Time | Selamat datang di Black Order Headquarters! Waktu dunia Black Order HQ saat ini adalah: Februari 1880 |
|
| [AU] [IN-PROGRESS] B.O.M.T. | |
|
+5Roman Sintsov A. Růžena Mlynarikova Hou Mian Xu Shreizag E. Halverson Giraile Arevig A. 9 posters | Author | Message |
---|
Giraile Arevig A. Vatican Central
Posts : 258 Pemilik : Chief Poin RP : 100
Biodata Posisi: General Cabang: Eropa Umur: 28
| Subject: [AU] [IN-PROGRESS] B.O.M.T. 12th October 2009, 19:07 | |
| Cerita gila yang didasarkan dari komik Team Medical Dragon, karya Nogizaka Tarou dengan konsep dari Nagai Akira. Silakan menerka siapa yang mengambil peran apa dalam cerita ini. Tentu beberapa bagian diubah agar sesuai dengan tabiat karakter dari Black Order, tetapi sebisa mungkin akan dibuat sejalan dengan komik berlimpahan adegan bedah dan fanservice itu. Bab 1 menampilkan: Shreizag Halverson, Krikor Radoslav, Bogomila Radoslava, Giraile Asdvadzadour, Orion Leifson Maaf pada Orion karena saya nggak sempat meminta izin pemakaian, mohon dimaklumi... Untuk ke depannya, akan muncul cameo dari karakter-karakter Black Order lain, disesuaikan dengan cerita, jadi tenang saja~
Tiga tahun yang lalu, situs pengungsian di suatu negara dalam benua Afrika. Ingatan itu masih tertinggal jernih dalam pikiran. Di situlah ia bertemu dengan nyaBlack Order Medical Team: Case 1Rising of the Sun"Turuti saja perintahku," ujarnya dengan datar, namun mantap. Sejujurnya, ia tidak suka bertindak memaksa seperti itu, tetapi situasi mendesaknya. Mata biru mudanya menatap tajam perawat volunter itu. Sepasang mata itu menyipit melihat staf-staf yang tetap bergeming; apakah pendengaran mereka, atau otak mereka yang berjalan pelan? Lelaki itu berambut putih itu merasakan keringat mengucur, dan bukan hanya karena udara dalam tenda pengungsian yang pengap dan panas. Frustasi. Ia tidak mengerti alasan di balik penolakan tiap asistennya dalam menghadapi keputusannya untuk mengambil data analisis ulang untuk kadar gas dalam darah arteri. Pria berkacamata yang membantunya menangani pasien dadakan itu menelan ludah, tangannya yang memegang jarum suntik sedikit bergemetar begitu merasakan tekanan dari dokter yang berkuasa. Dari balik penutup mulutnya, Krikor Radoslav, sang perawat, hanya bisa bergumam gugup, "T-Tetapi... tekanan darahnya sudah sedemikian rendah... K-Kita tidak bisa menunggu lagi..." Walau agak ragu, ia pun membulatkan niatnya, dan menyuntikkan isi perangkat medis itu ke dalam pipa yang tersambung pada pasien. Seandainya pria berambut putih itu tidak ahli mengendalikan emosinya, mungkin ia telah membanting meja. Berani-beraninya ia melanggar perintah seorang dokter! Matanya menyipit, dan ia pun menyindir dengan ketus--sesuatu yang lebih cocok dengan tabiatnya ketimbang membentak, "Kau hanya seorang perawat rendahan, pekerja volunter. Apa yang kau tahu tentang ini melebihi diriku?" Hening sesaat. Ia pun menantang staf di dalam tenda itu untuk melawannya. Dari pinggir matanya, ia melihat wanita pengawas kerja tendanya memberinya tatapan yang tak pernah ia lihat sebelumnya, namun yang bersangkutan tidak berujar sepatah katapun. Dalam waktu singkat, para perawat telah kembali pada pekerjaannya, meninggalkan dirinya yang semestinya memimpin operasi. Ia diabaikan. Jujur saja, dokter asal Norwegia itu geram, namun ia menahan diri. Operasi berakhir, dan korban emergensi selamat dari nasib naas yang nyaris menjemputnya. Terdengar derapan langkah pelan di atas permukaan tanah gersang; asalnya adalah wanita Bulgaria yang menghampiri pria bersangkutan, yang menduduki kotak suplai peralatan dengan penuh rasa gusar. Pria berambut putih itu menoleh pada wanita bermata abu-abu itu, pengawas pekerjaannya. "Ada apa, Nona Radoslava?" tanyanya, menantang Bogomila Radoslava untuk menjawab. "Kau pikir caraku salah tadi?" Wanita yang berpengalaman di kemah pengungsian lembaga non-pemerintahan itu menghela napas, tidak spontan memberi jawaban. Pada akhirnya, "Kau tidak akan bertahan di sini dengan cara itu. Jika kau terus meminta dijalankannya analisis yang tidak diperlukan, kau akan terlambat membuat keputusan." Sebelum ia bisa meneruskan, lawan bicaranya tak dapat menahan diri untuk membantah, "Saat aku belajar di--" "Di sini berbeda," Bogomila turut menginterupsi dengan tegas. Ia pun kembali memberikan tatapan keibuan pada dokter muda di hadapannya, Shreizag Halverson. "Nak, suplai listrik kita di sini sedikit. Menjalankan tes ini tentu membuang-buangnya untuk hal yang tidak penting. Kau harus lebih mempercayai stafmu juga, mereka bukan budakmu. Kita kekurangan banyak hal, tetapi semua itu ditambal dengan kemampuan individual yang dipadu dengan baik." Shreizag tidak dapat berkata; ia tidak pernah mempelajari hal macam itu saat menekuni ilmu kedokteran di pusat medis universitas. Namun, ia juga tidak bisa menganggap yang dikatakan Bogomila salah. Hanya dalam waktu sesaat, mata abu sang pengawas kerja berbinar, menemukan suatu ilham. Dengan wajah girang, Bogomila mengumumkan, "Halverson! Kau tahu, tim medis terbaik kita ada di... tenda itu! Bagaimana jika kau menengok cara kerja mereka untuk sesaat? Kau bisa mendapatkan pengalaman dengan melihat level kerja mereka yang terbaik." Dengan gesit, pria Norwegia itu pun berlari menuju tenda yang ditunjuk oleh wanita berbandana merah itu. Sepanjang jalan, ia tak bisa berhenti bertanya-tanya; seperti apakah tim terbaik yang ada di LSM itu? Sehebat apa mereka? Saking hebatnya mereka, kita memberi mereka julukan, sesuai kehendak dokter yang beroperasi... Orde Hitam! Sehebat apakah? Dengan napas terengah-engah, ia mengintip dari celah layar yang menjadi 'pintu' tenda, melihat cara kerja tim itu. Betapa terkejutnya ia begitu melihat dokter yang memimpin operasi; seorang dokter wanita tanpa-nama yang menekuni bidang kedokteran di negara yang sama dengannya. Dan cara memimpinnya--spektakuler. Inilah yang kurang dari cara kerja pusat medis universitasnya; inilah yang ia cari-cari. Dan kini, wanita itu menghuni rumah terpencil di kota yang sama tanpa-namanya. Mobil Porsche-nya menikung tajam dengan suara kciiiit, sebelum akhirnya menetapkan tempat parkir sembarang di atas tanah kosong itu. Di tempat seterpencil ini, ia rasa dirinya sekalipun tidak perlu memarkirkan mobil dengan telaten seperti biasa. Terbatuk oleh debu yang dihasilkan tindakannya tadi, Shreizag yang telah mengeluari mobil berjalan dengan tegap ke arah satu-satunya rumah yang ada dalam jarak puluhan kilometer, rumah yang ditujunya. Ia mengetuk pintu lusuh itu dengan pelan. Mengevaluasi tempat tinggal dalam keadaan menyedihkan itu, ia bahkan tidak yakin tempat ini bisa dianggap rumah--kata 'gubuk' terlintas dalam benaknya. Saking larutnya ia dalam pemikirannya, ia pun terpental oleh pintu yang terbuka tiba-tiba, kaca mata yang dikenakannya agar ia berpenampilan lebih profesional terjatuh, dan-- krek--lensanya diretakkan tangannya sendiri, yang menjadi tumpuannya sebelum ia tersungkur di tanah. "Haaa? Jadi suara berisik tadi dari Porsche-mu itu ya?" Shreizag tidak tahu harus berkomentar apa mengenai penampilan wanita berbadan tinggi yang membukakan pintu 'gubuk' itu. Jari kelingking satu tangannya berputar dalam salah satu telinga, berburu kotoran untuk dikeluarkan. Di belakang badan tegap wanita itu (yang kini menggaruk punggungnya dengan sangat tidak kewanitaan), terlihat figur seorang lelaki muda memasuki ruangan lain dari rumah itu. Boleh dibilang, Shreizag tidak terkesan oleh impresi yang diberikan sosok di hadapannya, namun ia tetap harus terlihat profesional. Ia berdiri dengan tegap, menjaga ekspresi tenangnya. "Kau... Giraile Asdvadzadour?" "Ha? Ya, memang kenapa?!" Ugh, gahar. "... Saya... asisten profesor di departemen pembedahan kardiotoraks Pusat Medis Universitas Katolik Sentra-Vatikan, Shreizag Halverson." Tenang... itulah satu kata yang diulanginya dalam hati. Saya berada di sini untuk--" Ia terhenti sesaat, melihat perilaku wanita bermata amber itu (yaitu mendekatkan wajahnya pada Shreizag dan menggoyangkan hidungnya, layaknya hyena yang mengendus calon santapan), sebelum melanjutkan, "--me-mempekerjakan Anda."
Kini, ia berada di dalam rumah kecil itu. Lelaki berkacamata yang dilihatnya sepintas tadi menyuguhkan minuman mahal yang tak cocok dengan kondisi rumah--brandi impor bermerek Viceroy, yang barangkali hanya memenuhi seperlima gelas cembungnya, untuknya dan wanita itu--layaknya seorang pelayan profesional. Pria muda itu, Orion, membungkuk, mengutarakan pendapatnya pada wanita yang tinggal bersamanya, "Nona Giraile," awalnya, dengan tatapan datar, "saya rasa Anda sebaiknya menerima tawaran itu." "Bahhh! Jangan berlagak sebagai pelayan pribadiku! Pergi sana!" Shreizag memperbaiki posisi duduknya pada kursi reyot itu. Ia telah menyampaikan permohonannya secara singkat pada wanita asal Armenia itu, namun yang bersangkutan belum menyampaikan pendapatnya. Seakan lebih tertarik pada alkohol di hadapannya ketimbang prospek kerja yang ditawarkan Shreizag, Giraile memutar-mutar isi gelasnya, mengamatinya selayaknya objek eksperimen. Pria Norwegia itu menahan diri dari menghela napas, mulai meragukan kesamaan identitas wanita tanpa sopan santun ini dengan dokter yang dilihatnya dulu. "Ah, jadi kau ya yang meninggalkan kartu nama itu. Aku tidak menduga seorang asisten profesor akan semuda ini... umur kita tidak begitu jauh, kan?" Mereka hanya terpisah jarak satu tahun, walau keduanya belum mengetahui hal ini. Giraile memberikan senyuman yang hanya dapat dideskripsikan dengan kata 'picik' pada lawan bicaranya, sebelum mengonsumsi satu teguk Viceroy. Di dapur, Orion tidak menghasilkan suara sedikitpun. Shreizag Halverson mendeham. "Kau bergabung dengan LSM Unasra--Universitas Nasional Utara, empat tahun yang lalu, benar? Dan setengah tahun yang lalu, LSM dituntut meninggalkan lokasi. Melawan perintah profesor yang berkuasa, kau tetap berada di sana. "Tentu, begitu kau menginjak kaki di negeri ini, kau dipecat... dan karena pengaruh sang profesor, kau tidak bisa menemukan pekerjaan di rumah sakit manapun, benar?" Dengan wajah datar, Shreizag meneguk sebagian isi gelasnya, walau ia tidak begitu fanatik terhadap alkohol. Likuid kekuningan itu terasa panas di lidahnya, dan kerongkongannya begitu ia meneguk. "Yang kutawarkan padamu... tidak buruk, kan?" Tatapan esnya menatap lurus wanita itu, yang beralih menggaruk bagian, maaf, bagian bawah lengannya tanpa rasa peduli akan pandangan lawan bicaranya. "Hoaahhh... Aku tidak suka dengan pusat medis universitas, kau tahu? Semua orang hanya menjura pada penguasa setempat, sang profesor--" Wajar, karena atas kuasa profesorlah Giraile Asdvadzadour kini telantar tanpa pekerjaan. "--awalnya, kupikir lebih keren jika aku menjadi dokter yang berkelana, tanpa ikatan pada apapun... Sebagai asisten profesor, mungkin kau tidak mengerti--" "Tidak," interupsi Shrei, "kau benar. Pusat medis universitas memang sebagian besar busuk. Profesorlah yang menentukan segalanya; preskripsi obat, prosedur yang harus dijalankan untuk menangani pasien... mereka yang bisa menjilat pada yang di atas yang menaiki strata, bukan mereka yang berkemampuan... seperti dalam sosietas feudal jaman dahulu kala, dipimpin oleh tuan tanah yang tak kompeten." Mata Giraile membelalak. Respon yang wajar; tentu, di matanya, asisten profesor termasuk dalam kalangan penjilat itu. Shreizag pun hendak meneruskan monolognya. "Akan tetapi... "Saya berharap mengambil alih posisi 'tuan tanah' ini, demi membawa perubahan pada pusat medis UKSV--Sentra-Vatikan." Shreizag tak mampu menginterpretasikan ekspresi baru yang terpampang pada wajah Giraile. Takjub? Menganggapnya gila? Hanya dalam sesaat, ekspresi itu sudah digantikan seringai lebar dari sang wanita, dan dalam saat yang sama singkatnya, seringai itu digantikan dengan ekspresi merendahkan, dan, "BWAHAHAHAHAHA!!!" Puas tertawa, ia kembali memandang Shreizag, tetap dengan ekspresi merendahkan yang membuat pria itu geram. "Hei, itu rencana yang sangat besar untuk seorang asisten profesor semudamu. Kau pikir mereka akan memilih calon yang meragukan begitu saja, hah? Nih, plaster untuk telapak tanganmu!" Shreizag menyipitkan mata; wanita ini jelas-jelas memandang rendah dirinya. Ya, Giraile Asdvadzadour salah, jika demikian. Tunggu--tangannya? Ia hampir menjatuhkan gelasnya, begitu menemukan diagnosa Giraile pada tangan yang memegangnya benar. Itukah yang diamatinya dari permukaan gelas brandinya tadi? Wanita itu hanya memamerkan senyum angkuh melihat responnya. Dengan tajam, ia berusaha mengembalikan pembicaraan ke topik asal, "Ini bukan saatnya bercanda. Seriuslah, Nona Asdvadzadour." Ia kembali meneguk minuman yang tak begitu disukainya itu, berusaha menghilangkan rasa frustasinya. "Saya tahu bahwa, bagi saya, menjadi profesor tak akan mudah. Justru karena itu," ia kembali menatap tajam Giraile, "saya membutuhkan bantuanmu. Di situs pengungsian itu, saya melihat cara kerja tim Anda... apa namanya? Ah, Orde Hitam itu. "... Jujur saja, saya amat terkesan. Kalian menghadapi seorang korban ledakan; banyak kawat besi tertanam pada tubuhnya. Paling tidak, membutuhkan waktu satu jam untuk mengeluarkan semuanya... seharusnya. Banyak pasien mati di tengah operasi karena sulitnya prosedur ini. Untuk mengujimu, saya menghitung waktu yang digunakan tim Orde Hitam. Saat itulah, presisi dalam tekanan yang diberikan pada pisau bedah, kecepatan pembedahan--semua itu membuat saya takjub. Efisiensi kerja Orde Hitam pun tidak diragukan. Operasi selesai... dan hanya dalam dua satu menit, tiga puluh detik." Wanita yang biasanya tak sungkan menginterupsi perkataannya itu terdiam, mengikuti tiap kata-katanya. Apakah karena dirinya tengah dipuji? Entahlah, Shreizag tidak mempermasalahkan. "Kau tahu? Salah satu senjata utama seorang dokter bedah adalah kecepatannya. Tentu, kecepatan tanpa presisi dan ketepatan tidak ada artinya... Namun, jika memiliki keduanya..." Walau pria berambut putih itu tidak ingin mengakuinya, melihat tabiat menyebalkan wanita itu, ia benar-benar membutuhkannya. "Pada saat ini, saya sedang menyusun sebuah tesis yang sangat penting, sebagai senjata untuk pemilihan profesor baru kelak." Ia meletakkan gelasnya di atas meja. "Untuk mendapatkan data dari operasi yang sukses, aku membutuhkan bantuan seorang prodigi pembedahan; dirimu, Giraile Asdvadzadour." Hening sesaat. Wanita itu tidak merespon dengan tawaan terbahak-bahak lagi, namun ia memulai dengan meneguk brandinya hingga habis. "Prodigi pembedahan? Itu berlebihan, Tuan Asisten. Lagipula, Orde Hitam sudah tiada sekarang. Kerjakan tesismu sendiri." "Itu tidak memungkinkan," jawabnya dengan datar, "karena... saya jujur saja; jika saya menjalankannya sendiri, dan gagal, kegagalan itu akan memblokir jalan yang saya tempuh untuk menjadi profesor. Tetapi, jika orang luar seperti dirimu yang gagal melakukannya, tidak ada seorangpun yang perlu bertanggungjawab." Giraile mendengus. "Ha! Picik juga dirimu; pantas kau bisa menjadi profesor pada umur semuda ini." Tampaknya, tidak semudah itu membujuk wanita ini. Shreizag menghela napas, sebelum menggumamkan, "... Kau tidak tertarik dengan operasi batista?" Mata Giraile membelalak dalam seketika; respon yang bagus. Tampaknya topik tesisnya bukan sesuatu yang diduga wanita Armenia ini. Lelaki itu tak sungkan meneruskan penjelasannya, "Suatu cara memperkecil ukuran bilik jantung dengan memotong sebagian organ itu secara langsung... Salah satu prosedur operasi tersulit, batista itu... Tesis saya akan meliput berbagai macam metode prosedur ini, untuk menentukan metode yang terbaik dari semua." Wanita itu tidak bersua. Apakah ia masih mengikuti penjelasannya? "Belum ada satupun dokter di negara ini yang berhasil melakukannya; keberhasilan dalam menjalankan prosedur ini bisa dianggap puncak kemampuan pembedahan jantung. Bukankah ini tantangan yang paling menarik dari semua?" "... Aku tidak tertarik." "... Apa?" "Aku tidak peduli tentang niatmu menjadi profesor. Ugh, badanku gatal. Harus mandi--" "Tunggu!" Ia pun melakukan salah satu tindakan terekstrem bagi dirinya, bangkit dari kursinya dan menggebrak meja. "Saya akan memberikanmu kebebasan penuh dalam menentukan anggota tim! Pertimbangkanlah--" "Aku tidak tertarik~" "Kau melarikan diri?" Ia pun berlari, mengejar sosok wanita yang memunggunginya--bukankah ia hendak mandi, mengapa ia menuju dapur? "Tidak, tidak dengan kemampuan sehebat itu. Mustahil jika kau--" Tampaknya, Giraile dan dirinya sama terkejutnya melihat pemandangan yang ada di dapur. Ketimbang menyediakan apapun yang bersifat kuliner, yang telah 'dihidangkan' oleh Orion Leifson adalah peralatan kedokteran, mengingatkan wanita itu akan masa kerjanya di tenda pengungsian, dan sebelumnya, ketika ia bekerja bersama mantan perawat muda itu di Universitas Utara. Melihat wanita asal Armenia itu memasuki dapur bersama pemohon kerja samanya, lelaki berkacamata itu bersujud. "Orion..." "Saya mohon, Nona Giraile," ujarnya, tetap dalam posisi penuh hormat itu, "ambillah tawarannya. Jika tidak demi Tuan Halverson, atau demi saya... minimal untuk diri Anda sendiri. Saya juga tidak bisa membiarkan kemampuan Anda terbuang sia-sia lagi. "... Ijinkanlah saya bekerja dengan Anda lagi." Shreizag memberikan tatapan heran pada wanita di sebelahnya. Wanita itu tersenyum kecut, memberikan tawaan pelan yang berkesan sedih. Tampaknya, ia lebih melunak di hadapan lelaki yang telah mendampingi kerjanya selama bertahun-tahun itu. Perlahan, mulutnya membuka, hendak memberi jawaban pada Shreizag, "Dia... walau dia memiliki fetish terhadap berlagak a la pelayan seperti ini... aku sudah mengenal kemampuannya sejak di Universitas Utara dulu. "Sebagai perawat, ia yang terbaik." Begitukah? Shreizag samar-samar mengingat wajah lelaki muda itu sebagai bagian dari Orde Hitam, tetapi ia tidak mengenalnya. Wanita itu berbalik, menghadapnya dengan senyuman asimetris itu. "Baiklah. Orion menang, aku akan mengambil tawaranmu. Tetapi, anggota pertama tim baruku adalah, camkan ini, dia, Orion Leifson. Paham?" "Ah! Jadi, kau menerima--" "Pastikan dulu hal ini; kau memberikanku kekuasaan penuh akan penentuan anggota, kan?"
Satu bulan berlalu. Melihat sosok yang dikenalnya, wanita itu menyahut pada pengendara di bangku depan, "Ya! Berhenti di sini!" Dengan langkah mantap, ia mengeluari mobil itu. Anggota baru pusat medis itu memberikan senyuman angkuh pada sosok yang dikenalnya, pria Norwegia berambut putih bernama Shreizag Halverson. Yang bersangkutan meresponnya dengan senyuman kecil, mengarahkan kepalanya ke atas untuk sesaat, menunjukkan papan nama tempat kerja baru wanita yang datang dengan gaya rambut baru; rambut panjangnya yang terurai pada pertemuan di 'gubuk' kecil itu kini terbalut rapi oleh suatu kain putih panjang, poni panjang menutupi sisi kanan wajahnya. Saatnya memberi sapaan. "Selamat datang di Pusat Medis UKSV... Dokter Asdvadzadour." Wanita itu tetap tersenyum angkuh. "Jangan kira aku ke sini untuk membantumu menjadi profesor, ya. Aku hanya ingin menciptakan tim baru, kok. Tim sefenomenal Orde Hitam. Mengerti?" "Terserahmu. Sa--Aku akan membantumu sebisa mungkin. Mungkin ini akan menjadi simbiosis mutualisme bagi kita berdua." Mendengar baris terakhir, wanita itu mendenguskan tawanya. "Ha! Kau akan menyesal, Tuan Asisten." Ia pun mereganggkan punggung dan lengannya ke belakang, tanpa perhatian pada sekitarnya, sebagaimana tabiatnya. "..." Dalam hati, Shreizag mulai meragukan keputusannya untuk melibatkan wanita yang satu ini. Jika ia tidak menggunakannya, tentu kemenangan dalam pemilihan mendatang akan menjadi mimpi belaka, tetapi... 'Apakah aku bisa menangani wanita ini?'Ah, sudahlah. Ia berbalik menghadap pintu masuk, menoleh ke belakang hanya untuk meminta wanita itu mengikutinya. "... Mari."
Last edited by Giraile Arevig A. on 12th October 2009, 23:25; edited 3 times in total | |
| | | Shreizag E. Halverson Vatican Central
Posts : 580 Umur : 32 Pemilik : S.E.H. Poin RP : 20
Biodata Posisi: General Cabang: Eropa Umur: 29
| Subject: Re: [AU] [IN-PROGRESS] B.O.M.T. 12th October 2009, 19:30 | |
| ... LOL. Oke, itu impresi pertama waktu saya dengar dikau benar-benar mau membuat fic ini. Impresi kedua: Keren! Bahkan Chip lebih FK daripada saya yang anak FK ini! Penulisan dan segala macamnya udah oke Paling ada sedikit typo saja. Lalu, saya menemukan ini di beberapa bagian: - Quote :
- [...] Shreizag yang telah mengeluari mobil berjalan dengan tegap ke arah satu-satunya rumah yang ada dalam jarak puluhan kilometer [...]
- Quote :
- Dengan langkah mantap, ia mengeluari mobil itu dengan langkah mantap.
Kok 'mengeluari'? Rasanya itu tidak tepat. Lalu, ada pengulangan kata 'mantap' di quote ke-2 Hmm, itu dulu deh, ditunggu lanjutannya~ *balik bales Mak Nyuss* | |
| | | Hou Mian Xu
Posts : 3
Biodata Posisi: Exorcist Cabang: Asia Umur: 15
| Subject: Re: [AU] [IN-PROGRESS] B.O.M.T. 12th October 2009, 19:34 | |
| hmm, keren, tuh, Jendral Shreizag dibikin hilang kesabaran. Saya sendiri ngga pernah baca Team Medical Dragon, dan saya nantikan kelanjutannya (menantikan anggota tim berikutnya dan saingan Shreizag nanti)
thumbs up! | |
| | | Giraile Arevig A. Vatican Central
Posts : 258 Pemilik : Chief Poin RP : 100
Biodata Posisi: General Cabang: Eropa Umur: 28
| Subject: Re: [AU] [IN-PROGRESS] B.O.M.T. 12th October 2009, 19:39 | |
| @ Shrei: Yang dobel itu karena Akirei memang mantapz sudah diperbaiki. Hmm, nanti deh diganti kalau sudah menemukan alternatif untuk 'mengeluari' Jangan begitu, justru dikau yang anak FK harus memberi koreksi lah... Tunggu kelanjutannya. Bab awal ini kurang lebih 'sama' dengan bab pertama TMD, tetapi untuk ke depannya tentu beberapa bab di manga akan dirangkum menjadi satu bab dalam cerita ini... Hohoho~ Saya sudah menentukan beberapa karakter untuk mengisi peran (salah satunya, Lorelei D. Poisson, oho). @ Hou: Anggota tim akan mulai dikumpulkan di chapter mendatang~ Terima kasih sudah membaca, semoga cerita yang ini akan berjalan lancar dan tidak ngadat seperti cerbung lain saya... m(_ _)m | |
| | | Hou Mian Xu
Posts : 3
Biodata Posisi: Exorcist Cabang: Asia Umur: 15
| Subject: Re: [AU] [IN-PROGRESS] B.O.M.T. 12th October 2009, 19:46 | |
| @Giraile wah, ada cerbung yang lain, toh? Otw coba baca | |
| | | A. Růžena Mlynarikova
Posts : 120 Poin RP : 20
Biodata Posisi: Disciple Cabang: Eropa Umur: 20
| Subject: Re: [AU] [IN-PROGRESS] B.O.M.T. 12th October 2009, 20:50 | |
| Hoo..
belum bisa komentar banyak selain bagus seperti biasa karena.. Hei singkat sekalii D8 *protes*
yah ditunggu kelanjutannya yg pasti~
ditunggu Loreleinya =p~ | |
| | | Giraile Arevig A. Vatican Central
Posts : 258 Pemilik : Chief Poin RP : 100
Biodata Posisi: General Cabang: Eropa Umur: 28
| Subject: Re: [AU] [IN-PROGRESS] B.O.M.T. 12th October 2009, 22:38 | |
| Dua bab dalam satu hari... Whew. Kredit ide masih ke Team Medical Dragon, dan juga kredit karakter yang nongol: Shreizag Halverson, Giraile Asdvadzadour, Abisak Avedisian, Aurelio Hehanussa, Oswald Channing dan Lilith Odilia van Ersteed... baru itu yang saya ingat. Akhirnya saya ingat Oswald. Kok bisa ya, ingat Lilith tapi lupa Oswald?
"Hei." "Wahh, aku bahkan mendapatkan kartu ID! Hmm, Giraile Asdvadzadour - Pembedahan Kardiotoraks. Lumayan..." "Hei, Asdvadzadour," ujarnya, dengan suara yang jauh lebih tegas. "Mohon jaga sikapmu dalam departemen ini. Ingat; kau bertanggung jawab atas kasus studi tesisku." Shreizag rasa ia tidak menyukai seringai yang tampil pada wajah wanita itu. Tanpa keraguan sedikitpun, wanita itu bercerocos, "Hmm, bagaimana ya? Aku tidak peduli!" Ia mengalungkan tanda pengenalnya sebagai bagian dari departemen pembedahan kardiotoraks, sebelum merapikan jaslab baru yang dikenakannya. "Aku berada di sini untuk menangani pasien, bukan... apa kau bilang? Ah, ya, studi kasus. Jangan berpikir yang aneh-aneh." 'Wanita ini...' Shreizag menggertakkan gigi. Ah, sudahlah. "Ya... mari kita menemui Profesor terlebih dahulu. Aku akan memperkenalkanmu pada beliau. Sekali lagi, sikapmu..." Tidak ada respon. Aneh; dari yang ia ketahui tentang wanita itu, semestinya ia sudah melontarkan kalimat yang menunjukkan rasa keberatannya dengan sinis. Lelaki itu menoleh ke belakang. "... Asdvadzadour?" Black Order Medical Team: Case 2Patient to Die"Ayolah, ikut acara main golf ini. Tidak ada salahnya juga, tho." 'Ada, buat apa aku membuang waktu libur hanya untuk bermain golf dengan petinggi perusahaan obat?' Pria yang menggenggam erat pegangan pelnya memberikan senyum sopan sebisanya. "Ah, sebaiknya tidak, saya tidak pintar bermain golf..." "Ini bukan masalah golf, tahu, ini masalah bergaul dengan pejabat! Bisnis! Ah, kamu ini payah..." Lelaki berambut cepak itu menahan diri dari meringis mendengar ucapan dokter yang bertugas mendidik dirinya, seorang dokter yang memulai masa magang sejak beberapa bulan yang lalu. Walau ia berbalut jaslab selayaknya dokter, pekerjaan yang diberikan padanya seperti menyapu dan membelikan makanan khas Indonesia membuatnya terkesan seperti pelayan pribadi Aurelio. Jika terus begini... 'Satu-satunya hal yang bisa kau ajarkan padaku, Dokter Hehanussa, hanya cara menjilat dasar sepatu atasan!'Ia menyipitkan mata hazelnya, mengamati sosok Aurelio yang memijat-mijat pundaknya sendiri. Dokter magang itu, Abisak Avedisian, harus menahan diri (lagi), kali ini dari mendengus terhadap pemandangan konyol di hadapannya. 'Lihat, saking seringnya kau bermain golf, lenganmu mulai menunjukkan gejala tenosinovitis...' Yang menjadi masalah, lengan itulah yang akan membelah daging pasien pembedahan. Hanya dengan mengamati, Abisak sudah bisa menduga cara dokter yang lebih 'veteran' itu memanjat ke atas; menjilat, dengan perkumpulan bisnis macam golf itu. "Sudahlah, teruskan pekerjaanmu, sana. Jangan lupa belikan aku makanan yang biasanya..." Abisak mengangguk pelan, memamerkan senyum terpaksa. Dengan otak seperti itu, kemungkinan besar Aurelio tidak akan bisa membedakan satu tipe senyum dengan senyum lainnya; ia bahkan tidak bisa membedakan tugas dokter magang dengan pesuruh, kan? Pria bermata hazel itu menggenggam erat tongkat pelnya; sudah berapa bulan ia bekerja di sini, dan sudah berapa lama ia tidak bersentuhan dengan pisau bedah? Pada taraf ini, ia akan melupakan semua yang dipelajarinya di Universitas Sentra-Vatikan. Ia pun kembali pada pekerjaan sampingan yang diembankan padanya; membersihkan koridor. Oh, Tuhan, bukankah ia dokter? Banyak orang memberinya pandangan aneh, tetapi Abisak sudah biasa. Di tengah kebosanan, akhirnya ia menangkap sesuatu yang menarik; seorang operator mesin, serta mesin paru-jantung-- heart lung machine. Ah, mesin yang menarik; ia beruntung yang mengoperasikannya adalah kenalannya dari Klub Filsafat universitas dulu. "Channing, itu mesin paru-jantung?" "Ohh, Avedisian." Oswald, sudah cukup mengenal dokter magang itu, tidak menyentuh topik pel yang berada di genggaman Abisak; suatu bahan pembicaraan yang ia tahu cukup sensitif. Oswald Channing adalah seorang calon pendeta yang pada masa akhir kuliah Teologi-nya mendadak mengambil arah yang jauh berbeda; minimal, dari masa studinya, ia mendapatkan sensitivitas. "Kau benar. Penasaran dengan cara kerja yang ini juga?" Abisak tersenyum, jauh lebih tulus dari yang dilakukannya di hadapan Aurelio. Ini satu-satunya sisi positif bekerja di pusat medis almamaternya; kesempatan untuk mempelajari hal-hal yang menarik perhatiannya. Dengan penuh perhatian, ia pun mendengarkan penjelasan dari Oswald mengenai mesin yang satu itu. Seandainya, Aurelio bisa memberikan nasihat yang berguna dengan komprehensif seperti ini dan tidak membebaninya tugas yang tidak sepantasnya... itu semua harapan belaka. "Ya, sampai jumpa, Abisak." Ia melambaikan tangannya pada Oswald seusai penjelasan yang bersangkutan dicernanya. Abisak menghela napas, sebelum kembali mengepel lantai dengan lesu. Pada taraf ini, bisa jadi lengannya mengalami nasib yang sama dengan lengan dokter yang 'mendidiknya' itu... Berlalulah seorang dokter wanita berbadan tinggi di depannya. Ia memutar kepala, berusaha mengintip wajahnya; aneh, ia rasa ia tidak pernah melihat dokter yang satu ini. Dan, di luar dugaan, dokter ini tiba-tiba terjatuh, tersungkur di lantai dengan hantaman yang cukup keras pada lantai. Spontan, Abisak melepaskan tongkat pelnya, dan berjongkok di sebelah dokter wanita yang tidak dikenalnya. "A-Anu, Anda tidak--" "P-Pemicu... pemicu jantungku..." Hembusan napas terengah-engah terdengar dari wanita itu. Abisak, dokter magang tanpa pengalaman bedah sama sekali itu, merasa panik. Pacemaker--pemicu jantung, sesuai namanya, adalah alat yang memanfaatkan impuls listrik untuk mengatur detak jantung sesuai kebutuhan. Tentu, perangkat itu sangat vital bagi mereka yang detak jantungnya tidak normal. Ia menoleh kiri-kanan; semua tampaknya meninggalkan masalah wanita itu pada dirinya, hanya karena jaslabnya. Memang ia bisa apa?! Abisak menggaruk punggung lehernya. Siapa yang bisa menangani? Mustahil jika Aurelio... tetapi, ia sendiri juga tak kuasa... "S-Saya panggilkan--" PLAKKKKK. Dalam sekejap, selop karet dari kaki wanita perkasa itu telah mendarat dengan aduhai pada sisi kanan kepalanya, dan ia pun terhantam hingga menabrak dinding di belakangnya. Getaran pada dinding pun menjatuhkan tongkat pel yang bersandar padanya. Abisak memegang pipinya yang lebam; apa wanita itu sinting karena ada masalah dengan detak jantungnya? Tidak ada hubungannya. Wanita itu berjongkok, mendekati dirinya yang kini duduk lemas di atas lantai yang baru dipel dirinya sendiri. "Dasar, Dokter, kenapa melakukan pekerjaan tak berguna macam ngepel? Kalau lenganmu bermasalah, pasien juga kena dampaknya, lho!" Iya, dia tahu itu. Tetapi, memang semudah itu untuk melawan perintah dokter pengurusnya? Ia tidak suka bertindak layaknya anjing penjilat terhadap atasan, tetapi ia lebih tidak suka mencari masalah. Duh, pipinya serasa terbakar. "Aihh, berlebihan sekali. Kamu ini cowok, bukan? Dipukul pelan saja sudah berkaca-kaca... Jangan bilang kamu juga pipis di celanamu? Bwahaha!" 'Kau ini wanita bukan?' Diri sinisnya sendiri ingin bertanya demikian, namun ia berusaha menjaga mulut. Ia tidak pernah melihat wanita ini sebelumnya... dari departemen manakah ia? Pandangan sekilas pada tanda pengenalnya sudah memberikannya cukup informasi, dan ia cukup terkejut begitu menemukan dokter itu berasal dari departemen yang sama dengannya--kardiotoraks. "Okelah," ujar wanita itu, yang memaksanya ke posisi berdiri dengan menarik kerah bajunya. Ya, sudah bisa disimpulkan bahwa wanita ini sinting seratus persen. Mungkin lebih sinting dari Dokter Aurelio. "Jadi, kau mau terus mengepel lantai ini hingga kinclong, atau kau mau mengantarkanku ke kantor Departemen Pembedahan Kardiotoraks?" Abisak menatap pandangan menyeramkan yang diberikan sepasang mata amber itu. 'Glek.' Ia sudah bisa menetapkan hatinya dari itu. Melepaskan genggaman sang wanita sinting dari kemejanya, ia menunjuk ke arah kantornya sendiri, walau gagal menahan jari telunjuknya dari bergemetar. "I-Ikuti saya..."
"Hoo, ya, si brengsek Halverson itu sudah berbicara tentangmu. Katanya, kamu pembedah jenius yang didepak dari Universitas Utara itu ya?" Aurelio memicingkan mata; jelas, wanita ini bukan wanita yang jelita, ataupun pintar memasak. Bukan tipenya sama sekali, dan oleh karena itu, ia tidak perlu benar-benar serius memperlakukan yang ini. "Pft, aku juga sama sepertinya, asisten profesor, jadi jangan salah duga, ya. Dan, asal kau tahu, Nona, cara kita berbeda dengan di sana. Aku akan mendidikmu dengan benar..." 'Oh, 'Dengan benar'? Maksudmu, dengan menyuruhnya mengepel lantai juga? Oh, bagus sekali, minimal aku tidak sendirian lagi. Kau sungguh murah hati, Dok...' Otak Abisak tak dapat menahan diri dari berkomentar sinis. Ia dapat mendeteksi senyum setipe dari dokter baru (namanya, ia lihat dari tanda pengenalnya: Giraile Asdvadzadour), namun ia rasa Aurelio tidak berhasil menentukan tipe senyum ini. Walau begitu, Abisak cukup perseptif untuk menangkap tatapan merendahkan yang diberikan Giraile. "Haihh~ Seandainya aku memiliki pendidik baik hati sepertimu dari dulu~ Tidak mungkin, deh, aku dipecat!" Abisak menggigit bibir bawahnya. Wanita ini bisa dengan seenaknya membodohi dokter yang ingin diperlakukannya seperti itu dari dulu tanpa memikirkan konsekuensinya, menjijikkan. Ia bukan pendukung senioritas, tetapi melihat seseorang melakukan sesuatu yang diinginkannya tanpa perasaan khawatir sama sekali agak--baiklah, ia jujur saja, sangat menyebalkan. Ia merinding membayangkan bekerja sama dengan wanita itu... Terdengar derapan langkah dari koridor. Seorang perawat wanita--Abisak mengenalnya sebagai Lilith van Ersteed--yang bernapas terengah-engah memasuki kantor, dan memanggil nama dokter yang ada. "D-Dokter Hehanussa! Kita mendapatkan transfer pasien; korban kecelakaan lalu lintas. Ia mengalami memar di sekujur tubuh... kondisinya hanya semakin memburuk, dan badannya tengah mengalami shok, Dokter..." Aurelio memandangi informasi pada berkas yang diberikannya oleh Lilith, staf lain yang sering diminta 'bantuan' olehnya saat dirinya mengidam masakan khas negara asalnya, dengan dahi mengerut. Giraile yang berbadan tinggi tidak kesulitan merampas berkas-berkas itu dari belakang Aurelio untuk konsumsi pribadi. "Hei, kembalikan!" Dengan nada percaya diri, wanita yang sebelumnya dilabel Abisak sebagai sinting mengumumkan diagnosanya, "Memar miokardial, akibat benturan benda tumpul pada dada. Kasus yang... hm, serius... Dokter Senior?" "Ha?" Baru ketika ia mengingat bahwa Giraile telah mengambil berkas dari Lilith, ia merebutnya kembali. "Hmph! Jangan sok dulu, ya, anak baru. Dari rontgen-nya saja aku sudah tahu. Juga, ia mengalami tamponad kardiak. Bah, rumah sakit itu payah sekali, begini saja tidak bisa ditangani. Ayo, err... kau!" Ia menunjuk pada Abisak, yang belum dihapal nama belakangnya. "Bantu aku!" "Oh, boleh aku membantu juga?" intrusi Giraile, yang tampaknya berusaha memajang ekspresi seinosen dan semanis mungkin pada Aurelio. "Aku ingin mencari referensi untuk nanti~" Sebebal-bebalnya dokter pembimbingnya itu, Abisak yakin Aurelio Hehanussa sekalipun dapat menyadari bahwa niat wanita itu tidak sepenuhnya murni. Pada akhirnya, lelaki itu menyerah pada pujian juga. "Hmph! Boleh juga!" "Ruang operasi lain penuh, Dokter terpaksa mengambil ruang pengamatan operasi. Ikuti saya..."
Lampu MENJALANKAN OPERASI terus menyala. Pengurasan darah berlebihan pada daerah tamponad kardiak, selesai. Penambahan Bosmin sejumlah satu vial kecil, selesai. Detak jantung pasien hanya melemah. Abisak merengut; ia sudah bisa memperkirakan nasib akhir pasien ini... "Hei, Magang. Dia benar soal tamponad kardiak itu, tetapi memangnya hanya itu bisa membuat kondisi pasien seserius ini? Kemampuannya meragukan, deh." Ia sepenuhnya setuju dengan sentimen itu (walau tentang tamponad kardiak itu kurang yakin; tamponad kardiak, kondisi di mana cairan berkumpul di perikardium adalah kondisi yang cukup serius; memang, bisa lebih serius lagi?), tetapi... Abisak melirik wanita yang sepanjang operasi hanya mengintai jalan kerja pembedahan dengan mata ambernya. Walau ia berkata demikian, mengapa ia hanya menonton? Ia dikembalikan ke dunia operasi oleh sahutan Aurelio dari balik penutup. "Oi! Sana, mulai jahit kembali dadanya!" Hasil sesuai dugaan. Aurelio menatap pasiennya tanpa tanda-tanda simpati. "Jantung berhenti berfungsi." Ia menurunkan penutup mulutnya. "Operasi sukses, tetapi pasien tidak selamat. Ya, operasi selesai." Operasi sukses, tetapi pasien tidak selamat. Sudah berapa kali Abisak mendengar alasan murahan itu? Dia sudah muak. Dari kejauhan, mata dokter wanita baru itu seakan menyala, dan hal itu ditangkap oleh dokter asal Norwegia yang menonton jalannya operasi dari awal. Shreizag Halverson tidak menduga ia akan menemukan dokter bawaannya di ruang operasi pada hari pertama. "... Ternyata, kau bisa 'tersasar' ke sini ya... Apa yang akan kau lakukan sekarang, Asdvadzadour?"
"Hoi! Operasi selesai! Cepat jahit dadanya!" Walau enggan, ia sudah siap melakukan itu, namun ia didorong ke samping oleh dokter wanita berbadan bongsor itu. Tangan kanan bersarung plastik steril dijulurkan oleh wanita itu ke arah jantung pasien, dan dokter itu tidak mengumumkan maksudnya, membiarkan staf medis lain bertanya-tanya. Abisak tersentak, kurang-lebih dapat menerka maksud itu. 'Jangan-jangan--'Wanita itu menoleh ke belakang. Walau tidak terlihat, Abisak yakin terdapat seringai picik yang lebar di balik penutup mulut wanita itu. Giraile Asdvadzadour kembali memusatkan perhatian pada jantung sang pasien. "Pemijatan kardiak, dimulai."
Last edited by Giraile Arevig A. on 13th October 2009, 07:47; edited 2 times in total | |
| | | Roman Sintsov
Posts : 40 Pemilik : S.E.H.
Biodata Posisi: Finder Cabang: Eropa Umur: 24
| Subject: Re: [AU] [IN-PROGRESS] B.O.M.T. 12th October 2009, 22:57 | |
| ... LOL. *lagi?* Astagah, mirip banget sama yang di komiknya, tapi justru itu yang bikin menarik + lucu Terutama bagian awal, saya sempet ngakak bacanya Sebagian komentar sudah dilempar via YM, cuma kok yang ini rasanya kagok; nggak diterusin sampe itu pasien selamat? puas ngetawain Dokter Aurelio *dijitak*Lanjut terus, Chip! munculkan Shraile juga! *dihajar | |
| | | Giraile Arevig A. Vatican Central
Posts : 258 Pemilik : Chief Poin RP : 100
Biodata Posisi: General Cabang: Eropa Umur: 28
| Subject: Re: [AU] [IN-PROGRESS] B.O.M.T. 12th October 2009, 23:01 | |
| Iya, berusaha dibuat mirip sekaligus menonjolkan sifat khas karakter BO juga (kalau kayak gini sih, Kihara--eh, Aurelio, malah musuhannya sama Akira--eh, Shrei). Semua disesuaikan... Itu ngegantung biar jadi cliffhanger bagi yang belum baca TMD... Semoga puas dengan Dokter Hehanussa~~ Akan banyak muncul di belakang, ohohoho. Nantikan Shraile-nya... | |
| | | A. Růžena Mlynarikova
Posts : 120 Poin RP : 20
Biodata Posisi: Disciple Cabang: Eropa Umur: 20
| Subject: Re: [AU] [IN-PROGRESS] B.O.M.T. 13th October 2009, 00:51 | |
| hoaaaa akhirnya sy megang komputer lagi ==a
dan dan... bang Aurelio jadi jahat begonooo... D8 *dijitak*
ah ga di BO atau d TMBO SP lucknya Abisak tetep 1 ya~ btw anda lupa mencantumnkan nama char saya yg ganteng di awal2 =p
sprti biasa~~ Lanjuut" >D | |
| | | Giraile Arevig A. Vatican Central
Posts : 258 Pemilik : Chief Poin RP : 100
Biodata Posisi: General Cabang: Eropa Umur: 28
| Subject: Re: [AU] [IN-PROGRESS] B.O.M.T. 13th October 2009, 11:20 | |
| @ Alle: Memang, LCK 1 itu akan terus menghantuinya... Seandainya bisa, tentu saya sudah memberikannya LCK 0 atau minus sekalian... Maaf, kok bisa-bisanya saya lupa Oswald ya... Padahal Lilith saja saya ingat, dan penjelasan Oswald itu adalah poin penting untuk plot ke depannya (ups, spoiler). Lanjuuuuuuuuuuuuuuuut! Menampilkan: Aurelio M. Hehanussa, Shreizag Halverson, Giraile Arevig Asdvdazadour, Abisak Avedisian, Nalbari J. Mrinalini, dan profesor kardiotoraks yang masih dirahasiakan identitasnya...
"W-Wanita sialan! Aku dokter yang beroperasi, dan kamu berani melawan perintahku?!" Pria Norwegia yang menonton jalannya pembedahan dari ruang pengamatan sedikit tersentak mendengar ini, teringat dengan dirinya yang masih gegabah tiga tahun yang lalu. Betapa banyak pelajaran yang didapatkannya dari Bogomila Radoslava... ia sungguh bersyukur. Dan kini, ia ada untuk menghentikan asisten profesor jadi-jadian macam Aurelio dari melangkah lebih jauh. Ia harus membawa perubahan. Lelaki berambut putih itu kembali mengamati dengan seksama. Tampaknya, Giraile tidak mengindahkan kata-kata Aurelio sama sekali, dan memilih untuk menatap dokter magang dengan nama Avedisian. "Lihat, Magang! Tidak wajar bagi memar miokardiak untuk menyebabkan kegagalan jantung hingga taraf ini, penyebabnya ada di tempat lain!" Ia terus meremas organ vital itu dengan tangannya. "Ada lubang kecil pada bagian miokardiak! Kau bisa lihat, kan, pendarahannya?" Abisak Avedisian menyipitkan mata; baru saat itu, ia dapat melihat luka pada jantung. Tidak mungkin, wanita itu dapat melihatnya dari jarak sejauh itu ketika yang bersangkutan bersandar di dinding dengan 'santai'? 'Ia... menekan perforasi itu dengan jarinya?'Layaknya guru yang baik, Giraile memulai 'lektur' begitu perhatian sang dokter magang kembali terpusat padanya. Tidak memedulikan cerocosan dari Aurelio yang gusar karena keberadaannya tidak dianggap, "Kita mulai dengan pelan~" Hanya satu kata yang terlintas di pikiran Shreizag Halverson dan dokter magang itu. 'Gila...' Black Order Medical Team: Case 3Reality Check for InternsAbisak menghela napas, mengingat insiden yang telah dialaminya beberapa hari yang lalu. Masalah ditangani oleh asisten profesor yang terlihat lebih menjanjikan ketimbang Aurelio, Shreizag (konon, lelaki inilah yang bertanggung jawab atas Giraile), yang membujuk Aurelio untuk mengambil kredit sebagai penyelamat nyawa pasien, menyembunyikan tindakan gegabah Giraile dari pengetahuan profesor. "Jika tidak salah, kau juga tengah mengerjakan tesis untuk gelar doktor tentang pengirisan arteri... Seandainya kau yang menyelamatkan nyawa pasien, aku bisa menyelipkan beberapa pujian untukmu ke Profesor..." Abisak merinding. Di balik wajah dingin lelaki yang cukup muda itu, ternyata ia memiliki otak yang berpikir cepat dan cukup piawai mengatur situasi; tidak salah jika ia menjadi asisten profesor pada umur semuda itu tanpa harus menggunakan metode yang sama dengan Dokter Hehanussa. Pikirannya beralih pada dokter satu lagi, Giraile Asdvadzadour... Baiklah, ia memiliki mata yang cukup tajam. Memang kenapa? Abisak tidak ingin terlibat dengan dokter gegabah macam itu. Di dunia nyata, sehebat apapun dokter, seandainya mereka tidak piawai menjaga relasi, mereka tak akan bertahan--terutama, di dunia kotor pusat medis kampus. Tetapi, kini, ia harus bekerja sama dengan wanita sinting itu. Tuhan pasti membencinya. Pikirannya berkilas balik ke percakapannya dengan Aurelio pagi itu. "Apa?"
"Ya," dengus Aurelio, yang mulai mengancingkan jaslabnya tanpa melirik ke arah dokter magang yang sebelumnya diberi 'didikan' olehnya. "Kau bekerja di bawah Dokter Asd--blah, dokter wanita itu hari ini. Selamat bersenang-senang, deh."
"T-Tetapi, Dokter," walaupun ia tidak suka, "saya hanya memiliki pengalaman membedah di bawah pengawasan Anda . Jika kasusnya serius--"
"Ya, ya, hubungi saja HP-ku jika ada masalah. Aku tidak akan terkejut, melihat tindakan wanita itu. Jangan ikuti sikapnya! Tindakan semena-mena seperti itu bisa menyebabkan kematian, tahu," cerca Aurelio, melupakan fakta bahwa justru 'tindakan semena-mena' itu yang telah menyelamatkan pasiennya.Malam telah tiba. Abisak hanya dapat berharap kondisi tanpa pasien yang dialaminya sepanjang hari ini dapat dipertahankan. Membayangkannya saja membuatnya maag. Ia memegang perutnya erat; bayangkan, hanya duduk dalam satu ruangan berdua dengan wanita itu saja sudah membuatnya segugup ini. Dokter itu telah mendesaknya untuk makan dari berjam-jam yang lalu, tetapi ia ragu untuk meninggalkan wanita ini, dan ia bingung apa yang patut dilakukannya tanpa pengawasan dari dokter pendidiknya. 'Ugh...'Kriiiing! Telpon berbunyi, dan tangan Giraile yang gesit telah mengangkatnya sebelum ia berbalik. "Oh, ya, ya. Siapkan Ruang 1 untukku!" Abisak menelan ludah. Firasat buruknya kembali... ... dan terbukti. "Bah, harusnya kau makan tadi-- Kita dapat pasien, Magang! Gadis muda, rasa nyeri yang tajam pada abdomen! Jangan lelet, gerak!"
Ruang Operasi 1 dimasuki satu tim staf medis pimpinan Dokter Giraile Asdvadzadour, didampingi oleh dokter magang yang akan memberi asistensi, Abisak Avedisian. Perawat yang memimpin adalah Nalbari J. Mrinalini, seorang perawat muda dengan rambut yang terkepang rapi. Tidak seperti dua wanita yang berperan besar dalam pembedahan, Abisak belum mampu menguasai kegugupan yang dirasakannya. 'Tenang... Seperti biasa, kau bahkan tidak akan memegang pisau bedah, kan?' Ia mengenakan penutup mulutnya, berusaha menenangkan diri. Ya, selama ia mengikuti perintah Giraile, yang telah membuktikan diri cukup handal, semuanya akan baik-baik saja. Tetapi, yang dilakukan wanita itu sama dengan operasi bersama mereka yang pertama; bersandar di dinding dengan santai, siap menonton. "Anu, Dok..." 'Barangkali kau lupa...' "... operasinya?" Mata Giraile menyipit dari bawah, sesuatu yang hanya dapat disebabkan oleh seringai bengis yang lebar. "Sana, lakukan, Magang. Giliranmu!" "... Apa?"
"Sana, lakukan, Magang." Ia dapat bersumpah, di balik penutup mulut itu seringai Giraile hanya bertambah lebar. "Giliranmu!" Apa maksudnya? "Dokter, Anda berada di sini, kenapa saya yang harus melakukannya?" "Ahh, rewel melulu, sudah, ambil pisau bedahnya sana! AKu kenal banyak dokter seumuranmu yang sudah lebih dari seratus kali membedah badan orang!" 'Di mana...?' Abisak bertanya dalam benaknya, namun ia tidak berani mengajukannya pada Giraile. Berargumen dengan wanita keras kepala dan seenaknya seperti itu hanya akan menguras tenaga. Ia mendekati badan pasien; hanya kasus peradangan umbai cacing, apendisitis, bukan sesuatu yang terlalu sulit untuk dokter magang macamnya sekalipun. Ia berusaha mengingat instruksi yang tertera pada buku teksnya. Buat belahan di daerah abdomen mengikuti arah jaruh jam, hingga pisau mencapai lubang abdominal... Tangannya bergetar begitu bilah pisau bersentuhan dengan kulit wanita muda itu. Ah, sudahlah, ini bukan tanggung jawabnya, kan? "Seandainya terjadi sesuatu, Dokter harus bertanggung jawab..." Giraile menguap keras, sebelum memejamkan matanya. "Kamu pikir aku sinting, apa? Kamu yang memotong, kamu yang bertanggung jawab!" Jawaban ini hanya semakin memperkuat sentimennya. Iya, Dokter Asdvadzadour, dirimu sangat, sangat, sangat sinting. Ia merasakan gemetaran pada tangannya menjadi lebih intens. Dengan tangan kirinya, ia menggenggam pergelangan tangan pemegang pisau bedah. "... Dokter?" Perawat asal India di sebelahnya, Nalbari Mrinalini, menatapnya dengan tidak sabar. Glek, ia tidak boleh terlihat meragukan di hadapan stafnya. Abisak berusaha mengembalikan ketenangannya, dan memberi perintah pertama, "P-Pasang retraktor." Dengan alat itu, irisan yang telah dibuatnya diperlebar, membentuk lubang seperti mulut yang menganga. Mata hazelnya memindai isi abdomen pasiennya, mencari-cari letak organ yang perlu ditanganinya itu. 'Menurut buku, harusnya di sini...' Tak sabar, Abisak memasukkan tangan yang berbalut karet ke dalam lubang itu, meraba-raba isi perut gadis itu, dan ia berusaha menahan diri dari memajang wajah jijik terhadap sensasi yang dirasakan jarinya. Nalbari tidak dapat berdiam diri melihat kepanikan sang dokter magang. Ia merasa risih baik dengan dokter yang berdiam diri di sisi ruangan operasi maupun pekerja magang yang tidak terlihat kompeten itu. "Dokter!" 'T-Tidak ada di sini...' Tidak mungkin, memang di mana lagi? Jawaban datang dari sumber yang tidak terduga. "Cek kantung Douglas-nya." Abisak menoleh ke belakang. Oh, jadi wanita itu tidak tertidur selama ia menjaga mulutnya tertutup? Setelah memicu otak beberapa detik, ia berhasil mengingat definisi dari kantung Douglas itu--ruang kosong di mana rektum dengan uterus bertemu. Ia kembali mengaduk-aduk ruang abdominal gadis itu, kali ini dengan tujuan yang lebih pasti. Apendiks, organ kecil dengan bentuk memanjang itu, berhasil ditemukannya. "Pemotongan umbai cacing, dimulai!"
Secara ajaib, operasi itu dilaksanakan dengan lancar. Seusai penjahitan kembali irisan pada perut gadis itu, Nalbari Mrinalini pun menatap Abisak dengan apresiasi lebih dari sebelumnya. Ketimbang memperhatikan itu, lelaki itu sudah berpuas diri dengan keberhasilan operasi yang menegangkannya. Ia tidak mengerti bagaimana Giraile bisa menggumamkan senandung dengan santai; kini, kedua dokter itu menyusuri koridor menuju kantor. "Jarang, lho, ada kasus di dunia nyata yang sesuai dengan yang tercantum dalam buku teks. Kamu hanya bisa berkembang melalui pengalaman riil~" "... Tadi, Anda bilang ada dokter seumuran saya yang telah membedah lebih dari seratus kali... Memangnya itu mungkin? Dengan banyaknya dokter dalam satu departemen, untuk mendapatkan kesempatan macam itu saja, mustahil bagi dokter muda..." "Di sini, memang iya," ujar dokter wanita itu, dengan raut muka serius yang tak pernah dilihatnya sebelumnya. Hanya dalam waktu singkat, ekspresi itu digantikan oleh senyum piciknya yang khas. "Tetapi, kau bisa menjadi yang pertama untuk bangkit dari dasar jurang." "Ha?" Wanita itu terkekeh pelan. "Ah, sudahlah. Ngomong-ngomong, namamu?" "Avedisian," ujarnya dengan sedikit keraguan; untuk apa perempuan itu mengetahui namanya? Melihat tabiatnya, tidak mungkin hanya untuk berbasa-basi tanpa maksud buruk. "Abisak Avedisian." "Hoo. Orang tuamu dari Armenia?" Abisak meringis mendengar ini. Jika yang dimaksud Giraile sebagai orang tua adalah dua orang tidak bertanggung jawab yang telah mendekam di penjara selama beberapa tahun karena tindakan kekerasan terhadap anak satu-satunya, ya, benar, kedua orang tuanya berasal dari negara itu. "Benar, Dokter. Ada apa?" "Tidak. Ya, sudahlah, aku mau beli minuman dulu. Kau kembali ke kantor saja duluan." "... Ha? T-Tunggu, Anda meninggalkanku sendirian?!"
Tentu, Shreizag Halverson mendapatkan kejutan yang sama sekali tidak diduga, dan diinginkan, ketika ia memasuki kantor pribadinya sebagai asisten profesor utama. Kejutan itu adalah sosok Giraile Asdvadzadour yang menduduki kursi kerjanya layaknya raja yang berkuasa, menyeruput bir kalengan yang didapatkannya entah dari mana dengan gaya yang sama angkuh. "... Ada apa ini?" "Beuhh, ternyata bir memang tidak bisa menandingi brandi." Tatapan es Shreizag cukup untuk mengalihkan topik pembicaraan ke arah yang sesuai. "Oh ya, aku menemukan seseorang yang ingin aku masukkan ke dalam timku. Kekuasaan penuh, kan?" Kegusaran Shreizag hanya bertambah dengan diungkit-ungkitnya perjanjian itu oleh Giraile. Tampaknya calon yang telah dipilih wanita itu--tidak, bukan tampaknya lagi, tetapi pasti--tidak memenuhi standar pribadi lelaki Norwegia itu. Dengan suara pelan yang mengandung cukup peringatan, Shreizag berujar, "Batista bukan prosedur main-main. Kau bisa menjamin kepiawaian kandidat ini?" Giraile meneguk birnya lagi; walau ia tidak terlalu menyukai alkohol itu, bukan tabiatnya untuk membuang-buang sesuatu yang telah dibelinya. Dengan paras serius, ia mengumumkan pilihannya, mata amber menatap Shreizag langsung. "Abisak Avedisian!" Asisten profesor itu berusaha mengingat identitas pemilik nama itu. "... Dokter magang itu? Kau ingin memasukkan seorang pekerja magang dalam tim batista? Tidak mungkin," tolaknya dengan tegas, seraya ia meletakkan map berisi berkas yang dibawanya di atas meja kerja yang menjadi sandaran kaki berselop karet wanita tanpa sopan santun itu. "Lagipula, dokter pendidiknya adalah Hehanussa, bukan a--" "Oh, justru itu~" Ukh. Seringai yang dibenci Shreizag Halverson kembali menghiasi wajah wanita maniakal itu. Prodigi pembedahan itu meneguk kembali cairan kekuningan itu, sebelum mengelap mulut dengan punggung tangannya. "Aku ingin memindahkannya ke bawah pengawasanku... sebelum ia terjerat sistem busuk pusat medis di negara ini!" "Mustahil. Kau pikir, Profesor akan mengijinkannya? Apa kau sengaja memilih anggota tim yang tidak kompeten untuk mempersulit pekerjaanku? Banyak dokter lain yang lebih bertalenta--" Hampir saja wanita itu menyemburkan minuman dari dalam mulutnya. "Bwahaha! Kau pikir ini masalah talenta? Kuberi tahu sekarang; kehandalan seorang pembedah hanya berkembang seiring dengan bertambahnya jumlah pasien yang ia bunuh. Itupun dengan batas umur prima tiga puluh lima tahun. Melebihi itu, sulit bagi seorang dokter bedah untuk berkembang lebih jauh. Di sini, mereka justru tidak membiarkan dokter muda memegang pisau bedah. Dan begitu mereka meninggalkan dunia magang dan menjadi 'dokter yang sesungguhnya', sudah terlalu telat untuk mengubah sifat mencium pantat atasan itu! Aku butuh seseorang yang belum terekspos." Giraile Asdvadzadour beranjak dari kursi empuk kantor asisten profesor, meninggalkan kaleng birnya yang hampir kosong di atas meja yang sebelumnya rapi itu. "Uruskan untukku. Aku harus mengurus bocah itu sebelum dia pingsan saking paniknya..." Wanita itu berhenti, memunggungi pria Norwegia itu begitu ia mencapai pintu dan meletakkan telapak tangannya di atasnya. "Kuharap kau tidak akan melanggar janjimu. Tenang..." Kuku sang dokter menggerus kayu di depannya dengan keras, sebelum pemiliknya menoleh ke arah lawan bicaranya, memajang senyum sinister. "Aku akan membuat Avedisian itu memotong... dan memotong..." Ia memindahkan tangannya ke gagang pintu dan memutarnya, membuka pintu dengan ceklikan yang keras. "... hingga ia muak." Shreizag tidak bisa menyangkalnya lagi; pada saat itu, ia berkeringat dingin. Giraile, yang telah kembali menghadap ke depan, lebih berbahaya dari dugaannya. "Kau--" Blam! Pintu kantor ditutup dengan hantaman yang sangat keras, namun Shreizag yang masih membeku seusai mendengar revelasi Giraile yang lebih mengejutkannya. Hanya seusai beberapa detik keheningan, ia bisa menjatuhkan diri di atas kursinya dengan lemas. Ia memegang dahinya. 'Permintaan sesulit ini... dengan kepulangan Profesor dari rapat besok, pula...'Dengan gusar, ia mengambil kaleng bir yang tertinggal itu, dan meneguk isinya dengan cepat. "Fuahh..." Minimal, minuman beralkohol itu sedikit melampiaskan kekesalannya, walau ia bukan tipe orang yang suka melarutkan kesedihan dalam miras. Tidak terbiasa dengan gaya minum itu, pria berambut panjang itu terbatuk untuk sesaat, sebelum akhirnya ia menghembuskan napas lega, dan mengambil map di atas mejanya, mulai membaca berkas yang ada. '... Sialan, kau, Asdvadzadour...'
"Hmm~~ Ya, senang bertemu denganmu, Dokter Asdvadzadour~~" Pria tua itu memperbaiki posisi kacamata berlensa bundarnya. Shreizag menelan ludah; satu-satunya lelaki yang senyum sinisternya bisa menandingi milik Giraile adalah profesor departemennya, yang kini mengevaluasi kapabilitas dokter bawaannya. Merasa gerah, ia mengubah posisi kerah kemejanya, namun tindakan itu tidak memiliki efek apapun. Sepanjang pembicaraan, Giraile memperlakukan sang profesor dengan sikap semena-menanya yang biasa; senyuman terlampau manis yang membuat orang muak itu, dan penggunaan kesinisan yang terlampau jelas, terutama untuk profesor yang perseptif itu. Perlukah ia mengingatkannya bahwa Profesor tidak sama dengan Dokter Hehanussa? Shreizag menahan dirinya dari mengucapkan sepatah katapun, hingga akhirnya anggota baru departemen kardiotoraks itu meninggalkan kantor profesornya. Beberapa menit berlalu. Memastikan Giraile telah berada jauh dari lokasinya dengan asisten utamanya, pria tua itu menyalakan rokoknya, menghirup asap nikotin itu dalam-dalam, sebelum menghembuskannya ke hadapan Shreizag. Pria Norwegia itu berusaha mempertahankan wajah datar. "... Shreii," nama panggilan yang merendahkan itu dipanggil, "... dia terlihat seperti orang yang... unik. Apa dia akan membawa masalah pada departemen kita, hm~?" 'Itu yang kukhawatirkan.' Ia memajang ekspresi tenang. "Tidak perlu dikhawatirkan, Profesor. Bantuannya sangat dibutuhkan demi penyelesaian tesis batista ini." Mata lawan bicaranya menyipit, dan Shreizag harus mengulang-ulang kata 'tenang' dalam benaknya untuk menjaga sikap. Profesor itu kembali tersenyum lebar. "Ah, dan bagaimana anggota tim yang lainnya?" Shreizag menelan ludah. Tampaknya, tidak mudah bagi pria yang berambut putih sejak dini itu untuk mengumumkan 'penemuan' Giraile. "... Masih dipertimbangkan." "Hoo~" Dengan itu, kepulan asap rokok kembali dihembuskan ke arahnya. "Cepat finalisasikan, lalu laporkan kembali padaku, mengerti~?" Kondisi tidak baik. Shreizag dapat menerka bahwa profesornya sudah memiliki rasa curiga terhadap Giraile, yang tidak menjaga sikap walaupun pria Norwegia itu sudah berkali-kali menekankan padanya untuk bersopan santun di hadapan profesor. Tampaknya wanita itu menolak untuk memasukkan diri ke dalam struktur sosial pusat medis UKSV. Tetapi, Shreizag Halverson tidak menjadi asisten profesor tanpa pengendalian diri. Ia tetap menjaga wajah tenang; sesuatu yang lebih biasa dilakukannya di hadapan atasan ketimbang Giraile Asdvadzadour. "Jika tesis ini sukses, tentu keanggotaan di Sosietas Sains Nasional dapat diraih semudah jentikan jari. Semoga berhasil... Shreizag." Pria Norwegia itu hanya mengangguk pelan, sebelum memohon izin meninggalkan ruangan. Ia dibalas oleh senyum beracun profesor departemen kardiotoraks, dan tindakan itu diresponnya dengan senyuman kecil yang terpaksa. Dengan tergesa-gesa, ia menyusuri koridor, mencari keberadaan Giraile Asdvadzadour. Dirinya dan wanita itu perlu berdiskusi, saat itu juga. Mungkin ada baiknya jika ia menegaskan poinnya pada wanita itu sebelum mereka berdua didepak keluar oleh Profesor.
Wanita itu tengah mendidik--lebih tepatnya, menggamblang, Abisak Avedisian, calon anggota tim batista, dalam pengikatan tali untuk pembedahan. Biasanya, ia akan membiarkan tindakan rekreatif Giraile Asdvadzadour berlalu seraya ia kembali mengurus masalahnya sendiri, tetapi ia benar-benar perlu memberi ulasan tentang sistem yang ada di USKV pada wanita yang seenaknya itu. "Dasar! Kalau kayak gitu, bisa copot, kan, jahitannya!" "Duhh, memang harusnya bagaimana?" Ia memasuki kantor dengan hentakan kaki yang keras pada lantai, menandakan keberadaannya. "Asdvadzadour," mulanya dengan tajam, seraya ia meletakkan tangan pada pundak wanita yang tingginya mendekati dirinya itu. "Kita perlu bicara." | |
| | | Shreizag E. Halverson Vatican Central
Posts : 580 Umur : 32 Pemilik : S.E.H. Poin RP : 20
Biodata Posisi: General Cabang: Eropa Umur: 29
| Subject: Re: [AU] [IN-PROGRESS] B.O.M.T. 13th October 2009, 13:55 | |
| Wauuww, progress yang mantap, kawan! Ya, personality setiap karakternya sukses ditonjolkan, saya juga suka chapter yang lebih panjang ini~ *digetok* Penempatan judul chapter yang agak ke bawah itu bikin keren, deh Duhh, bener-bener kebayang itu Shrei dan Giraile jadi dokter, lololol. Chip benar-benar antusias, eh? Bagus, ini akan mendorong saya untuk memunculkan minat saya juga... *digetok* Hanya saja, mungkin karena adaptasi dari komik, saya merasakan deskripsi latar/settingnya kurang. Terus, masih suka ketuker antara Giraile dan Arevig, dan ada beberapa typo. Tapi overall udah mantap kok~ Lanjut teruuusss! *ol dari labkom kampus* | |
| | | A. Růžena Mlynarikova
Posts : 120 Poin RP : 20
Biodata Posisi: Disciple Cabang: Eropa Umur: 20
| Subject: Re: [AU] [IN-PROGRESS] B.O.M.T. 13th October 2009, 14:30 | |
| baru sadar.. Lilith bukan Lilith Odelia tapi Odilia.. =w=... jadi inget Manohara kan saya *digepuk*
ah itu profesornya... Jeong Hu bukan? o____o
Abisak sekali lagi kau jadi babu... ck ck... apa mungkin takdirnya memang sudah ditulis g jauh" dr sana ya... LoL~ | |
| | | Chief Supervisor Admin
Posts : 418
| Subject: Re: [AU] [IN-PROGRESS] B.O.M.T. 13th October 2009, 17:47 | |
| @ Shrei: Ini agar kau semangat di Fakultas Kedokteran, sayang... *disepak* Mungkin kalau membayangkan dokter pembedahnya sebagai Shrei ketika menonton video bedah-bedahan lagi, kau akan lebih bersemangat... Ah ya, penempatan judul itu... ngikutin gaya sinetron/drama Amerika Serikat yang suka memberi adegan singkat sebelum theme song dan hidangan utama dimulai *haiyah* @ Alle: Itu memang sudah takdirnya... Profesornya, sayang sekali, bukan Jeong Hu... ohohoh~ sebenarnya sih belum dapat calon
Baru nyadar kalau saya salah tulis Arevig... Biasanya kalau menulis Giraile tidak didampingi Asdvadzadour (kecuali lengkap bersama Arevig) sih. Sudah diperbaiki... Nama Manohara--eh, Lilith juga sudah diperbaiki. Mungkin jalannya terkesan terburu-buru karena saya rasa Case 1 & 2 jalannya terlalu lambat, mengulas 1 chapter komiknya masing-masingnya. Jadi, Case 3 telah merangkum tiga (atau dua setengah) chapter komik agar kita bisa lebih ngebut dan bertemu dengan Rajeev si dokter pecinta wanita *halah* Tapi, diriku tetap menambahkan beberapa paragraf dan garis pembatas untuk memperjelas adegan dan memisahkan beberapa adegan di tempat berbeda agar tidak membingungkan... semoga lebih baik yang sekarang. | |
| | | Lim Jeong Hu
Posts : 172 Pemilik : Cairy Poin RP : 100
Biodata Posisi: General Cabang: Asia Umur: 33 tahun
| Subject: Re: [AU] [IN-PROGRESS] B.O.M.T. 13th October 2009, 20:43 | |
| OMG team medical dragon banget lah *ngakak*
Giralie cocok ya ternyata dengan peran sebagai Asada *ngakak* dan masa Orion jadi Miki *gugulingan ngakak balik* dan peran lainnya juga cocok. Saya menunggu siapa yang sekiranya jadi ahli anastesi, Arase-sensei >w< *karakter favorit saya*.
Sayangnya ini lebih mengacu pada manga ya, padahal dari awal saya nunggu adegan 'penghujaman pulpen' kayak di dramanya *dilibas*
Oke, lanjutkanlah dulu >w< | |
| | | Giraile Arevig A. Vatican Central
Posts : 258 Pemilik : Chief Poin RP : 100
Biodata Posisi: General Cabang: Eropa Umur: 28
| Subject: Re: [AU] [IN-PROGRESS] B.O.M.T. 14th October 2009, 06:57 | |
| @ Jeong Hu: S-Sebenarnya di manga juga ada adegan barbar nusuk pulpen itu... Tetapi saya tidak bisa membayangkan Giraile memberikan CPR pada Orion berondong banget soalnyaYang menyedihkan itu, karena ternyata Giraile bisa dipaskan dengan karakter Asada dengan terlampau mudah... Serasa dia benar-benar bukan wanita Arase-sensei juga favoritnya sayaaaaa >.< Kandidatnya sudah dapat, kok, hohoho~~ | |
| | | Bianca Corda
Posts : 121 Pemilik : Agito
Biodata Posisi: Exorcist Cabang: Eropa Umur: 25
| Subject: Re: [AU] [IN-PROGRESS] B.O.M.T. 14th October 2009, 16:05 | |
| MANTAP!! keren banget!! saya emang ga baca TMG, tapi ini keren banget!!
oh ya, sebenernya untuk Mrinalini, cukup ditulis 'Mrinalini' aja~
ga sabar nunggu lanjutannya!! ayo, lanjutkan!! | |
| | | Hakizi Mana Vatican Central
Posts : 77 Pemilik : Chief Poin RP : 100
Biodata Posisi: Supervisor Cabang: Afrika - Timur Tengah Umur: 37
| Subject: Re: [AU] [IN-PROGRESS] B.O.M.T. 15th October 2009, 11:33 | |
| @ Bianca: Iya, saya baru nyadar soal Mrina itu... Nanti diedit kalau sudah masuk akun yang bisa main edit-editan.
Berikut lanjutannya, dengan kemunculan pemeran baru... Karakter yang tampil di cerita ini adalah sebagai berikut (berdasarkan urutan tampil): Giraile Arevig A., Shreizag Halverson, Abisak Avedisian, Orion K. Leifson, Raul Santa Cruz, Hakizi Mana
Sedang mencari sosok yang tepat untuk menjadi Kirishima Gunji. Sudah mendapatkan beberapa kandidat, tetapi belum ada yang benar-benar klop... Yasud, silakan menikmati edisi keempat B.O.M.T...
Giraile tidak menatap lawan bicaranya, dan berkonsentrasi pada simpul yang tengah dibuatnya pada benang tipis di tangannya. Senyuman picik itu tetap terpampang pada parasnya, dan dengan ringan, ia pun menolak permintaan Shreizag untuk berbicara secara privat, "Kalau yang ingin kau bicarakan bukan sesuatu yang bisa dibicarakan di sini, aku malas mendengarkannya."
"Jangan merasa aman dulu," ujar Shreizag dengan tajam, melepaskan tangannya dari pundak wanita asal Armenia itu. "Aku belum mendapatkan kesempatan untuk mengungkit hal yang kau inginkan itu."
"Tak apa, aku bisa menunggu," balas Giraile, yang mempererat ikatan benangnya, tidak menjalin kontak mata dengan sang asisten profesor. "Selama aku tahu kau tidak akan melanggar janjimu."
Abisak Avedisian, satu-satunya yang tidak mengerti apa yang tengah dibicarakan kedua dokter, hanya mengerutkan dahi. Tampaknya, pembicaraan yang cukup serius dan konfidensial. Dalam hati, dokter magang itu hanya bisa bertanya; apakah ini benar-benar Shreizag Halverson yang selalu mampu mengendalikan diri itu? Tampaknya, Giraile memang memiliki kemampuan untuk membuat gusar siapapun, Shreizag termasuk.
Abisak tersenyum simpul. Sebenarnya, Shreizag sudah terlampau tenang untuk seseorang yang (tampaknya) terus-menerus diganggu oleh Giraile. 'Ah, sudahlah.' Pria berambut coklat itu tidak berharap untuk ikut campur. Dari pinggir matanya, ia melihat dokter asal Norwegia itu menyipitkan mata biru esnya pada Giraile, menandakan bahwa dirinya tidak main-main. Ia membuka mulutnya.
"Ingat bahwa aku melakukan ini dengan caraku. Kau cukup bersabar, dan berhenti membawa masalah tambahan padaku. Camkan ini."
Black Order Medical Team: Case 4 A Living Being
Dengan itu, asisten profesor berwajah dingin itu meninggalkan kantor, dan sosok Giraile Asdvadzadour yang menatapnya dengan hostil. Glek, atmosfer hanya semakin menekan bagi dirinya, yang masih belum sepenuhnya memahami relasi antara Giraile dan Shreizag. Abisak siap mengikuti jejak Shreizag dan meninggalkan kantor sebelum Giraile kembali menceramahinya, tetapi ia ditahan oleh genggaman erat pada pundaknya.
Ia memutar kepalanya, berhadapan dengan pemilik tangan itu; sudah pasti, Giraile Asdvadzadour. Dengan terpaksa, ia memberikan senyuman sopan pada wanita yang berseringai itu. "... Ada apa, Dokter?"
"Avedis," panggilnya, dengan suara terlampau manis yang membuat bulu kuduk Abisak bergidik. "Apa rumah sakit paruh-waktumu membutuhkan dokter tambahan? Aku kekurangan uang, nih." Wajar saja; Abisak tahu bahwa dokter magang sepertinya, dan dokter dari luar seperti Giraile, tidak diberi gaji yang memadai oleh pusat medis USKV. "Si Dokter Heha-heha-apalah itu tidak mencarikanku tempat kerja paruh-waktu di manapun!"
'Kau pasti bercanda...' Abisak rasa, hari di mana ia sudi membiarkan Giraile Asdvadzadour mengganggunya lebih dari ini adalah hari di mana ia telah menjadi sesinting wanita yang bersangkutan. "... Apa yang membuat Dokter berpikir saya bekerja paruh-waktu?"
Perempuan itu terkekeh, melepaskan genggamannya dari pundak lelaki yang lebih muda darinya. "Memang gajimu cukup untuk hidup, heh? Tidak, tetapi Abisak rasa semestinya Giraile tidak mengetahui hal itu. Ia kembali memajang senyum formalnya dan memberi anggukan kecil. Seusai itu, ia berbalik, dan melarikan diri dari jeratan wanita Armenia itu.
"Heiiii!!! Kembali kau, dokter magang sialan!"
"Aku telat?"
Mendeteksi suara yang familiar, lelaki itu mengangkat kepala, mengalihkan perhatian dari jam yang melingkari pergelangan tangannya. Pria muda itu membetulkan posisi kacamatanya, menekan alas pada hidung dengan lembut. Mata biru sayunya menjalin kontak dengan amber milik koleganya, dan wajahnya tetap tak menunjukkan perubahan ekspresi yang berarti.
"Tidak, Nona," gumamnya, sembari meninggalkan pagar sandarannya, berjalan ke arah wanita yang memanggilnya untuk 'reuni', setelah beberapa minggu. "Anda datang dua menit sebelum waktu yang ditetapkan."
Mendengar ini, wanita itu tersenyum lebar. Sebagai seseorang yang tidak menyukai keterlambatan, sudah sewajarnya baginya untuk tepat waktu. "Sudah lama, ya," awalnya; senyumannya sedikit melembut di hadapan lelaki yang telah bekerja sama dengannya untuk sedemikian lama. "Orion."
Dengan perlahan, lelaki berambut pirang itu menyeruput teh kayu manis pesanannya, sebelum meletakkan cangkirnya kembali di atas lepek dengan kehati-hatian yang sama. "Jadi, Nona memanggil saya, setelah sekian lama, hanya untuk meminjam uang."
"Ya, kau tahu sendiri bayaran dokter luar berapa, terutama di pusat medis universitas. Ayolah, berbaik hatilah sedikit... Anggap saja kau membantu rekan kerjamu..."
Mendengar ini, alis Orion sedikit meninggi. "Sayang sekali, Nona Giraile, dalam waktu dekat ini kita belum bisa menjadi rekan kerja. Sentra-Vatikan belum membuka lowongan untuk perawat dalam ruang operasi; itu yang dikabarkan oleh Tuan Halverson pada saya."
Pada pengucapan nama lelaki itu, Giraile terhenti dari meneguk kopi campur amarettonya, tepat ketika pinggiran cangkir kopi alkoholik itu menyentuh bibirnya. Ekspresinya menampilkan kegeramannya dengan jelas; wanita Armenia itu meletakkan cangkirnya dengan kasar, kontras dengan yang dilakukan lelaki di hadapannya. "Si bangsat itu bermain-main denganku. Kamu, si magang itu... semuanya tidak bisa diterima oleh dia. Jika ia tidak menepati janjinya, aku akan benar-benar meninggalkan UKSV."
Ia menghela napas dengan keras, sebelum menghabiskan kopinya dengan mood yang lebih buruk dari sebelumnya. "Puahhh... Jadi, kau bagaimana sekarang?"
"... Ya, Tuan Halverson merekomendasikan beberapa rumah sakit afiliasi Sentra-Vatikan untuk saya. Kini, saya bekerja di salah satunya."
"Ah! Ada lowongan untuk dokter?" Anggukan pelan dari Orion cukup untuk menjawab pertanyaannya. Dengan antusias, Giraile pun mengeluarkan ponselnya, menuntut Orion untuk melakukan hal yang sama. "Berikan aku nomornya! Minimal, dengan ini, masalah keuanganku beres..."
"Silakan."
Pria muda asal Islandia itu menyodorkan ponselnya, yang telah menampilkan nomor telepon tempat kerjanya pada layar. Giraile merampas perangkat kecil itu dengan tangan kirinya, menyalin angka yang tertera ke ponsel miliknya sendiri. Mendapatkan apa yang diinginkannya, wanita itu pun tertawa picik. "Kau memang bisa diandalkan, Orion. Baiklah, aku akan keluar dulu, kucoba menelponnya~~"
"Nona Giraile," tegur Orion, tetap dengan wajah tenang khasnya. Usai menghabiskan isi cangkirnya, ia pun bangkit dari kursinya. Kepada Giraile, ia menampilkan lembaran kertas kecil yang telah diantarkan pelayan pada mejanya, tagihan. "Anda tidak berpikir untuk membiarkan saya membayar ini semua sendirian, kan?"
'Glek.' Upaya melarikan dirinya gagal, sial.
"... Kadang, aku benci kejelianmu itu, Kacamata..."
"Tuan Avedisian," sapa perawat itu, seraya ia memperbaiki posisi kacamatanya. "Saya hendak membeli minuman. Anda ingin memesan sesuatu?"
Dokter muda itu menoleh ke sisi kirinya, dan mata hazelnya bertemu dengan wajah datar seorang rekrut yang cukup baru di rumah sakit paruh-waktunya, Orion Leifson. Ia memberikan senyuman kecil pada lelaki yang terlampau baik hati dalam melayani orang lain itu; memang cocok sebagai perawat... "Tidak, terima kasih atas tawarannya."
Orion pun memohon diri dari kantor. Melihat sosok pria berambut pirang ini, Abisak hanya dapat berharap ia bisa memiliki ketulusan macam itu dalam melayani orang lain. Selama ini, ia selalu merasa terpaksa jika harus membelikan makanan aneh-aneh untuk Aurelio Hehanussa; mana mungkin terlintas di pikirannya untuk menawarkan diri sebagai pelayan staf lain? Pikirannya kembali terlintas pada Orion; jika boleh jujur, Abisak lebih memilih dia ketimbang perawat wanita sekalipun. Walau ia lelaki, Orion memiliki kelembutan yang patut dimiliki seorang perawat, dan sangat bisa diandalkan. Seandainya ia perempuan...
Beberapa menit berlalu, dan perawat lelaki itu kembali. Abisak mengangkat alis, mendengar suara pelan lelaki yang biasanya pendiam itu. Lawan bicaranya tidak unjuk suara sepanjang pembicaraan, dan Abisak pun penasaran akan identitasnya. Namun, tepat ketika ia hendak bangkit dari kursinya, ia merasakan bulu kuduknya bergidik. Firasat buruk...
"Wahh~~ Ternyata ada Avedis di sini!" Avedis? Ia hanya mengenal satu orang yang memanggil sepenggal nama keluarganya seperti itu. Lalu? Ya, Abisak hanya bisa berharap dugaannya salah. "Berani berbohong juga, kamu~ Ngapain kamu di sini?"
'Bukankah itu harusnya pertanyaanku?' Tch, dugaannya benar. Ia memaparkan senyum terpaksa pada wanita yang familiar itu, berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya. Tidak di pusat medis universitas, tidak di rumah sakit paruh-waktu... apakah wanita itu ingin menerornya hingga ujung dunia?
"Ah," gumam Orion, memegang dagunya dan tetap memajang ekspresi tenang, seraya ia mengevaluasi rekan kerjanya di rumah sakit itu, Abisak. "Jadi, Tuan Avedisian adalah dokter magang yang Nona maksud?"
"Benar sekali. Ia anggota kedua tim kita!"
"Ha?" Abisak mengangkat alis mendengar pernyataan ini; tim apa? Tampaknya, Giraile tidak berencana mengindahkan ekspresi bingungnya, dan, ke arah pintu yang baru saja menjadi jalan masuknya, ibu jarinya menunjuk ke belakang. Seringai itu tetap ada. "Tadi kudengar namamu dipanggil ke Ruang 12, cepat sana."
Matanya melebar; ia ingat, pasien tua yang harus diberikan suntikan itu. Dengan gesit, Abisak berdiri dari kursinya, dan menuju ruang yang ditunjuk. Orion, seusai menundukkan kepalanya pada Giraile, mengikuti sebagai perawat yang bertugas mendampingi. Melihat kedua anggota tim batista meninggalkan ruangan untuk bekerja sama, Giraile hanya tertawa pelan; kira-kira, bagaimana kerja sama mereka?
"Aduh-duh-duuuh!!!"
Abisak meringis mendengar teriakan penuh rasa sakit dari nenek-nenek tua yang menjadi pasiennya. Pembuluh darah pasien yang lebih muda tentu lebih kuat dan elastis, memudahkan pemasukan jarum suntik padanya, tetapi pembuluh darah milik pasien tua telah mengeras sekaligus melemah. Karena itu, pembuluh darahnya tidak pernah stabil, dan proses penyuntikan akan menyakitkan bagi sang pasien. Ia berusaha memamerkan senyum meyakinkan. "H-Hanya sedikit lagi, Nyonya, bersabar dulu ya..."
Melihat ini, Orion tidak bersua sama sekali; pria asal Islandia itu, tanpa suara, hanya mengamati cara kerja dokter di hadapannya, Abisak Avedisian, sebagai bahan untuk diajukan pada Giraile. Ia menghela napas melihat Abisak yang masih belum sepenuhnya mampu meyakinkan pasien bahwa mereka akan baik-baik saja, namun ia mengapresiasi usahanya. Walau demikian, '... Mengapa harus dia?'
"Dokteeeer, sakit!"
"Maafkan aku, mohon bertahan sebentar!"
Inilah yang tidak disukainya dari melakukan penyuntikan. Abisak tak tahan melihat respon dari pasien yang tua. Usai melaksanakan penyuntikan, pria berambut cepak itu pun menghela napas lega begitu dirinya berada di luar Ruang 12. Ia disadarkan dari renungannya sendiri oleh suara pelan Orion, "Tuan Avedisian, berencana langsung kembali ke kantor?"
"Iya. Kau tidak ikut?"
"Tidak, aku ingin mengurus sesuatu dulu. Silakan pergi tanpa saya." Bukan kebiasaannya untuk mengintrusi privasi orang lain, sehingga Abisak hanya mengangguk dengan pengertian dan berbalik ke arah kantor. Usai memastikan jarak Abisak sudah cukup jauh darinya, ia pun berjalan sedikit ke belokan di koridor untuk menemukan Giraile Asdvadzadour yang tengah bersandar pada dinding.
"Ck! Lama sekali, katanya cuma penyuntikan?"
"Maklumilah, Nona. Saya yakin Tuan Avedisian tidak sering berurusan dengan pasien lansia. Mari kita kembali ke kantor."
Giraile mengangguk, mengikuti jejak Orion. "Ah, membicarakan itu... bagaimana evaluasimu atas pekerjaannya?"
Orion sedikit menengadah, memegang dahunya, merenungkan kata-kata yang tepat untuk diberikan pada dokter wanita di hadapannya. Ia membuka mulutnya perlahan, menggumamkan, "Ia masih ceroboh, dan sering bingung akan tindakan yang harus diambilnya, tetapi itu wajar. Paling tidak, ia berusaha keras untuk memperbaiki itu."
"Hoo," hanya satu suku kata bermakna samar itulah yang diberikan wanita yang berseringai lebar itu. Mendengar itu, dahi Orion sedikit mengerut; walau umumnya ia mengerti jalan pikir wanita itu, kali ini ia sendiri kebingungan.
"Nona, bolehkah saya bertanya? Mengapa Anda memasukkan seorang dokter magang seperti Tuan Avedisian ke dalam tim kita?"
Mata amber wanita itu menatap lelaki muda yang berada di sebelahnya dengan intens untuk sesaat, sebelum akhirnya seringai lebar kembali menghiasi matanya. Dalam nada yang tidak dapat dibedakan Orion sebagai bercanda atau serius, Giraile pun mengumumkan,
"Karena... ia anjing paling rakus dalam departemen kardiotoraks, tahu!"
Suatu sosok lelaki tinggi berotot mengarungi koridor rumah sakit USKV dengan wajah gelisah. Raul, pria asal Paraguay itu, mengerutkan dahi, seraya mata coklatnya menyapu pemandangan di hadapannya. Di mana staf medis saat dibutuhkan? Senyuman kecil menghias wajah berbingkai rambut coklat ikal itu begitu ia menemukan seorang dokter wanita berbadan tinggi.
"Permisi, Dokter," sapanya dengan paras serius, pada sang dokter. Seringai yang dipajang wanita itu agak mengintimidasinya, namun ia berusaha tidak menilai orang dari penampilannya. "Bisa menunjukkan jalan ke ruang jenazah?"
Giraile Asdvadzadour mengangkat satu alis, sebelum bertanya, "Kau kerabat?"
"Ya. Saya... anak dari Robson de Moraes, yang baru meninggal dunia pagi ini di rumah sakit." Walau anak angkat, Raul sudah merasa dirinya sama dekatnya, jika tidak lebih dekat, dengan Moraes ketimbang kebanyakan anak dengan orang tuanya. Ekspresi sedih kembali mendatangi wajah kerasnya; menyadari hal itu, lelaki itu memalingkan wajahnya dari dokter di hadapannya untuk sesaat.
Dengan ekspresi yang serupa, wanita itu bergumam, "Dia... pasien departemen pembedahan kardiotoraks, kan?" Mendapatkan anggukan, jari telunjuknya mengarah ke ruangan yang dicari-cari lelaki itu. Sang lelaki membungkuk sopan, sebelum memohon diri untuk mendatangi lokasi yang bersangkutan. Jadi, kasus 'operasi sukses, pasien tidak selamat' dari departemen kardiotoraks lagi. Giraile menghela napas dengan cukup kesal, sebelum ia menghentikan Raul. "Tunggu. Biar saya mendampingimu."
Hanya dalam perjalanan beberapa meter, kedua orang itu telah tiba di ruang jenazah. Giraile mendorong pintu masuknya, mempersilakan Raul memasuki ruangan sebelum dirinya. "Silakan. Mungkin kau bisa menunggu hingga--"
"Dokter Mana!" Baru kemudian, ia sadar bahwa lelaki Paraguay itu tidak memperhatikan kata-katanya. Mata Raul membelalak lebar karena suatu pemandangan di hadapannya. Mata Giraile pun kembali menuju ke depan, dan dokter wanita itu berhadapan dengan sosok seorang pria Mesir berbalut jaslab yang bersujud dengan penuh hormat pada suatu mayat di atas ranjangnya. Robson de Moraes itukah? Pertanyaannya terjawab oleh sosok misterius itu sendiri.
"Maafkan saya," ujarnya, dengan suara lembut, reminisen pada suara Orion. Ia pun bangkit ke posisi duduk, dan itupun hanya agar ia bisa menatap Raul dengan benar. Mata bergaris kohlnya menatap lelaki yang lebih muda itu, tidak tanpa kelembutan yang sama dengan suaranya. "Karena kesalahan saya, Robson de Moraes tidak selamat."
Pria Paraguay yang menjadi lawan bicara dokter itu hanya bisa menghela napas. "Dokter, tolong jangan lakukan ini."
"Raul..."
Dengan kemantapan lebih, Raul pun meneruskan konsolidasinya, "Anda telah melakukan yang Anda bisa. Ini bukan salah Anda."
Tepat saat itu, pihak dari badan penyusun rencana pemakaman tiba. Jasad Robson de Moraes, mantan dokter itu, dengan izin dari Raul, diangkut oleh dua pekerjanya, yang memasukkan Moraes ke dalam peti kayu di atas troli roda-empat dengan hati-hati. Seusai hal itu dilakukan, Raul pun membungkuk dengan hormat pada pihak perencana pemakaman, serta kedua dokter di sana, yang melakukan hal yang sama.
Pihak selain kedua dokter itu, yang tetap berada dalam posisi membungkuk, meninggalkan lokasi. Beberapa detik berlalu, dan Dokter Mana mempelopori pengangkatan bagian atas tubuh ke posisi berdiri. Ia memutar kepalanya ke arah dokter wanita yang tidak dikenalnya, tetap memajang ekspresi datar. "Saya tidak pernah melihat Anda sebelumnya. Anda berasal dari departemen mana?"
"Pembedahan Kardiotoraks."
Mendengar ini, terlihat wajahnya sedikit menegang, walau dokter asal Mesir itu secara keseluruhan tetap berparas tenang. "Berarti kau adalah dokter berbakat yang dibawa ke sini untuk operasi batista itu."
Tetap mempertahankan wajah serius, wanita itu menjawab dengan singkat, "Berita cepat menyebar."
"Ah, memang demikian. Saya Hakizi Mana dari Departemen Kardiologi. Pasien tadi... meninggal karena tindakan gegabah saya."
Wanita itu tidak mengucapkana apapun, siap untuk mendengarkan dengan seksama cerita dari pria berambut ikal itu. "... Robson de Moraes tidak memiliki stamina yang cukup untuk menjalani operasi. Seharusnya, ia membangun tenaganya terlebih dahulu di bawah pengawasan saya di bagian kardiologi, tetapi... seusai evaluasi, ditetapkan bahwa pembedahan secepatnya adalah opsi yang tepat. Oleh karena itu, ia menjalani pembedahan untuk infraksi miokardial di departemen Anda."
Kalimat berikutnya membuat Giraile tertegun, dan mengerutkan dahinya. "Suatu kesalahan bagi saya untuk meninggalkannya di bawah kuasa dokter bedah." Untuk yang mengikuti, ia sendiri sudah melihatnya sesuatu yang hampir menjadi contoh kasusnya langsung. "Tentu... operasi berjalan dengan sukses. Akan tetapi, Tuan Moraes harus dikirimkan ke unit perawatan intensif karena, pascaoperasi, energinya terkuras.
"Anda tahu apa yang terjadi berikutnya?" Mata coklat gelap lelaki itu menyipit, sebelum ia mampu meneruskan. "Ia terkena infeksi yang didapatkannya dari rumah sakit, hingga akhirnya terjangkit pneumonia, dan Tuan Moraes meninggal dunia!"
Lelaki itu menengok ke sisi kirinya, memalingkan wajahnya dari Giraile. "Semestinya, kejadian itu bisa diprediksi dari awal, dan dicegah. Infeksi dari rumah sakit sudah terlalu sering terjadi... Namun, banyak dokter yang memasuki unit perawatan intensif mengenakan selop yang sama dengan yang dikenakannya di luar. Wajar saja bagi kasus macam ini untuk terjadi. Sebagian besar pasien tidak menyadari ini, karena mereka sudah memiliki imunitas; akan tetapi, hal ini menjadi fatal bagi pasien yang dilemahkan operasi. Karena itu... saya tidak ingin dia ditangani dokter bedah."
Ia kembali menghadap Giraile, tetap dengan ekspresi yang tenang. Walau demikian, wanita Armenia itu dapat merasakan tatapannya yang lebih keras. "Apakah kalian beranggapan bahwa pembedahan adalah satu-satunya cara untuk menyembuhkan pasien?" Ia terdiam sesaat, sebelum akhirnya membuka mulutnya dengan perlahan, "... atau mungkin, kalian telah lupa pasien juga makhluk yang hidup?"
Cukup tersentak dengan pertanyaan cukup menekan dari dokter yang terlihat lembut itu, Giraile terdiam untuk sesaat. Keheningan itu tidak bertahan lama, karena dalam waktu yang singkat senyuman kembali menghias bibir tipisnya, yang membuka untuk memberi respon.
"... Kami harus melupakan fakta bahwa mereka adalah makhluk yang hidup, untuk bisa membuka badan manusia."
Di balik tatapan sayu dan tenang pria Mesir itu, Giraile tahu sesuatu bergejolak dalam dirinya. Akan tetapi, lelaki itu memiliki pengendalian diri yang cukup untuk tidak membiarkannya keluar. "Dokter bedah yang tidak melihat pasiennya sebagai manusia... tidak jauh berbeda dengan seorang pembunuh."
Mendengar ini, Giraile hanya terkekeh pelan. Hakizi Mana mengenggam pergelangan tangan wanita Armenia itu, sebelum meneruskan, "... Anda berencana memasukkan seorang dokter magang ke dalam tim Anda, bukankah demikian?"
"Wahh~ Sekali lagi, berita cepat menyebar..."
"Dokter Halverson meminta saya merekomendasikan pasien dari kardiologi yang membutuhkan operasi batista. Namun..." Ia menatap lurus Giraile, seraya melepaskan genggamannya dari lengan wanita itu. "... maaf, saya tidak ada kepentingan dengan prosedur batista itu. Untuk orang seperti Anda... mohon camkan ini,
"Saya tidak akan memberikan satupun pasien saya."
Mata amber Giraile melebar. Hm, tipe dokter yang penuh rasa kepedulian pada pasiennya? Ia tidak menyangka pusat medis universitas masih menampung dokter dengan tujuan yang begitu murni. Benar-benar kejutan yang menyenangkan baginya.
Ketimbang respon yang diekspektasikannya, Hakizi cukup terkejut (walau tidak menampilkannya lebih dari mata yang sedikit melebar) untuk menerima seringai lebar dari Giraile, yang menggenggam pergelangannya jauh lebih erat dari yang dilakukannya pada sang wanita. "Tidak kuduga... aku bisa menemukan dokter sepertimu di tempat seperti ini!
"Jika aku bisa membuat orang sepertimu memberikan pasien padaku... aku bisa mengangkat pisau bedahku tanpa keraguan sedikitpun!" | |
| | | Sponsored content
| Subject: Re: [AU] [IN-PROGRESS] B.O.M.T. | |
| |
| | | | [AU] [IN-PROGRESS] B.O.M.T. | |
|
Similar topics | |
|
| Permissions in this forum: | You cannot reply to topics in this forum
| |
| |
|
|