Time | Selamat datang di Black Order Headquarters! Waktu dunia Black Order HQ saat ini adalah: Februari 1880 |
|
| [IN-PROGRESS] Imbroglio | |
|
+2Gabrielle van Rijn Chief Supervisor 6 posters | Author | Message |
---|
Chief Supervisor Admin
Posts : 418
| Subject: [IN-PROGRESS] Imbroglio 3rd August 2009, 18:17 | |
| Bab pertama dari cerita bersambung mengenai riwayat hidup Giraile. Masih berupa basa-basi, hal yang lebih menarik akan terjadi di bab berikutnya... semoga. Glosarium:Ayran: minuman yang terbuat dari yoghurt Effendi: semacam gelar yang bisa digunakan untuk seseorang yang terpelajar atau merupakan ahli sesuatu Fez: semacam peci Jelick: semacam rompi yang dikenakan wanita Turki masa itu Salvar: celana yang longgar, dikenakan orang Turki pada masa itu (Dalam bahasa Turki, gelar dicantumkan di belakang nama) Imbroglio, Chapter 1This complicated turn of events... Kriiiiiiiit, pintu lusuh itu berderak. Lelaki yang telah dipersilakan masuk ketika mengetuk pada kayu tua itu memasuki ruangan. Ia mendorong pintu itu kembali ke posisi semula, menghasilkan derakan yang sama. Berhadapan langsung dengan wanita yang hendak ditemuinya, ia refleks membungkuk. “Selamat sore, Nyonya.” Wanita Armenia itu menganggukkan kepalanya, mengakui keberadaan lelaki berumur dua puluhan tahun itu. Keranjang anyaman yang ditentengnya saat itu diletakkannya di lantai. Ia memberikan senyum kecil, yang membuat kerutan di sekitar matanya tampak lebih jelas. Walaupun begitu, kantung matanya yang gelap tetap lebih prominen. Mata ambernya bersinar melihat pelanggan, yang semakin jarang didapatkannya, walau ia memasang ekspresi berpura-pura kesal. “Kau tahu, Effendi, bahwa saya tidak suka dipanggil itu. Membuatku merasa tua ketimbang sesungguhnya. Duduklah,” ia menarik kursi dari meja bundar yang biasa digunakan keluarganya sebagai meja makan, dan menawarkannya pada tamunya. Ia mencoba melupakan suaminya yang telah tiada, ingatan yang diungkit kembali oleh panggilan itu. “Duduk, duduk. Saya ambilkan minuman.” Lelaki itu tak kuasa menolak, walau ia merasa tak sopan baginya untuk duduk sebelum seorang wanita. Ia sudah tahu bahwa Eskarne, yang telah meletakkan dua cangkir ayran di atas meja, merasa tidak sopan bagi dirinya untuk duduk sebelum seorang pelanggan. Ia melepaskan fez merah dari kepalanya, meletakkannya di pangkuannya. Eskarne, yang merapikan pita yang mengikat rambut hitamnya, turut duduk ketika merasa puas. Brak. “Suara apa itu di kamar?” Brakkkk, terdengar dentuman lebih keras, dan sahutan yang samar. Eskarne berpura-pura tidak mendengarkan. Dalam hati, ia menahan keinginan mengutuk anaknya yang melupakan kondisi rumah reotnya, yang dari penampilannya akan diduga orang dapat rubuh hanya dengan tiupan angin yang kecil. “Tidak penting, hanya pertengkaran antaranak lelaki saya, Effendi.” “Saya tidak suka dipanggil Effendi, nyonya. Membuat saya merasa saya lebih terhormat ketimbang sebenarnya.” Wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia hanya bercanda untuk merendah, namun Eskarne tidak merespon komentar yang membalikkan kata-katanya ini. Ia tahu untuk apa lelaki ini datang ke gubuk kecilnya, dan memilih untuk langsung menyentuh topik itu ketimbang berbasa-basi. “Hakizi Effendi datang tepat waktu. Saya baru menyelesaikan pesanan Anda.” Penjahit wanita ini selalu tepat waktu dalam menyelesaikan pesanannya. Ia mengeluarkan kemeja bermateri keras dari keranjang yang sebelumnya ditempatkannya di lantai, dan menghamparkannya di hadapan lelaki Mesir di depannya. Tidak begitu berbeda dengan yang dikenakan sang pemesan pada saat itu; yang terutama identik adalah motif zigzag putih yang terjahit pada bagian kerah. Lelaki itu meneguk minumannya, sebelum merogoh sakunya jasnya. Ia mengeluarkan beberapa koin yang diletakkannya di tangan Eskarne yang telah siap menerima. Wanita itu menghitung jumlah uang yang diberikan Hakizi; seperti biasa, jumlah yang ditentukan dan sedikit lebih sebagai tip, sebelum mengepalkan tangannya dan memasukan pendapatannya ke dalam kantong jelick beludrunya. “Terima kasih. Anda sangat murah hati.” “Hanya sepantasnya untuk suatu pekerjaan yang sempurna, Nyonya.” Eskarne berdiri untuk membuka gorden jendela di sebelah Hakizi, membiarkan cahaya matahari masuk. Rumah tanpa perapian itu tidak memiliki penghangat lain di akhir musim gugur itu. Ia kembali ke tempat duduknya, mengaduk ayrannya. “Kau tak pernah berhenti memanggilku itu, Effendi,” komentar Eskarne dengan dingin terhadap pelanggan tersetianya. “Saya tidak bisa melupakan pendidikan yang saya dapat tentang sopan santun, Nyonya.” Itulah jawaban yang diberikannya tiap kali Eskarne menunjukkan perlawanan terhadap perlakuannya. Wanita itu pun tidak pernah memberikan balasan terhadap argumennya, dan mereka sudah terbiasa dengan rutinitas ini. Hakizi mengangkat cangkirnya ke mulutnya lagi, sebelum memulai pembicaraan untuk memecahkan keheningan. “ Ayran ini rasanya berbeda, lebih enak dari yang biasa saya minum.” “ Ayran? Apakah itu namanya di sini? Kami memanggilnya tahn di Armenia; biasanya saya memasukkan potongan daun mint dan lada hitam di dalamnya. Bagaimana menurut Anda?” Hakizi sedikit membelalak, mendengar bagian terakhir resep istimewa Eskarne. Ia menyeruput minumnya lagi, dan mengangguk. “Ah, benar, lada hitam. Benar-benar memberikan rasa yang berbeda.” Terdengar dentuman lebih keras dari ruang yang tertutup, kamar kedua anak lelaki Eskarne. Sahutan pun semakin keras. Tampaknya pertarungan sengit antara dua anak lelaki Eskarne masih berjalan. Kedua anak ini berteriak pada satu sama lain menggunakan bahasa ibunya, dan ibunya membiarkan, hingga satu frase terlontarkan: “Բոզեե տեգա!” Entah apa yang diucapkan anak lebih tuanya, namun apapun itu tampaknya cukup untuk membuat Eskarne berhenti dari melayani tamunya. Ia beranjak dari kursi, dan berjalan dengan hentakan cukup keras pada lantai. “Vartavar! Khatchig!” sahut sang ibu. Kedua anak ini, baru menyadari bahwa pertengkarannya didengar oleh ibunya sendiri, otomatis terdiam. Sang ibu mengomeli mereka dengan bahasa yang asing bagi Hakizi, sehingga lelaki itu tidak memperhatikan ini lebih lanjut. Wanita itu kembali menangani tamunya. “Maafkan keluarga saya. Saya tidak tahu kata-kata macam apa yang diajarkan Arevig oleh mereka. Sungguh, anak itu…” “Arevig?” Sepertinya ia pernah mendengar nama itu – melihat orangnya, tidak. Cangkir yang di genggamannya diletakkannya kembali ke meja. Hakizi sedikit menengadahkan kepalanya ke atas, memicu ingatannya. “Anak pertama Anda, jika saya tidak salah?” “Tepat, Effendi,” balas Eskarne. Ia menunjuk pada pemandangan jendelanya; sekumpulan anak yang berlari-lari. Hakizi mengamati semuanya lelaki berkisar umur lima belas, entah sedang menjalani permainan apa. Yang jelas, mereka terlihat sangat menikmati aktivitasnya. “Lihat gerombolan anak yang bermain di luar sana. Walau ia sudah mulai tumbuh sebagai gadis, ia tetap saja bermain dengan lawan jenisnya tanpa kekhawatiran sedikitpun.Ya, saya juga tidak bisa melarangnya, Effendi… Ia selalu mengerjakan apa yang saya suruh walau begitu juga.” Wanita berambut hitam berseling uban sejak umur dini itu menghela napas, belum menemukan solusi yang tepat dari dilemanya. Ternyata tidak semuanya lelaki. Pria Mesir itu mendekatkan matanya pada jendela; ternyata ada seorang gadis dengan rambut sebahu yang beterbangan, dengan mata amber yang sama dengan Eskarne. Hampir saja ia tidak menyadari bahwa Arevig, yang mengenakan celana longgar khas Turki yang sama dengan teman-temannya ketimbang gaun, adalah seorang anak perempuan. Tinggi badannya juga tidak kalah dengan teman lelakinya; staf Black Order itu menakar umurnya pada sekitar enam belas tahun. “Tertarik, Hakizi Effendi?” goda Eskarne, yang mengalihkan tatapannya kembali pada tamunya. “Barangkali Anda ingin meminangnya. Jika dengan pria yang taat agama dan berpendidikan seperti Anda, Effendi, saya akan memberikan izin saya dengan sukarela.” Hakizi sangat terkejut dengan tawaran ini, walau ekspresinya tidak menunjukkannya. Namun, hampir saja dirinya tersedak minumannya. Ia terdiam sesaat, memikirkan respon yang tidak akan menghina kebanggaan Eskarne terhadap anak perempuannya, bila ada. “Walau Nyonya mengatakan itu, saya belum percaya diri untuk menghidupi orang selain saya sendiri. Terutama, anak semuda itu… lebih baik bila dengan lelaki yang menjamin kesejahteraannya. Anda tidak tahu pekerjaan saya apa.” “Yang saya tahu, pekerjaan Effendi, yang dideskripsikannya sebagai pekerjaan untuk Tuhan, cukup menjamin hingga dirinya bisa memesan kemeja secara rutin kepada saya.” Hakizi meneguk minumnya, lebih lama dari sebelumnya, menghabiskan isi cangkirnya. Ia merasa sudah terlalu lama berbasa-basi. Mengelap pinggiran mulutnya dengan sapu tangan dari saku yang berbeda dengan uangnya, ia akhirnya memberi balasan, “Jangan jadikan pendapatan suami patokan kesejahteraan anak Anda, Nyonya. Mungkin saya bukan orang sepatut yang Anda kira.” Eskarne tertawa kecil. Akhirnya, ia meneguk minuman yang belum disentuhnya itu. “Hakizi Effendi boleh merendah sesuka hati, namun itu tidak akan mengubah pandangan saya akan Effendi.” Wanita Armenia itu mendekatkan cangkir Hakizi yang sudah kosong mendekati cangkir miliknya sendiri, yang lebih dari setengah penuh. Melihat lelaki berambut ikal itu mulai melipat kemeja pesanannya, wanita itu mengutarakan asumsinya dengan nada kasual, “Sudah ingin pulang, Effendi? Memang hari ini kita berbincang lebih lama dari biasanya.” Hakizi beranjak dari kursinya, memberikan senyum kecil pada penjahit langganannya. “Benar. Maaf saya tidak bisa berlama-lama, selalu ada pekerjaan untuk diselesaikan.” Eskarne mendahuluinya untuk membuka pintu. Senyumnya melebar mendengar perkataan Hakizi, dan ia pun tidak bisa mengabaikan godaan untuk mengungkit pembicaraan sebelumnya dengan lelaki berwajah datar itu. “Hmm, tidak hanya taat agama, juga taat pada pekerjaan. Sungguh, Hakizi Effendi adalah pria yang baik.” Senyuman kecil kembali pada wajah Hakizi, yang sempat terdiam mendengar kalimat terakhir Eskarne. Ia mengenakan kembali fez yang ada di genggamannya. “Percayalah, Nyonya Eskarne, saya tidak akan bisa menjaga anak Anda. Jangan menilai saya berlebih.” Dengan itu, berakhirnya perbincangan terakhirnya dengan wanita Armenia yang tangguh itu. Perasaannya tidak enak sejak meninggalkan gubuk penjahitnya. Dengan langkah gesit, ia berjalan menuju markas dengan kemeja pesanannya terapit oleh lengannya. Ia menarik fez yang dikenakannya ke bawah, mencoba menghangatkan telinganya yang sebelumnya tidak tertutupi. “Hari yang dingin,” gumamnya pada dirinya sendiri, seraya ia melalui salah satu jalan besar Konstantinopel, yang penuh dengan lalu-lalang penduduknya. Ramai, seakan tidak ada yang merasakan hawa dingin itu selain dirinya. | |
| | | Gabrielle van Rijn
Posts : 115 Umur : 31 Pemilik : Al2SiO5
Biodata Posisi: Section Staff Cabang: Eropa Umur: 18
| Subject: Re: [IN-PROGRESS] Imbroglio 5th August 2009, 19:41 | |
| Ayo chief teruskan! Ingin tahu bagaimana masa lalunya Giraile. . . | |
| | | Shreizag E. Halverson Vatican Central
Posts : 580 Umur : 32 Pemilik : S.E.H. Poin RP : 20
Biodata Posisi: General Cabang: Eropa Umur: 29
| Subject: Re: [IN-PROGRESS] Imbroglio 7th August 2009, 15:29 | |
| Hmm, yaa, seperti yang sudah saya katakan padamu, chapter ini berasa kaku sekali... Tapi tidak apa, toh ini baru basa-basi, kan? Walau, saya merasa penggambaran latarnya sudah bagus, jadi bisa membayangkan suasana dengan jelas Ayo, teruskan! Kemudian munculkan Rajeev! | |
| | | Líadan Ní Súilleabháin
Posts : 145 Pemilik : Agito Poin RP : 20
Biodata Posisi: Disciple Cabang: Eropa Umur: 19
| Subject: Re: [IN-PROGRESS] Imbroglio 8th August 2009, 19:55 | |
| nyaaaaaan, baguuuus XDDD saya bisa membayangkan situasinya dengan sangat mudah!! ayo lanjutkan!! saya penasaran berat!! | |
| | | Giraile Arevig A. Vatican Central
Posts : 258 Pemilik : Chief Poin RP : 100
Biodata Posisi: General Cabang: Eropa Umur: 28
| Subject: Re: [IN-PROGRESS] Imbroglio 9th August 2009, 13:02 | |
| Kyaaa, terima kasih atas komentarnya sejauh ini~ @ Gabrielle: As you wish @ Shreizag: Iya, rasanya canggung juga menulis dialog kaku begitu, tetapi Hakizi memang gaya bicaranya begitu sih, formal... Syukurlah, ingin menangkap nuansa Turki-nya~ @ Liadan: Kyaaa, syukurlah~ Inilah bab berikutnya.... panjang tenan Ada sedikit referensi pada JK *uhuk-uhuk* Ada yang bisa menemukan? Glosarium:Gömlek: atasan lengan panjang khas Turki yang longgar dan panjang. Biasanya dipakai sebagai satu setel dengan salvar dan jelick (lihat glosarium sebelumnya) Kohl: semacam eyeliner bubuk dari Mesir Lahmacun: adonan roti yang 'rata' (seperti roti pita) dengan lapisan atas campuran daging giling dengan sayuran. Biasanya menjadi lapisan luar sayuran macam selada, tomat, dsb. dan bisa juga diolesi yoghurt/saos Mayr: bahasa Armenia untuk 'Ibu' Top hat: seharusnya sudah tahu, topi gaya gentleman gaya Victorian Imbroglio, Chapter 2... Tangled. "... B-Benarkah dengan ini suamiku bisa kembali?" Senyuman itu melebar. Ia menarik top hat di kepalanya ke bawah, seraya ia menundukkan kepalanya. Ia mendekatkan rangka humanoid yang ditawarkannya ke wanita tua itu, meruntuhkan pertahanannya. Kemudian, ia berjongkok, berhadapan dengan sang wanita, Eskarne, yang bertekuk lutut di lantai rumahnya. "Tentu saja, Nyonya~ Percayalah~ "Saya tanyakan lagi, apakah Anda ingin saya membangkitkan kembali Razmig?" Eskarne mengangguk dengan cepat, antusiasmenya melebihi yang sepantasnya. Ia melewatkan kilatan pada lensa kacamata sosok yang tidak dikenalnya itu. Wanita Armenia itu mulai meneteskan air mata; selama ini, ia sudah berusaha membiasakan diri dengan kenyataan bahwa Razmig tidak akan bisa kembali lagi ke sisinya, namun tiba-tiba sosok misterius ini, yang tidak pernah ditemuinya, mendatanginya untuk mematahkan pemikiran ini. Terdengar ketukan pintu. Eskarne berlari dengan cepat menuju pintu depan untuk membukakannya. Hakizi Effendi kah? Sudah berminggu-minggu sejak pelanggan setianya mengunjungi dirinya untuk meminjam jasanya, dan persediaan uang sudah menipis. Rasanya ia akan senang bahkan dengan pekerjaan kecil seperti menambal robekan, dengan seberapa urgen kebutuhannya akan uang saat ini.
Ekspektasinya terbukti salah ketika ia berhadapan dengan pria berbadan lebar, berpakaian gaya Victorian ketimbang Ottoman, yang asing baginya. Ia menggelengkan kepala dalam hati, menghilangkan rasa terkejutnya, dan memberi senyum terbaik yang bisa diberikannya dalam kondisinya saat itu; bisa jadi pria ini adalah seorang pelanggan baru.
"Butuh jasa penjahit, Tuan?"
Lelaki berkacamata itu terdiam sesaat, seakan menerawanginya dan mempertimbangkan sesuatu tentangnya. Eskarne tersentak begitu tahu lelaki itu mengetahui namanya: "Nyonya Eskarne?" Wanita Armenia itu hanya bisa menggangguk. Di luar dugaan, lelaki itu mulai tertawa kecil. Entah mengapa, Eskarne merasakan hawa dingin mencekam begitu ia melakukan ini.
Ia pun terkejut lagi ketika lelaki itu tiba-tiba berbicara lagi, kali ini dengan senyum lebar. "Maaf, saya tidak datang untuk jasa Anda~
"Justru," awalnya, senyumnya semakin lebar; bagaimana ia bisa melakukannya, dengan senyum yang sudah lebar itu? "Saya memiliki tawaran untuk Anda."Tetapi, "... Bagaimana caranya?" Senyum sinister yang sudah lebar itu hanya semakin tertarik ke sisi wajahnya. "Anda adalah seseorang yang memiliki ikatan khusus dengan Razmig. Tidak ada hal khusus yang perlu Anda lakukan... yang dibutuhkan hanyalah suara Anda. Panggil namanya saja, Nyonya, dan ia akan kembali." "... Tarik dia pergi dari sisi Tuhan yang telah merampasnya dari Anda." Tuhan... Ia selalu berusaha mendidik ketiga anaknya, yang sedang bermain di luar rumah, untuk selalu patuh pada perintah Tuhan, dan ia sendiri pun berusaha mendedikasikan hidupnya pada Dia... dulu. Semenjak peninggalan Razmig, nasib buruk yang dialaminya semakin memburuk saja. Ia merasakan sedikit demi sedikit kepercayaannya pada yang di atas tergerogot perlahan oleh kepedihannya. Satu sisi dalam dirinya mengingatkan bahwa yang diucapkan figur misterius itu salah, bahwa tidak sepantasnya ia mengembalikan Razmig yang sudah berada di sisi Tuhan ke dunia ini, namun kebahagiaan akan prospek bisa disatukan kembali dengan suaminya membutakannya. "Razmig..." gumamnya pelan, seraya ia mengelus permukaan tengkorak pada kerangka berukuran manusia itu. Ia langsung melepas tangannya begitu merasakan bahwa sesuatu telah memasuki rangka itu. Matanya membelalak begitu melihat nama suaminya tertulis pada kepala rangka itu. Ia tersenyum lebar; apakah upayanya berhasil? Akhirnya, hal yang selalu didambakannya sebagai angan-angan yang terlalu jauh untuk digapai berada di hadapannya sekarang. Ia pun langsung mendapat jawabannya, ketika rangka itu membuka mulutnya. "Eskarne..." Suaranya terdengar lebih parau dari biasanya, namun Eskarne dapat mengenal bahwa itu suaminya. Razmig telah kembali. Saking girangnya dirinya, ia tidak menyadari siratan rasa sakit yang ada di suara Akuma yang baru terbentuk itu. "Razmig, akhirnya..." Wanita itu terlalu larut dalam rasa rindunya untuk menyadari bahwa suaminya telah diberi komando untuk menyerang dirinya. Walau wujud rangka di depannya tidak menyerupai Razmig, ia sudah bahagia... sangat bahagia dapat mendengar suaranya lagi. Walau suaranya pedih seperti itu pun, Eskarne bahagia. Sungguh, sangat bahagia. Sebelum Eskarne bisa meneruskan ucapannya, lengan berbilah rangka yang menyimpan roh suaminya sudah terbenam dalam perutnya. Pikirannya tidak bisa memproses apa yang baru terjadi; suami yang dicintainya dengan sepenuh hati dan dibangkitkannya kembali menyerangnya. Ia bertatapan dengan wajah kosong yang dimiliki rangka itu, sebelum berpaling ke sosok yang menawarkannya. Ia tersenyum; akhirnya ia mengerti. Rasa sakit yang menyerang dirinya bukan hanya dari lukanya yang mengucurkan darah, namun dari penyadaran akan kebodohannya, yang membiarkan dirinya ditipu mentah-mentah. Darah menetes dari mulutnya, yang membuka dengan pelan. "Maaf... "Maafkan aku, Razmig..." gumam Eskarne, penuh penyesalan. Akuma di hadapannya menusukkan lengannya lebih dalam ke torso wanita Armenia itu, yang memuntahkan lebih banyak darah dari mulutnya. "T-Tuhanlah yang menyelamatkan..." Dengan itu, melayanglah nyawa wanita itu ke alam sana, dengan harapan nyawa suaminya dapat kembali sana, kembali ke sisinya. Seusai kata-kata terakhir ini terlontarkan, satu-satunya penonton tragedi ini tersenyum lebar. Kata-kata tipikal yang dilontarkan oleh seseorang yang baru saja menyesali tindakannya, masih mengharapkan Tuhan yang sebelumnya mereka cerca dalam hati bisa membantunya sekarang. Ia memerintah Akuma barunya untuk memasuki tubuh istri yang baru saja dibunuhnya. Ia memperbaiki posisi topinya; sudah saatnya untuk pergi ke tempat lain. Tahu saja, ia adalah seorang pria dengan jadwal padat. "Ah, hujan." Menandai awal musim dingin, rintik hujan mulai turun, membasahi mayat Eskarne yang mulai berjalan dengan gontai, membersihkan ceceran darahnya. Lelak itu tersenyum melihat ini; memang lebih baik jika korbannya tidak menyadarinya terlebih dahulu... Sang Earl membuka payungnya, bersiap-siap untuk meninggalkan kreasinya yang akan mulai beraksi sendiri. Ia mencoba menerka siapa yang akan menjadi korban pertama dari pasangan roh-badan suami istri ini... anaknya kah? Ia tertawa kecil membayangkan ironi dari situasi itu; seorang ibu yang berusaha membangkitkan suaminya untuk memastikan kesejahteraan anaknya justru akan menjadi penyebab kematiannya. Ya, hal ini sudah biasa. "Nah, sekarang, selamat membunuh, ya~"
"Hoooooi, Hakizi! Di sini!!!" Seorang lelaki India mengayunkan lengannya dengan penuh semangat, menandakan keberadaannya bersama segerombolan rekan section Research, di mana ia bekerja. Suara lantangnya tidak larut dalam keributan kafeteria di tengah jam istirahat itu. Sahabat dekatnya, seorang lelaki Mesir yang dikenal dari kohl di sekitar matanya, menoleh ke arahnya. Mengikuti panggilan namanya, sang sahabat mengambil tempat duduk yang dikosongkan untuknya, dan bergabung dengan kelompoknya. "Rajeev, terima kasih," ujar lelaki Mesir itu, Hakizi Mana, seraya ia meletakkan bakinya, berisi menu makanan siang minimalisnya seperti biasa, di atas meja. Begitu ia duduk dan hendak menyantap makanannya, ia diinterupsi oleh Rajeev yang menepuk bahunya. Ia menoleh ke arah kanan, dan berhadapan dengan wajah temannya yang memajang senyum usil khasnya. Tidak menangkap maksud di balik tindakan ini, Hakizi melakukan apa yang dianggapnya logis saat itu dengan wajah serius, "Ada apa?" "Kau ini," mulainya, sebelum ia menyelingi pembicaraan dengan memasukkan satu suap menu istimewa hari itu, kare ikan, ke dalam mulutnya dan menelannya, "terlalu banyak bekerja. Laporan itu bukan urusanmu juga tetap dikerjakan... aku jadi bingung apa yang kamu lakukan selain kerja, tidur, makan, dan kerja lagi." Tawaan kecil menyebar di meja itu, kecuali dari pelontar komentar dan lelaki di sebelahnya yang menjadi objek pembicaraan. Hakizi mengedipkan matanya beberapa kali, memastikan bahwa dirinya tidak salah lihat; ternyata memang pandangan yang lain tertuju padanya. Merasa dirinya yang diekspektasikan memecahkan keheningan, lelaki Mesir itu menjawab apa adanya, "Tidak demikian, saya juga suka membaca." Keheningan kembali untuk sesaat, sebelum tawaan yang jauh lebih keras meledak di kalangan staf laboratorium itu. Tidak menangkap apa yang lucu dari perkataannya atau milik Rajeev yang sebelumnya, Hakizi yang hendak menyantap lahmacun miliknya terdiam sesaat, sebelum menatap teman di sebelahnya, meminta penjelasan. Rajeev yang masih tertawa terbahak-bahak dan berusaha mengembalikan ketenangannya tidak langsung memberikannya, demikian pula dengan staf yang lain. Penjelasan yang diberikan pun singkat, "Tadi itu... cuma candaan, Hakizi. Tidak serius," ujar Rajeev, yang mengembalikan perhatiannya pada menu istimewa hari itu; bagaimana tidak, dengan kemiripan sebegitu dekatnya dengan makanan Kerala dari mana ia berasal? Ia pun meneruskan setelah menyantap beberapa suap, "Tetapi aku kadang benar-benar mempertanyakan itu, jujur saja." Salah seorang dari kelompok lelaki berjaslab itu berkomentar dengan cengiran, "Ya, wajar saja bila pekerjaan Hakizi sering dipuji oleh Younan... Memang Hakizi yang bekerja paling ulet." "Tidak seperti Rajeev, eh?" cetus staf di sebelahnya, yang mendapat respon amukan candaan Rajeev. Tawaan lagi. Hakizi mengedipkan matanya; ia sudah berhadapan dengan adegan semacam ini berkali-kali dalam masa kerjanya di organisasi Black Order, namun kadang ia sulit menangkap kelucuan yang ada di balik candaan-candaan macam ini. Ia berusaha mengeluarkan tawaan kecil sekedar untuk membaur, namun baut dalam otaknya masih berputar, berusaha untuk memproses apa yang sebenarnya lucu. Ia mengunyah roti pita berlapis daging dalam mulutnya dengan setengah sadar. Hanyut dalam renungannya ini, ia baru menyadari bahwa Rajeev memegang kerah kemejanya. "Heiii, Hakizi, kerah bajumu robek, nih. Tidak diperbaiki di penjahit langgananmu itu?" Ia sendiri baru menyadarinya, walau robekan itu cukup besar. Dari mana asalnya? Ya, apapun yang mengakibatkannya tidak akan mengurangi nilai dari saran yang Rajeev berikan. Hakizi menelan potongan lahmacun yang ada dalam mulutnya, sebelum memberi respon. "Kau benar. Barangkali saya akan mendatanginya setelah pekerjaan saya selesai." "Tambah satu hal lagi ke rutinitasmu," ujar Rajeev, yang baru menyelesaikan satu piring karenya, "pergi ke penjahit. Setelah pekerjaan selesai, tentunya." Hakizi hanya mengangkat bahu, dan terus menyantap makan siangnya. Ia meringis sedikit begitu menggigit bagian dengan konsentrasi sari lemon lebih tinggi dari bagian lainnya, yang kemudian dinetralisir oleh selada dan ketumbar beroleskan yoghurt dalam rotinya. Beberapa rekan mereka berdengkus menahan tawa, namun Hakizi, seperti biasa, tidak memberi respon. Ia mencoba menyusun jadwalnya agar kunjungannya ke rumah Eskarne dapat dimasukkan ke dalamnya; seharusnya sore ini ia bisa menyempatkan diri. Ia melahap lahmacun di genggamannya dengan kecepatan yang lebih tinggi, sebelum mempersilakan dirinya pergi dari rekan satu sectionnya untuk kembali bekerja, tidak tanpa ledekan bertema sama dengan sebelumnya. Berjalan dengan langkah gesit, Hakizi mulai menyusun apa yang akan dituliskannya di laporan berikutnya; lebih cepat ia menyelesaikan tugasnya, lebih baik.
Gadis itu menggeram dengan kesal. Permainan bola dengan teman-teman lelakinya terdisrupsi oleh turunnya hujan gerimis yang menjelma menjadi hujan deras yang cukup ganas, dan dengan terpaksa ia dan rekan sepermainannya harus berpencar ke rumahnya masing-masing. Lokasi permainan kali ini yang cukup jauh dengan rumahnya mengakibatkan dirinya, serta pakaian yang dikenakannya, terendam air. Ia dapat membayangkan wajah kesal ibunya, dan ceramah yang akan didapatkannya. "Hujan sialan!" umpatnya, seraya ia mempercepat larinya. Kekesalannya hanya bertambah ketika ia menemukan hujan yang telah membuatnya basah kuyup mereda hingga berhenti total ketika ia mencapai pintu depan rumahnya. Sepertinya kesabarannya memang diuji Tuhan hari ini. Sesaat, pikirannya terlintas pada ibunya yang berusaha menyembunyikan keresahan dirinya tentang keuangan keluarga. Arevig yang memeras air dari rambutnya merasa sedikit bersalah mengingat hal ini... andaikan ia bisa mendapatkan pekerjaan dengan umurnya yang belia ini. Pekerjaan untuk anak tiga belas tahun tidak ada yang membayar banyak. Ia mengetuk pintu, dan berharap ibunya merasa lebih baik, setelah pagi ini menunjukkan ekspresi yang dikenalnya sebagai yang menunjukkan bahwa ibunya merindukan ayahnya... lagi. Ibunya memang belum sepenuhnya merelakan, Arevig tahu. Beberapa menit berlalu, dan Arevig mengulang tindakannya dengan lebih keras; tidak ada yang membukakan, dan ini pun menimbulkan umpatan dari dirinya lagi. Apa-apaan ini?! Merasa ibunya tidak patut memarahinya untuk memasuki rumah tanpa menunggu izin dari penunggunya sementara dirinya menggigil kedinginan seperti ini, ia memutar gagang pintu. Gadis itu mengangkat alisnya; tidak biasanya ibunya lupa mengunci pintu di sore hari. " Mayr, aku pulang," ujarnya dalam bahasa Armenia, seraya ia melepaskan selopnya yang menampung air melebihi kapasitasnya. Ia melirik kiri-kanan; aman, ibunya tidak ada di ruang utama. Satu-satunya hal yang mengawasinya hanyalah lampu minyak yang berpijar lembut di atas meja. Apakah ibunya sedang mengurus adiknya? Ya, apapun alasannya, tanpa ibu yang akan memarahinya sebagai gadis yang beranjak dewasa gömlek polos berlengan panjangnya pun dilepaskannya tanpa rasa malu. Ia menuju kamar miliknya dan ibunya untuk mengambil setelan penggantinya. Melempar gömlek basahnya ke lantai kayu serta melepaskan celana yang dikenakannya, akhirnya ia mengenakan setelan baju standarnya yang kering. " Maaaaaaaaaayr... Kapan kita mau menyiapkan makan malam?" sahutnya, membawa baju yang dikenakannya sebelumnya, hendak memasukkannya ke dalam keranjang pakaian kotor. Aneh; tidak biasanya ibunya tidak langsung merespon kepulangannya, apalagi tidak memarahinya untuk menyahut keras-keras dalam rumah. Tidak mungkin beliau tertidur sebelum mereka sekeluarga menyantap makan malam sederhana. Ia membuka pintu masuk satu-satunya tempat yang belum dieksplorasinya, kamar kedua adiknya. Ekspresinya melembut begitu melihat figur ibunya yang berdiri dari celah yang dibukanya. Dengan nada berpura-pura marah, ia memulai, " Mayr, kenapa tidak ada yang--" Pintu terbuka sepenuhnya. | |
| | | Giraile Arevig A. Vatican Central
Posts : 258 Pemilik : Chief Poin RP : 100
Biodata Posisi: General Cabang: Eropa Umur: 28
| Subject: Re: [IN-PROGRESS] Imbroglio 9th August 2009, 13:02 | |
| (Terpaksa double-posting karena terlalu panjang, maaf... )
"Ah, hanya gerimis." Pria yang mengenakan fez merah itu benar-benar memiliki keberuntungan di sisinya. Hanya beberapa menit yang lalu, awan kelabu mengucurkan salah satu hujan terderas yang pernah dilihatnya, mengawali musim dingin di Turki. Kini, yang tersisa hanyalah gerimis yang seharusnya reda dalam waktu singkat. Ia menoleh ke atas; awan kelabu yang sebelumnya menutupi langit sudah berpencar, namun matahari yang sudah terbenam sebagian tidak terlalu mencerahkan atmosfer. Hawa dari angin musim dingin yang bertiup tetap ada, namun ia sudah mengantisipasinya dengan memakai mantel yang lebih tebal. Beberapa menit berlalu, dan hujanpun sudah reda sepenuhnya. Pria Mesir itu tersenyum kecil; ia benar-benar dimanjakan oleh Tuhan hari ini. Tampaknya ia tidak harus memesan kereta kuda sekarang. Walau waktu perjalanan akan dipangkas dengan menggunakan metode transportasi yang lebih cepat, Hakizi jauh lebih memilih berjalan, yang memungkinkannya memperhatikan sekelilingnya dengan lebih cermat. Kota Konstantinopel sepi hari ini. Tidak seperti terakhir kali ia menelusuri jalan ini, sore ini hanya beberapa kereta kuda yang berlalu dengan kecepatan rendah, mengingat kondisi jalan yang licin. Wajar saja, dengan hujan deras seperti tadi. Tetapi, kini ia didampingi beberapa orang yang telah berhenti mengurung diri dari rumahnya, kegiatannya tidak terhalang lagi oleh cuaca. Beberapa anak kecil bermain dengan genangan air kotor di jalan, namun bukan kewajibannya untuk menegur mereka; kemungkinan besar, nasihatnya tidak akan diacuhkan. Lagipula, ia memiliki urusan sendiri. Ia membuka bagian atas pembungkus barang yang dibawanya; kemejanya yang robek. Ia menghela napasnya dan terus berjalan - semoga saja Eskarne tidak sibuk hari ini. Lelaki berambut ikal itu mempercepat langkahnya, berharap premonisi buruk yang dirasakannya tidak benar.
Dua percikan darah besar yang meleber di tembok dan lantai, dan sisa pakaian anak-anak yang ia yakin adalah milik kedua adiknya tergeletak di lantai, masing-masing memiliki robekan berbentuk bulat, seakan-akan suatu... peluru ( 'Mungkin?' pikirnya dengan ragu) atau semacamnya telah melaluinya. Di mana kedua adiknya berada? Apa yang terjadi dengan mereka? Tentu saja, ia tidak mungkin mengetahui bahwa dua adik tercintanya telah hancur menjadi serpihan kecil bak debu. Dan ibunya... Arevig menatap wanita tua itu; ibunya tidak bergerak, dan hanya menatap kosong pemandangan itu. Sekarang, ia benar-benar bingung. Detak jantungnya berjalan lebih cepat - ia semakin bingung; mengapa ia merasa takut? 'Tidak ada yang perlu ditakutkan...'" M-Mayr..." mulainya, mendekati sosok ibunya. Ia memegang pundak wanita yang melahirkannya itu. "Apa yang terjadi di sini?! Di mana Vartavar, Khatchig?" Ia menggoyangkan pundak ibunya; tak ada respon. "... Mayr?" Perlahan, ibunya mulai membuka mulutnya yang sebelumnya tertutup. Arevig menelan ludahnya; ia memiliki firasat buruk tentang hal ini. Bagaimanapun taraf depresi ibunya tidak pernah kesedihan menelan ibunya hingga yang bersangkutan tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. Entah mengapa, ia memiliki praduga bahwa misteri hilangnya Vartavar dan Khatchig, serta darah yang menempel di permukaan dinding dan lantai, ada hubungannya dengan kondisi ibunya sekarang. Ia melepaskan tangannya dari pundak Eskarne, seraya mendengarkan suara parau yang dikeluarkan ibunya. "... Bunuh..." bisiknya pelan, namun Arevig merasa ia dapat mendengarkan satu kata itu dengan jelas. Akuma itu perlu membunuh lagi. Meragukan pendengarannya, ia meminta ibunya untuk mengulangi apa yang dikatakannya. Kali ini, respon yang didapatkannya bukan kata-kata lagi, namun tabung-tabung peluncur proyektil yang mulai mencuat dari tubuh ibunya. Arevig menjauh dengan sendirinya, seraya ibunya menjalani transformasi wujud yang lebih drastis. Suatu pentakel muncul di dahi wajah yang tidak dikenalinya sebagai ibunya lagi, meraung dengan kesakitan. Monster buruk rupa itu terdiam untuk beberapa saat, tidak melakukan apa-apa. Dalam kondisi panik, hampir saja Arevig tidak menyadarinya; makhluk itu, ibunya, bersiap-siap meluncurkan serangan. Hanya satu hal yang terpikir olehnya; lari. Dengan segenap kemampuannya, ia melejit dari kamar kedua adiknya, dan pada saat yang tepat pula; sepersekian detik setelah ia melarikan diri, sesuatu yang ditembakkan oleh monster yang berasal dari ibunya itu melesat hingga tertanam di dinding, hanya sedikit bergesekan dengan rambutnya. Pandangannya mulai buram akibat air yang berpendar di matanya. Ia takut, benar-benar takut, dan rasa paniknya hanya bertambah ketika monster itu mengikutinya, menghancurkan pintu yang terlalu kecil untuk dilaluinya dalam prosesnya. Tidak melihat jalan di depannya, ia menabrak kursi di depan meja makan keluarganya. Secara refleks, tangannya mencari sesuatu untuk menjadi tumpuan, namun meja bundar yang tidak cukup kuat untuk menopang Arevig jatuh bersama dirinya yang kini terkapar pada sisi depan tubuhnya di lantai. Menyakitkan. Ia mengangkat kepalanya yang menabrak lantai ke depan, merasa bahwa ia melupakan sesuatu yang ada pada meja yang menggelinding untuk sesaat itu, dan disambut oleh bunyi sesuatu yang pecah tepat di hadapannya. Akhirnya ia ingat; lampu minyak itu. Api menjalar dengan cepat pada minyak yang tumpah di hadapannya. Terfiksasi oleh rasa panik, Arevig tidak dapat langsung menggerakkan tubuhnya, sebelum akhirnya ia merasakan panas nyala api itu pada rambutnya, yang terkena cipratan minyak. Dengan cepat, api pun mulai menjalar ke wajahnya. Api yang sama pun mulai menyebar dengan cepat pada dinding dan lantai kayu rumahnya, memblokir jalan keluar utamanya. Ia berteriak, berusaha memadamkan kobaran di wajahnya. Berhasil melakukannya, ia mencoba melupakan rasa perih yang dirasakan di sisi kanan wajahnya dan melarikan diri. Satu-satunya hal yang membuatnya bergerak sekarang hanyalah insting dasarnya untuk menyelamatkan nyawanya. Seharusnya ia tahu bahwa dinding kayu tidak akan bisa melindungi dirinya dari monster ibunya, yang mendobrak masuk tanpa ekspresi, bersama asap yang mulai memasuki ruangan. Sudah tidak ada tempat untuk melarikan diri lagi; Arevig sadar bahwa kini dirinya terpojok. Air mata mulai mengucur dari mata kirinya, dan membasahi pipinya. Asap yang memasuki paru-parunya membuatnya terbatuk. Ia berusaha untuk mengucapkan sesuatu; apapun yang bisa mengembalikan ibunya ke wujud normalnya lagi. Ia masih percaya bahwa ibunya masih ada di balik sosok buruk rupa ini. Dari sekian banyak pilihan yang memenuhi otaknya, ia hanya bisa menggumamkan satu kata. " Mayr... Mayr..." Ia dapat merasakannya lagi; monster itu sedang bersiap-siap untuk menembak lagi. Gadis muda itu mencoba memaksa dirinya untuk bergerak, untuk menyelamatkan dirinya sendiri, namun tubuhnya melanggar perintahnya sendiri. Arevig pun tahu mengapa; ia terlalu terpaku pada paragon kepedihan yang ada di depannya. Ia sungguh tidak ingin menerima bahwa monster itu adalah ibunya sendiri... bagaimana ibunya bisa menjelma menjadi sesuatu yang begitu menyedihkan? Ia memejamkan matanya, tidak ingin melihat akhir dari hidupnya sendiri. Batuknya menjadi lebih parah, seiring dengan semakin tebalnya asap di kamarnya. Ia merasa kepalanya seakan berputar; sulit baginya untuk berpikir jernih tanpa asupan oksigen. Ia ingin tertawa, seandainya kondisi fisiknya memungkinkan. Tidak pernah ia menduga semua akan berakhir seperti ini; bahkan tanpa dirinya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ia tidak ingin mati, namun apa lagi yang bisa dilakukannya selain memasrahkan diri? Ini bukan fairy tale; tidak akan ada pahlawan yang tiba-tiba muncul untuk menyelamatkannya. Gadis itu menahan napasnya, menanti... | |
| | | Shreizag E. Halverson Vatican Central
Posts : 580 Umur : 32 Pemilik : S.E.H. Poin RP : 20
Biodata Posisi: General Cabang: Eropa Umur: 29
| Subject: Re: [IN-PROGRESS] Imbroglio 9th August 2009, 18:14 | |
| Pertamax! Wah, yang ini benar-benar panjang ya... Tapi sudah tidak kaku lagi kok Oke, firstly first... Saya merasa adegan Eskarne-Earl sudah bagus, hanya, ada satu unsur (?) yang kurang terasa; latar tempatnya. Menurut saya, hal itu bisa juga ditambahkan ke kalimat pembukanya... Selain itu, saya merasa dramatisasi adegan Eskarne-Razmig kurang pol... Tambahkan! *dihajar*Ah, terima kasih telah menulis karakter Rajeev dengan baik~ Hakizi tuh ya, beneran nggak bisa diajak bercanda Kalau bagian terakhir, saya rasa sudah cukup :-? Overall, mengalami peningkatan dari chapter selanjutnya! Ayo, Lanjutkan! *digetok Pak SBY* | |
| | | Chief Supervisor Admin
Posts : 418
| Subject: Re: [IN-PROGRESS] Imbroglio 9th August 2009, 18:58 | |
| Ah, edited. Jadi lebih jelas bahwa terjadi di rumah... (awalnya niatnya di makam, dengan referensi ST12 tentang batu nisan pula, tapi baru ingat Razmig meninggal di Armenia, haha). Sumpah, chapter ini hanya bertambah panjang terus... Yang soal bahasa yang nggak jelas (bagian proses itu) yang kau beritahukan padaku juga sudah diedit... Chapter 3, coming up~ | |
| | | Giraile Arevig A. Vatican Central
Posts : 258 Pemilik : Chief Poin RP : 100
Biodata Posisi: General Cabang: Eropa Umur: 28
| Subject: Re: [IN-PROGRESS] Imbroglio 13th August 2009, 21:16 | |
| Sebenarnya menanti komentar dari yang lain dulu, tetapi sebelum saya lupa... Ini bab pendek untuk mengimbangi bab dua yang terlampau panjang. ... Lebih baik Les Miserables (Victor Hugo) atau The Sorrows of Young Werther (Goethe)? *dilempar* Baca dan komen ya~ Glosarium:Phaeton: kereta kuda, tetapi carriage-nya tidak setangguh kereta kuda yang megah Imbroglio, Chapter 3The gears are in motion now. Tiga Rasa panik berbaur dengan asap hitam yang mengotori paru-parunya. Satu-satunya hal yang mempertahankan kesadarannya adalah rasa perih di sekujur sisi wajahnya yang merah terbakar, namun bahkan itu pun tidak kuasa untuk melawan kontaminasi udara dalamnya. Ia mencoba menjaga pikirannya tetap hidup, namun sangat sulit baginya untuk berpikir saat itu... ketika jauh lebih mudah memejamkan mata, dan... Dua Sebelum terjatuh ke alam bawah sadar, ia merasa mendengar suara dari makhluk pengganti Mayr yang menegakkan alat proyektil di sekujur tubuhnya. Mayr... Benarkah akan berakhir seperti ini? 'Oh, Tuhan...'Satu Suara mendesir dari gesekan peluru dengan udara tak terdengar oleh dirinya, dengan tubuh yang melemas pada posisi bersandar pada dinding. Ia mencoba memerintah dirinya untuk bangun, bangun, bangun... namun hanya satu bagian yang mendengarkan, baru tersadar dari tidur panjangnya. Aktivasi.Padatan darah Akuma itu melebur ke rambut hitam legam yang menjelma menjadi perisai sisi terluka wajah gadis itu. Tanda pentakel yang bermunculan pada permukaannya ditolak keluar oleh substan lawannya, yang baru pertama kali teraktivasi untuk menjalankan tugasnya. Dengan kecepatan di luar batas normal, rambut itu menjulur ke bawah, poni gadis itu cukup untuk menutupi wajah perempuan Armenia itu. Mereka tidak berhenti di sana; semua helaian-helaian tipis yang tumbuh dari kulit kepala akomodator baru itu terus memanjang, hanya berhenti sesaat untuk memblokir serangan berikut targetnya yang mengancam melukai penggunanya. Melilit satu sama lain untuk memadatkan diri, ribuan helai rambut itu bergabung menjadi beberapa ujung lancip, yang semuanya menuju ke arah targetnya, Akuma - kawat-kawat besi yang tertarik oleh bola magnet raksasa. Dengan kecepatan tinggi, helaian-helaian rambut yang seakan memiliki nyawa sendiri itu menerkam mangsa naturalnya dari segala penjuru yang mereka bisa. Setelah target terjerat sebagai hasil kerja sama di bawah alam sadar itu, akhirnya beberapa mengambil peran utama untuk mengakhiri hidup makhluk itu dengan tikaman yang gesit; jelas, tidak ada niat untuk menunda. Monster yang diserang itu meraung kesakitan menuju ajalnya, namun sebaliknya untuk jiwa yang digunakan untuk memberinya tenaga; justru roh yang terperangkap itu baru bisa berhenti melakukannya sekarang. Sang ayah terbebas dari rantai yang menjerat rohnya; akhirnya, ia bisa kembali ke sisi istrinya yang sudah lama menunggunya. Ia tidak memikirkan kesalahan fatal istrinya yang sendirinya tentu sangat menyesal sekarang... Razmig tidak akan menyangkal bahwa bisa saja dirinya melakukan hal yang sama dengan Eskarne dalam posisi yang sama. Tak apa, sekarang ada Vartavar, Khatchig, dan tentunya Eskarne, yang menemaninya. Ia ingin memberikan senyuman pada satu-satunya anaknya yang tersisa; entah apa yang tadi dilakukannya, tetapi berkatnya ia bebas sekarang. Ia bisa pergi ke tempat itu lagi. Ia sudah dijemput; rohnya yang mulai berdisintegrasi tertarik ke atas dengan perlahan dan lembut. Menatap anak perempuannya untuk terakhir kali, ia membisikkan pesan terakhirnya... walau ia tahu tidak akan mencapai tujuan. 'Šat... šat šnorhakal em, Arevig...'
Hari keberuntungannya bisa jadi hari kesialan orang lain. Dan contoh nyatanya ada di depan matanya; gubuk penjahit langganannya dilahap oleh lautan api yang belum kunjung padam. Tetesan air mendarat pada hidungnya, dan ia menoleh ke langit yang berganti warna menjadi kelabu. Terlihat olehnya babak kedua dari hujan hari ini hendak dimulai, dan kali ini ia tidak mengharapkan kurang dari hujan sederasnya. Terlalu jauh, dan akan terlalu lama untuk meminta bantuan orang lain. Ia tersenyum kecut, seraya ia menarik feznya ke bawah. Gelegar gemuruh terdengar di kejauhan menyusul kilat yang tampak beberapa detik sebelumnya, diiringi dengan intensitas hujan yang lebih besar. Baiklah; minimal ada Tuhan ada di sisinya. Hakizi menggulung lengan panjang kemejanya. Walau ia tidak bisa dibilang lelaki perkasa yang dapat dengan mudah mendobrak masuk rumah yang terbakar, ia berharap Tuhan akan ada di sisinya lagi untuk upaya berikutnya. Ia menghembuskan napas yang sebelumnya ditariknya panjang. Ia melihat ke depan; kobaran api pada pintu kayu diperlemah oleh siraman air dari atas, sepertinya sekarang sudah saatnya. Melepas posisi ancang-ancangnya, ia berlari dengan segenap kemampuannya ke arah jalan masuknya, berharap daya yang diberikannya akan cukup untuk upayanya. Brakkkk. Sepatu bot kulitnya berhasil mendobrak pintu depan yang sudah reot, menjadikannya pijakannya. Di luar ekspektasi dirinya sendiri, dia berhasil. Hakizi mengevaluasi ruangan yang baru beberapa minggu yang lalu beratmosfer dingin dan tenang, kini telah dihangatkan oleh api yang dengan senang hati melahap gubuk yang terbuat dari kayu itu. Beberapa lubang tersebar pada dinding rumah, seakan suatu silinder tertanam dalamnya sebelumnya. 'Hmm...'Melihat kepulan hitam yang menyebar, lantas Hakizi mengeluarkan sapu tangan yang selalu dibawanya dari kantong jasnya, dan menutupi hidung dan mulutnya. Ia mendekatkan posisinya dengan permukaan lantai sebisa mungkin, menjauhkan diri dari asap yang menyebar di atas. Pria Mesir ini tidak menangkap suara siapapun, dan mengernyitkan dahi. Probabilitas positifnya adalah bahwa semua penghuni rumah berhasil melarikan diri dengan selamat, namun probabilitas satunya... Ia melihat tempat di mana dinding pembatas ruang utama dengan kamar kedua anak lelaki Eskarne seharusnya berada, digantikan oleh lubang besar yang menganga. Jelas, penyebabnya bukan api. Penuh rasa ingin tahu, ia merayap di atas patahan-patahan dinding kayu dengan hati-hati; matanya membelalak untuk sesaat begitu menemukan pemandangan yang pelik. "... Akuma?" gumamnya pelan pada dirinya sendiri, sebelum ia meninggalkan kamar itu. Tampaknya ini lebih dari kasus kebakaran sederhana. Ia ingin terus mencoba menerka apa sebenarnya yang terjadi, namun itu bisa menunggu sementara mungkin ada beberapa orang yang hidupnya di ujung tanduk saat ini. Hakizi kembali menyapu lokasi dengan matanya; dari seringnya ia mengunjungi rumah kecil ini dan berbincang dengan pemiliknya, ia tahu bahwa ada satu tempat lain yang belum dijelajahinya, kamar pribadi Eskarne dan anak perempuannya. Ia bergegas menuju kamar yang dinding penghalangnya bernasib sama dengan kamar satunya. Lelaki itu menyipitkan matanya yang bergaris luar kohl hitam; pemandangan pelik lagi. Menelusuri seluruh penjuru kamar, akhirnya ia menemukan seseorang yang samar-samar dikenalinya; Arevig Asdvadzadouryan, dan bukan dalam kondisi terbaiknya. 'Ditambah...' batin Hakizi, memerhatikan genggaman rambut dengan panjang melebihi batasan normal di tangannya, 'pertumbuhan rambut yang... sangat pesat sejak terakhir kali melihatnya.'Ia merayap mendekati fisik gadis itu, membuka tirai rambut panjangnya dengan perlahan. Matanya melebar dalam seketika; luka bakar pada wajah Arevig cukup parah, dan sesuatu yang mungkin akan diratapi kaum wanita jika hal ini terjadi pada mereka... pastinya membekas. Ia mengobrak-abrik laci mahogani yang ada di dekat gadis itu, satu-satunya perabot Eskarne yang terlihat cukup berharga (perabot kayu lainnya, termasuk kursi, terbuat dari kayu bekas buangan). Ia ingat Eskarne pernah menceritakan bahwa meubel berukiran sederhana ini sudah dipakai keluarganya dari Van sejak berdekade yang lalu, tetapi itu tidak penting sekarang. Beruntungnya, ia menemukan peralatan yang dicarinya; gunting sang penjahit. Perangkat besi itu memiliki dekorasi yang amat detail pada pegangannya (ia sudah mendengar ceritanya juga - membuatnya sulit meninggalkannya), ia perhatikan, seraya ia menggunting rambut gadis itu seperlunya. Tentu, hal wajar yang dilakukan sekarang adalah untuk mengangkat badan gadis yang tidak sadarkan diri itu. Tidak pernah melakukannya sebelumnya, Hakizi mencoba menggunakan logika dasarnya, dan merangkul gadis muda itu pada bagian punggung atas dan bawah lutut. Menghirup napas dalam-dalam, ia mencoba mengangkatnya dengan sekuat tenaga; gagal. Pria itu terdiam sesaat, mencari akal - benar-benar bukan saat yang tepat bagi gadis ini untuk menjalani masa pertumbuhannya. Tetapi, berat badan gadis ini tidak bisa dibilang satu-satunya faktor kegagalannya; dalam hati; Hakizi menyesali tidak pernah melatih fisiknya sejak kecil hingga sekarang. Merasa waktu terlalu berharga untuk dipakai merenung saat itu, ia menahan napasnya dan mencoba lagi.
Setelah beberapa kali menjalankan trial and error, upaya Hakizi membuahkan hasil, walau ia mengangkut Arevig itu dengan tangan gemetaran; baik karena kurang memadai kekuatan fisiknya, dan hujan yang bertambah deras. Mengistirahatkan kedua lengannya yang loyo, ia berjongkok begitu berjarak beberapa meter dari gubuk milik Eskarne, dan menopang berat badan gadis itu dengan lututnya. Minimal bagian tersulit, membawa gadis ini keluar ke zona aman, telah berhasil dilaksanakannya. Ia mulai merenung; apa yang sebaiknya dilakukannya dengan seorang gadis yang tampaknya merupakan satu-satunya yang tersisa dari keluarganya? Inilah bagian sulit lainnya. Ia tidak sampai hati meninggalkan gadis yang umurnya ditakar sekitar enam belas tahun ini sendirian... tidak ketika ia tahu Eskarne tidak memiliki banyak harta untuk diwariskan, dan tidak ada kerabat berlokasi dekat yang bisa menampungnya. 'Dan...' tambahnya dalam hati: tempat mana yang akan menampung gadis yang terluka parah tanpa mempertanyakan apa sangkut paut dirinya dengan gadis bersangkutan? Penginapan... tidak mungkin, klinik umum... tidak kecuali ia ingin ditangkap oleh prajurit Ottoman yang bisa jadi mencurigainya sebagai biang keladi. Kemudian, ia mengingat seberapa pelik kondisi rumah tadi, juga Eskarne dan dua anak lainnya yang menghilang begitu saja... barang kali gadis ini bisa dianggap kasus istimewa. Hakizi menghela napas pasrah; sepertinya memang tidak ada pilihan lagi selain tempat itu. Ia hanya berharap gadis ini tidak akan keberatan dengan keputusannya ketika yang bersangkutan sadarkan diri nanti... Hakizi Mana menghisap napas dalam-dalam lagi, mempersiapkan dirinya untuk berdiri mengangkut Arevig. Menuju jalan utama terdekat, ia hanya bisa berharap akan ada kereta kuda yang rela menaikkan penumpang baru di tengah cuaca seperti ini.
Air hujan masih turun selebat sebelumnya, namun kuda yang menarik kencananya tetap menghadapinya. Walaupun begitu, baik dampaknya baginya dan, terutama, gadis ini. Dalam situasi normal, jalan ini tentu akan dipenuhi pejalan kaki Muslim yang tidak boleh dilewati oleh kereta kuda yang dinaiki seorang non-Muslim seperti dirinya, satu alasan lain mengapa ia selalu berjalan kaki menuju rumah penjahitnya. Melihat bahwa phaeton hampir mencapai markas Black Order, Hakizi memberi instruksi pada sang kusir dengan gesit, "Tuan, tolong berhenti di sini." Lelaki yang duduk di depan itu menarik tali kekang kudanya dan menghentikannya. Akibat tindakan mendadak ini, genangan air di depan meloncat ke arah kereta kuda yang berhenti itu; sang kusir terjaga darinya oleh dasbor di depan, namun sisi-sisi basket phaeton yang terbuka jelas tidak memberi perlindungan apa-apa. Hakizi mencatat dalam kepala bahwa ia harus segera membersihkan sepatu botnya yang sudah lusuh. Seusai memberikan bayaran disertai tip murah hati pada kusir yang dimintanya untuk melupakan lokasi ini, ia menurunkan Arevig dari kencana dengan usaha yang tidak kecil, dan mengangkutnya ke dalam markas. Gerbang berhasil dilaluinya, namun ia berharap ia tidak harus bertemu dengan siapapun yang akan menanyainya. Menimbang-nimbang apa yang sebaiknya ditujunya terlebih dahulu, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke ruangan asramanya. Ia rasa teman sekamarnya, Rajeev, tidak akan memvonisnya sebagai seseorang yang telah melakukan tindakan mencurigakan - lelaki India itu mengenalnya lebih dari itu. Lagipula, tidak ada salahnya jika sahabatnya yang satu ini memberinya sedikit asistensi... Ia mengetuk pintu; tidak ada yang membukakan. Ketika ia mencoba memutar gagang pintu (walau tidak mudah melakukannya dengan membawa seorang gadis), terkejutlah dia ketika ia menemukan bahwa pintunya tidak terkunci. Mendorongnya hingga terbuka dengan kakinya, Hakizi bergegas memasuki kamar asrama dan meletakkan gadis Armenia itu di atas ranjangnya dengan pelan. Ia menggenggam tangan Arevig yang sebelumnya terkulai lemas, mengamatinya; permukaan kasarnya menandakan bahwa ia bukan seorang gadis yang hanya duduk manis dan tidak turut bekerja. Menekan pergelangan tangannya, Hakizi merasa lega begitu menemukan detakan pada urat nadinya belum hilang. Minimal, satu orang selamat. Ia mengamati wajah anak perempuan itu dengan lebih dekat, mengesampingkan poni yang menutupinya dengan hati-hati. Barang kali seperti ini penampilan Eskarne ketika ia masih muda, hanya saja Arevig tampaknya tidak memiliki kualitas kewanitaan perempuan Basque itu selain bulu matanya yang panjang. Bentuk dagunya lebih maskulin, dan Hakizi sendiri tahu teman-teman gadis yang satu ini seperti apa... Lalu, pengamatannya mendarat pada luka bakar yang baru didapatkan gadis itu. Ia tidak berani menyentuhnya, meskipun bekasnya sudah mulai mengering; walau ia bukan seorang staf medis, ia pun tahu bahwa luka ini serius, dan bisa menimbulkan problema lain jika tidak segera ditangani. Tidak ada pilihan selain membawa gadis ini ke infirmari, tetapi bagaimana caranya tanpa membangkitkan kecurigaan? Ia disadarkan dari renungannya oleh dua pasang hentakan kaki di lorong asrama. Dua orang ini membicarakan sesuatu, namun Hakizi baru dapat mendengarkan dengan jelas begitu mereka berjarak lebih dekat dengan kamar tertutupnya. "Ya, memang demikian, Kepala Bagian..." Familiar. Dapat dipastikan salah seorangnya adalah yang ditunggunya, Rajeev... dengan? Pria Turki itu, jika dugaannya tidak salah (dan ia benar-benar berharap dirinya salah)... Lawan bicara lelaki India itu menghela napas, sebelum merespon dengan suara parau dan kaku yang dikenal Hakizi dengan baik, "Tidak biasanya Hakizi pergi ke luar markas selama ini. Padahal hal ini benar-benar penting untuk dibicarakan..." Hakizi menggertakkan giginya; benar saja, dari semua orang yang biasa berbincang-bincang dengan Rajeev, yang harus bersamanya pada saat genting seperti ini adalah Section Leadernya, Ankara Younan. Younan, seorang yang penuh disiplin, bukan lelaki yang bisa dengan mudah membiarkan hal ganjil lewat begitu saja. Walau ekspresinya tetap seperti biasa, pria Mesir itu dapat merasakan detakan jantungnya berpicu lebih cepat; jika ia beruntung, kedua rekannya ini tidak akan memasuki kamarnya... namun berapa probabilitas itu? Baru menyadari beberapa detiknya berlalu dengan memikirkan itu, akhirnya ia menyadari bahwa gagang pintu telah diputar dari sisi luar. Dan konyolnya, ia belum menciptakan suatu penjelasan untuk keberadaan seorang gadis muda di kamar pribadinya, dengan kondisi yang tentu membuat orang bertanya-tanya... terutama karena dirinya mengaku sekadar mengunjungi penjahit langganannya. 'Oh, Tuhan...'Cklik.Pintu membuka perlahan. Hakizi Mana menelan ludahnya, menerima konsekuensi apapun yang akan dipikulnya begitu pintu itu sepenuhnya terbuka. | |
| | | Shreizag E. Halverson Vatican Central
Posts : 580 Umur : 32 Pemilik : S.E.H. Poin RP : 20
Biodata Posisi: General Cabang: Eropa Umur: 29
| Subject: Re: [IN-PROGRESS] Imbroglio 14th August 2009, 17:44 | |
| Wew. Mantap, non. Deskripsinya... lebih pol dari yang sebelumnya *__* Tapi jutsru, saya merasa dialognya terlalu minim di sini... Membuat suasana ceritanya agak... monoton (dan terkesan gelap). Tapi ya, selain itu, pengambaran latarnya sudah oke Saya harap ke depannya lebih banyak dialog ya~*digetok* btw kok dipotong pas Rajeev mau nongol sih *ditampol*Terus-ehh, Lanjutkan! | |
| | | Raul Santa Cruz
Posts : 50 Pemilik : Chief
Biodata Posisi: Section Staff Cabang: Amerika Utara - Selatan Umur: 23
| Subject: Re: [IN-PROGRESS] Imbroglio 14th August 2009, 17:47 | |
| Bagian ini sepertinya banyak eksyennya sih... :p Berhubung Giraile lagi pingsan dan Hakizi tidak punya lawan bicara lagi... (Dialog yang berarti kayaknya cuma antara Rajeev dan Ankara Younan ya?). Tenang, nantikan bab selanjutnya untuk dialog yang lebih banyak *ditendang* Dipotong di situ ya biar klimaks... Ya, saya lanjutkan, lebih cepat lebih baik... | |
| | | Chief Supervisor Admin
Posts : 418
| Subject: Re: [IN-PROGRESS] Imbroglio 26th August 2009, 20:58 | |
| Menunggu komentar dari yang lain dulu... tapi tak kunjung datang. Ya, apa boleh buat... Rasanya tidak ada istilah yang asing kali ini. Intermezzo setelah chapter-chapter sebelumnya yang 'wah'. Imbroglio, Chapter 4Searching for the reason "Baiklah, segera ambil laporan yang kau janjikan itu." "Eheh... s-siap, Kepala Bagian..." ujar lelaki India itu, berusaha menyembunyikan kegugupannya dari atasan yang mengintai. Sebenarnya ia ingin draft kasarnya diperiksa oleh sahabatnya, Hakizi Mana, sebelum mengumpulkannya pada Younan, namun pria Mesir yang ditunggu-tunggunya ini belum kembali dari penjahit langganannya. Lalu, ketika ia sudah berniat mengerjakannya sendiri, ia harus berpapasan dengan orang yang dihindarinya di koridor. Rajeev memutar gagang pintu sepelan mungkin, berusaha membuang waktu dengan harapan Younan akhirnya akan bosan mengawasi gerak-geriknya. Ia mengintip ke belakang dari pinggir matanya, dan mengumpat dalam hati; Ankara Younan masih berada di belakangnya, dengan tatapan keras itu... Rajeev menghela napas pasrah, seraya suatu ceklikan menandakan terbukanya pintu kamarnya. 'Sekarang, alasan apa yang bisa kuberikan...?' Ia berpikir keras, tidak menyangka bahwa ada kemungkinan ia akan diselamatkan oleh sahabatnya secara tidak langsung. 'Alasan, alasan... Ah! Tercampur dengan tumpukan barang-barang di kamar!' Betapa leganya lelaki India itu, mengingat bahwa Hakizi belum membersihkan kamar mereka hari ini. "Maaf jika agak berantakan..." ujarnya, mengawali skenarionya. Ia memberikan senyum terbaiknya pada Younan, berharap hati lelaki Turki tua itu akan luluh. Kemudian, ia menatap lelaki yang diam di tempat itu. Rajeev mengangkat alisnya; aneh. Ada apa gerangan, sehingga kepala bagiannya memasang ekspresi shok seperti itu? Rajeev baru mengerti begitu menatap ke arah yang ditunjuk oleh jari telunjuk Younan yang bergemetar. Target pandangan dua staf riset ini, yang duduk di sebelah seorang gadis muda yang tak sadarkan diri di atas ranjangnya, membalas tatapan dua rekan kerjanya. Wajah datarnya tidak menunjukkan bahwa ia berkeringat dingin. Setelah beberapa detik keheningan berlalu, ia mendeham, sebelum menggumamkan satu kalimat dengan tenang: "... Sa--saya bisa menjelaskan."
"Baiklah," awal lelaki berkulit gelap asal Kerala itu, mengusap dagunya. "Jadi, ketika kau mengatakan kau pergi ke penjahit langgananmu, ternyata bukan itu yang sebenarnya terjadi?" Hakizi menatap balik Rajeev yang menantisipasi jawaban darinya bersama Younan. Dengan jujur dan seadanya, ia langsung menjawab, "Tidak. Saya benar-benar pergi ke sana, kok." Rajeev tertawa kecil. Tidak mungkin Hakizi berbohong, tetapi dengan wajah yang selalu datar seperti itu, siapa tahu... Ia melihat Younan menatap tajam dirinya, mendesaknya meneruskan interogasinya. Lantas, lelaki berbaju kumal itu menduduki ranjang sahabatnya, di sebelah yang bersangkutan. "Baiklah, baiklah. Jadi..." Ia melirik Arevig, yang belum sadarkan diri. "... kau panggil gadis ini apa?" "Oh, dia?" Hakizi menatap baik Rajeev maupun Younan, yang menanti responnya. Sekali lagi, ia hanya menjawab apa adanya, "Arevig Asdvadzadouryan, anak dari penjahit langganan saya." Sebelum Rajeev bisa mengomentari ketenangan Hakizi yang abnormal di situasi penuh tekanan itu, Younan menginterupsi, merasa gaya wawancara bawahannya terlalu bertele-tele. Dengan tegas, ia langsung menuju pertanyaan intinya, "Kita langsung ke intinya saja. Jadi, apa yang dilakukan seorang warga sipil tanpa urusan dengan Black Order di dalam markas?" Hakizi terdiam, melirik Arevig yang bahkan dalam tidurnya meringis kesakitan karena luka bakarnya. Ia kembali berhadapan muka dengan Section Leader Research cabangnya. "Suatu kejadian tragis menimpa dirinya, Ankara Effendi." "Kau tahu, kita ini bukan tempat penampungan sembarang orang." "Kepala Bagian, saya yakin Hakizi memiliki alasan yang kuat atas tindakannya," Rajeev menyela, tidak dapat menahan diri dari membela temannya. Bagaimana tidak? Selain dirinya, seharusnya Younan adalah orang pertama yang tahu bahwa Hakizi Mana bukan lelaki yang akan melakukan sembarang hal tanpa memikirkan markas. Lelaki asal Turki itu memberi Rajeev tatapan yang menunjukkan bahwa ia memahami hal ini, namun, 'bukan berarti ia akan mendapat toleransi lebih.' "Maafkan saya, saya tahu." Hakizi menundukkan kepalanya, menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh memohon maaf. Atasannya yang diperlakukan dengan hormat itu pun hampir cukup iba untuk berhenti menanya-nanyai lelaki Mesir itu, seandainya pengendalian dirinya kurang dari yang dimilikinya. Tepat waktu, Hakizi mengangkat kepalanya, menatap lurus Ankara Younan. "Saya bisa menjelaskan. Mohon dengarkan saya."
Usailah penjelasan panjang Hakizi mengenai hipotesanya berdasarkan skenario yang dijumpainya; bekas tembakan benda berbentuk silindris pada dinding, jasad Eskarne serta kedua anaknya yang menghilang, serta hal-hal lain yang mengarah ke keberadaan Akuma. Satu hal yang ditinggalkannya dari penjelasannya justru adalah yang utama; kondisi pelik Arevig saat ia menemukan gadis itu. Lelaki berwajah datar itu tahu bahwa itu adalah suatu potongan informasi vital, namun ada satu sisi dirinya yang mengatakan bahwa itu informasi pribadi milik gadis itu. Bukan haknya untuk mengumbarkannya. Younan, yang terlihat sedang berusaha memproses semua informasi ini, tidak mengucapkan sepatah katapun. Keheningan yang penuh kegugupan itu bertahan hingga akhirnya Section Leader itu menatap Rajeev, dan memberikannya perintah singkat, "Beri tahu bagian inteligensi tentang ini. Bisa jadi seekor Akuma sedang berkeliaran di Istanbul sekarang." Namun, di balik itu, dua pria lain di ruangan itu tahu maksud Ankara Younan apa; ia ingin mendiskusikan sisanya berdua dengan Hakizi saja. Rajeev tidak berniat menolak, dan setelah memohon diri, ia menuju bagian pengumpul informasi dengan gesit. Ada sedikit perasaan tidak mengenakkan di hati karena Hakizi memiliki firasat Akuma ini sudah tiada, namun ia tidak akan menggali kuburnya sendiri. Ia tersentak dengan ucapan Younan yang, sekali lagi, dilontarkan tiba-tiba. "Lantas, kau membawa gadis ini ke markas, karena...?" Hakizi tidak tahu cara mengatakan praduganya terhadap gadis ini tanpa membongkar penemuan rahasianya. Beberapa kali ia membuka mulutnya, namun tak sepatah kata pun keluar. Pada akhirnya, ia tidak harus memikirkannya lagi. Lelaki tua di hadapannya menghela napas melihat dirinya yang diam seribu bahasa. Ankara Younan tersenyum pasrah, sebelum bangkit dari tempat duduknya. Ia memberikan Hakizi tatapan penuh pengertian. "Aku paham. Kau merasa simpatik pada gadis ini, benar?" Simpatik? Hakizi tidak menjawab Younan, dan terus menatapnya datar. Ia memang menyelamatkan Arevig dengan prinsip bahwa nyawa seorang manusia harus dijaga, namun apakah ia membawa Arevig ke markas Afrika - Timur Tengah dengan dasar simpati? Ia sendiri mulai mempertanyakan alasan ia membawa perempuan muda ini ke Black Order jika tidak akan menyampaikan hipotesanya sepenuhnya. Apakah karena ia masih merasa perlu mengulurkan tangan pada Eskarne secara tidak langsung? 'Bukankah ini hanya masalah berada di tempat yang tepat pada saat yang tepat?' Saking larutnya dalam renungannya, ia telat menyadari bahwa Ankara Younan telah berjongkok di sisi tempat tidurnya. Luka bakar cukup parah yang menghias wajah gadis berbadan tinggi itu tidak luput dari pengamatan Ankara Younan, yang membelalakkan matanya untuk sesaat sebelum ketenangannya kembali. Hakizi menelan ludah dengan gugup, menanti sesuatu - apapun - untuk dilontarkan dari mulut Younan. Jantungnya berdetak dengan lebih kencang; Hakizi resah (ada suara dalam batinnya yang bertanya mengapa ia begitu resah, namun ia tidak mengacuhkannya). "Gadis ini, kau tahu sifatnya seperti apa?" Pertanyaan di luar dugaan. "Ia gemar bermain dengan anak lelaki seumurannya, Ankara Effendi," ujarnya pelan, memberikan hasil pengamatan dari pertemuan perdananya dengan Arevig. Merasa Younan mengharapkan deskripsi lebih, ia mengutip apa yang diucapkan sang almarhumah ibu. "Ia sering bermain di luar, tetapi ia selalu menyelesaikan pekerjaan rumahnya terlebih dahulu." Pria Turki itu mengusap janggutnya yang abu-abu mendengar testimoni ini. Ia terus meninjau penampilan gadis remaja di sisi Hakizi, seakan mengamatinya dari beberapa sudut sebelum bisa pasti dengan penilaiannya. Tampaknya ia tidak kecewa; justru, ia memberikan suatu senyum kecil pada lelaki muda di sebelahnya. Younan berdiri, dan dengan kedua lengan di belakang punggungnya, ia berkomentar, "Ia sepertinya cukup handal. Akan kuurus pendaftarannya ke section kita. Cukup?" Lawan bicaranya mengedipkan mata bergaris luar kohlnya beberapa kali, tidak tahu harus merespon bagaimana terhadap tindakan murah hati atasannya. Ia sendiri belum memikirkan sebenarnya apa yang hendak dilakukannya bagi gadis remaja ini, dan masih merenungkan alasannya membawa Arevig. "Lebih dari cukup, Effendi. Saya berterima kasih sepenuh hati." Ankara Younan yang hendak meninggalkan ruangan memutar kepalanya, menghadap lelaki Mesir itu. Ia hanya merespon dengan senyuman yang memperjelas kerutan sekitar matanya. "... Kepala Bagian," awal Hakizi, yang turut berdiri sebelum Younan pergi dari kamarnya. "Maaf, tadi saya mendengarkan pembicaraan Anda. Bukankah ada hal penting yang perlu dibicarakan dengan saya?" Younan tidak langsung menjawab, namun begitu ia membuka mulutnya, suatu tawaan yang terdengar kesat menggelegar. Hakizi merasa sama terkejutnya dengan lelaki yang menunggu di luar kamarnya, mengingat tertawa bukan sesuatu yang sering dilakukan oleh lelaki dengan etos kerja tinggi itu. Younan mengibaskan tangannya, sebelum berjalan mendekati pintu. Tangan kanannya memutar gagang pintu. "Rajeev, kau tidak harus menunggu di luar. Masuklah." Glek. Pintu dibuka lebar oleh Ankara, yang berhadapan dengan Rajeev yang memajang senyum yang seakan berujar bahwa amat tidak sopan jika ia masuk dan mengintrusi pembicaraan. Begitu matanya bertemu dengan milik Hakizi, senyum ini menjelma menjadi cengiran usil. Hakizi hanya mengangkat alisnya, tidak mengerti maksud dari tindakan Rajeev, yang memberi jalan pada atasan mereka berdua. Lelaki tua itu diam di tempat begitu mengeluari ruangan. Ia terbatuk, sebelum mengucapkan tanpa berbalik, "Hal itu tidak terlalu penting, kita bicarakan saja setelah kau selesai menangani gadis itu. Bawa dia ke infirmari; Rajeev bisa membantumu." "Ehhh, untuk itu, saya tidak perlu disuruh, kok, Kepala Bagian," kicau Rajeev pada sosok Section Leader yang telah meninggalkan asrama untuk menuju kamar pribadinya sendiri. Untuk beberapa saat, pria yang hanya beberapa tahun di bawah Hakizi itu mengawasi Ankara Younan hingga yang bersangkutan berbelok ke koridor lain. Baiklah, jaraknya sudah aman. Ia berbalik, dengan niat mendapatkan penjelasan eksklusif mengenai pengalaman baru rekan kerjanya. Namun, niatan Rajeev, yang sudah membuka mulutnya, tertahan begitu melihat Hakizi termenung. Tatapan kosongnya membuat dirinya seakan terfokus pada suatu objek yang tidak berada di depan mata. Mata berhiaskan kohlnya pun tidak mengedip selama beberapa saat. Lelaki India itu hanya bisa menggaruk kepala jika sahabatnya sudah mulai seperti ini. 'Berpikir keras, seperti biasa...' Senyum pasrah terpampang di wajahnya. Rajeev, yang menunda rencana membombardir temannya dengan banyak pertanyaan, berjalan mendekati ranjang di mana objek pembicaraan utama terbaring. Berjongkok, ia menyelipkan tangannya ke belakang lutut dan punggung gadis muda itu, menyiapkan posisi untuk mengangkut gadis itu ke tujuan. Ia menggunakan sikunya untuk menyenggol Hakizi yang dekat dengannya. "Oi, Hakizi!" Bagus, akhirnya staf yang lebih tua itu sadar dari renungannya. Melihat posisi Rajeev yang sudah siap sebelum dirinya, dengan terburu-buru, lelaki Mesir itu mempersiapkan diri untuk menopang bagian atas tubuh Arevig. Kini sama siapnya, ia menatap Rajeev, yang memberikan tanda bahwa ia hendak memulai aba-abanya. Hakizi tidak mengucapkan apapun, menunggu instruksi dari rekan kerjanya. "Siap-siap ya. Satu, dua, tiga!" Bersamaan, mereka mengangkat gadis itu dari ranjang, dan dengan langkah tersinkronisasi, berjalan ke koridor luar kamar. Rajeevlah yang memimpin di depan, menghadap arah berlawanan dengan gadis yang diangkutnya. Hakizi yang mengikuti di belakang tidak mengucapkan apapun untuk beberapa menit, mengikuti pimpinan temannya dengan patuh. Akhirnya, seraya mereka mencapai percabangan koridor, pria Mesir ini mengkonfirmasikan, "Ke infirmari?" Temannya tidak langsung menjawab. Rajeev memberikan senyuman yang cukup jelas artinya bagi Hakizi; ada banyak yang ingin ditanyakan lelaki India itu."Ke infirmari," balas lelaki berantakan itu, dengan nada santai seperti biasa, walau terlihat dari cengirannya bahwa ia tidak sabar untuk mencapai tempat tujuan itu. Ada banyak... sangat banyak hal yang ingin ditanyakannya pada lelaki pendiam yang bersamanya. "Ayo, Hakiziiii, percepat langkahmu!" "Aihh..."
Last edited by Chief Supervisor on 26th August 2009, 22:17; edited 2 times in total | |
| | | Líadan Ní Súilleabháin
Posts : 145 Pemilik : Agito Poin RP : 20
Biodata Posisi: Disciple Cabang: Eropa Umur: 19
| Subject: Re: [IN-PROGRESS] Imbroglio 26th August 2009, 21:28 | |
| kasian haziki, pasti awalnya dikira pedo *dibunuh* tapi belakang2nya juga kasian, diperlakukan kayak pembantu... *dihajar* ah, saya curiga Giraile ga dibawa ke infirmari... lalalalala~ | |
| | | Chief Supervisor Admin
Posts : 418
| Subject: Re: [IN-PROGRESS] Imbroglio 26th August 2009, 21:53 | |
| - Quote :
- kasian haziki, pasti awalnya dikira pedo
Minimal karena Giraile boros umur tampangnya nggak disangka pedo-pedo amat... coba kalau sudah tahu umur sebenarnya cuma berapa Yaa, dia tipe yang menurut saja sih kalau disuruh orang... - Quote :
- ah, saya curiga Giraile ga dibawa ke infirmari... lalalalala~
Dibawa ke mana ini? | |
| | | Shreizag E. Halverson Vatican Central
Posts : 580 Umur : 32 Pemilik : S.E.H. Poin RP : 20
Biodata Posisi: General Cabang: Eropa Umur: 29
| Subject: Re: [IN-PROGRESS] Imbroglio 26th August 2009, 22:21 | |
| Yang ini lebih asik karena lebih banyak dialognya~ :9 Personalitynya Rajeev juga tergambar dengan baik Endingnya itu membuat pembaca jadi ingin tahu apakah Rajeev benar-benar akan membawa Giraile ke infirmari atau tidak... Bagus! Yang saya sayangkan, kenapa lagi-lagi dipotong pas penasaran sama lanjutannya?? *dikeplak* | |
| | | Sponsored content
| Subject: Re: [IN-PROGRESS] Imbroglio | |
| |
| | | | [IN-PROGRESS] Imbroglio | |
|
Similar topics | |
|
| Permissions in this forum: | You cannot reply to topics in this forum
| |
| |
|
|