jie menjatuhkan kembali tangannya ke lantai. Sensasi dinginnya terlalu memikatnya sehingga dia terlalu malas untuk segera bangun. Lagipula, badannya masih dikuasai kelelahan sehabis berlatih dengan porsi menggila. Hingga alam bawah sadarnya pun turut mengambil peran, Lian Jie memejamkan matanya dan mulai bermimpi. Mimpinya ini sangat aneh bagi remaja yang telah lama tak merasakan kehangatan orang tua. Dan ia tak akan pernah mau membuka mulut selamanya untuk menceritakan perihal mimpinya itu.
Tak akan pernah!Angan-angan Lian Jie terbang ke masa lalunya ketika dia belum menyandang salib perak di atas jantungnya ini. Berapa tahun yang lalu, Lian Jie sudah tak mampu untuk mengingatnya. Dalam sudut pandangnya, ada sesosok pria bersetelan jas putih butut yang tampaknya besar sekali. Wajahnya tak terlihat dengan jelas. Bukannya terlalu disilaukan oleh cahaya mentari pagi yang menerobos jendela kaca berbingkai beberapa meter di belakangnya, mungkin karena waktu sudah berlalu terlalu lama sehingga Lian Jie sudah tak lagi bisa mengingat wajah ayahnya lagi. Dia hanya bisa melihat senyum pria yang sudah termakan usia itu, kemudian sebuah tepukan hangat dan bersahabat sampai di kepalanya.
“
Anak Ayah ternyata sepandai ini, ya?” sebuah suara berat milik pria itu didengungkan dari masa lalunya, membuat anak laki-laki yang kedua tangannya sedang mencengkeram sedikit kain celana ayahnya itu terpaku. Kemudian dalam hitungan detik, Li Lian Jie kecil tertawa gembira. Dia mendapatkan pujian dari sang ayah.
Kemudian adegan berganti…
Lian Jie kecil terbangun, sesak. Ada yang menindihnya dan dia harus mengerahkan segenap tenaganya agar bisa melepaskan diri dari seonggok jenazah yang ternyata adalah ibunya sendiri. Noda darah dan koyakan luka pada tubuh wanita itu sedikit banyak telah menghapus kecantikan sang ibu. Namun kerusakan yang juga terjadi pada lingkungan sekitarnya tampak pantas menyandingnya. Terduduk membatu, Lian Jie kecil tak bisa mengeluarkan suara, kecuali rintihan kecil dan pelan yang lebih terdengar seperti isakan.
Kemudian didengarnya suara berkeresak di belakangnya dan Lian Jie sontak menoleh, kaget. Sang ayah rupanya adalah satu-satunya yang hidup di reruntuhan rumah sakit itu. Namun demikian, sosok beliau pun sudah tak lagi utuh. Tangannya yang dilumeri cairah kemerahan itu terangkat dan mencapai puncak kepala Lian Jie kecil yang tak lagi bisa merasakan ekspresi di wajahnya sendiri.
“
Maafkan Ayah, ya,” kata lelaki itu, sebelum sang Malaikat Maut mengayunkan
scythe miliknya dan membawa roh ayahnya itu pergi.
Seperti ada tangan tak terlihat yang menarik kesadaran Lian Jie dari pelukan masa lalu. Begitu kuatnya, hingga Lian Jie remaja pun membuka matanya dengan satu sentakan ketekerjutan. Nafasnya memburu dan dia berkeringat lebih banyak dari sebelumnya. Menyadari kenyataan bahwa dia tertidur dan bermimpi buruk, Lian Jie menarik pelajaran bahwa tertidur setelah latihan itu bukan hal yang bagus. Lagipula… iris cokelat gelap milik sang Exorcist menangkap mantel perjalanan berwarna cokelat yang seingatnya, tadi tidak ada di sana. Mantel itu tertangkup di atas badannya seperti sebuah selimut.
Milik siapa ini?
“
Ah, kau terbangun, ya?” sebuah suara renyah terdengar olehnya, tak sampai sedetik ketika Lian Jie menyelesaikan kalimat tanya dalam kepalanya itu. Nada ramah dan bersahabat ini milik seorang pria yang sedang duduk manis di belakang kepala Lian Jie, sehingga Lian Jie hanya bisa melihatnya secara terbalik.
Sepintas, dia mengira ayahnya terbang keluar dari mimpi untuk menemuinya, tapi indera pendengarannya tak mungkin salah membedakan suara pria asing yang baru ditemuinya ini dengan suara ayahnya yang sekarang terkubur entah di mana. Sosok seorang pria berseragam Exorcist dengan seluruh warna peraknya diganti dengan emas itu nyengir lebar memandang wajah kosong Lian Jie yang balas memandangnya. Pria ini pastilah pemilik dari mantel yang kini menjadi selimut bagi Lian Jie. Dan dia juga pastilah orang yang disebut sebagai gurunya yang baru saja kembali dari Benua Eropa itu.
“
Jadi kau yang bernama Li Lian Jie,” tangan pria itu terulur dan menepuk pelan ubun-ubun Lian Jie, “
Maaf, ya, baru bisa menemuimu sekarang.”
[FIN]