Twoshot, atau, paling banyak, threeshot. Bukan sesuatu yang benar-benar panjang. Memenuhi tema cerita 'undepicted love' untuk Shrei/Giraile.
For Whatever You DoYou make me mad... you make me long for you.
Lima menit berlalu.
"Ah," gumam staf medis itu, seakan dirinya telah mendapat ilham. Ia melepaskan termometer yang sebelumnya disimpan dalam mulut seorang staf operasional yang diperiksanya. Mengangkatnya ke atas, lelaki itu menyipitkan mata, membaca angka yang dicapai air raksa. Hanya sedikit melebihi temperatur standar.
Meletakkan perangkat itu di atas meja, ia menyampaikan diagnosisnya dengan senyum kecil, "Tidak ada masalah, General. Hanya demam biasa. Mungkin karena dehidrasi."
Ketimbang mendengar helaan napas lega, ia menemukan dirinya diangkat dari kerahnya oleh pasiennya--hingga kakinya tidak berpijak pada tanah lagi. Bertatapan langsung dengan wajah garang wanita Armenia itu, dirinya tidak bisa melakukan lebih dari menelan ludah dan berdoa pada Tuhan tidak akan terjadi hal yang fatal terhadap dirinya. Jelas, Jenderal Asdvadzadour bukan pasien yang baik. Ia mulai merasa tercekik oleh kerah kemejanya yang ditarik ke atas.
"Hah?! Kau bilang tidak ada masalah? Jika diriku demam, bukankah itu jelas-jelas masalah?! Coba ulangi lagi!" Ucapannya terdengar lebih seperti interogasi kasar ketimbang pertanyaan tentang kesehatan diri.
"T-Turunkan aku..." Itulah satu-satunya hal yang bisa dipekikkannya saat itu. Ia rasa wajahnya bertambah ungu... dirinya butuh oksigen. Secepat mungkin. Menyadari bahwa lelaki di hadapannya tidak bisa menyampaikan apapun dalam kondisi itu, jenderal wanita itu menurut, sebelum meneruskan terornya. "Bagaimana mungkin ini bisa kau anggap bukan masalah, hah?! Tidak mungkin aku sakit!"
"J-Jenderal..." awalnya, berusaha menjaga senyum profesionalnya. Sebisa mungkin, pasien satu ini jangan sampai mengganggu pasien lain yang memulihkan diri di infirmari. Menawarkan jasa seperti
salesman, ia berusaha mempersuasi wanita yang satu ini untuk menerima kenyataan dengan tenang. "Tenanglah. S-Saya akan memberikan Anda tinktur campuran
thyme,
echinacea dan
catnip. Dipadu dengan satu hari penuh istirahat, pasti proses pemulihan Anda berjalan cepat." Tinktur adalah campuran ramuan herba dengan alkohol; mendengar reputasi jenderal ini sebagai pecandu akut brandi, ia harap hal ini memuaskannya.
"Bahkan, Anda tidak harus berdiam di infirmari," bujuknya, merasa hal ini adalah problema terbesar Giraile. Ia melihat ekspresi yang bersangkutan sedikit melemas; baguslah. Namun, hanya beberapa detik kemudian, wajah tidak puas itu kembali lagi.
Glek. Apapun boleh terjadi, asal jangan sampai kakinya tidak menginjak bumi lagi, Tuhan...
Wanita itu berdiri, menghentakkan botnya ke lantai sebagai pelampiasan amarahnya. Ia menutupi wajahnya dengan salah satu tangannya, seakan dilanda rasa malu. "Oh, hancurlah reputasiku!" Sesaat, staf medis itu mengkhawatirkan nasib nyawanya, namun yang dilakukan Giraile hanyalah mendekatkan wajahnya. Tunggu; itu saja sudah cukup mengintimidasi. "Dengar ya, paramedis. Jangan sampai ada seorangpun yang tahu tentang ini, terutama Jenderal Shreizag itu, mengerti?! Jika ada yang menanyakan kondisiku, bilang saja aku hanya kelelahan seusai misi ini."
Secara tidak sadar, tangannya diangkatnya ke atas dahi, memberi salut. Suaranya sama bergemetarnya dengan tangannya. "S-Siap, Jenderal..."
Senyum lebar, yang ketimbang menenangkan lebih mengingatkannya pada ular, dibentuk oleh bibir tipis jenderal itu. Dengan suara yang terlalu manis untuk dianggap tulus, wanita itu bergumam, "Baguslah jika kau mengerti. Berikan tinkturnya."
Dengan tergesa-gesa, staf itu mengobrak-abrik isi rak, mencari obat demam yang disarankannya. Tangannya mendarat pada suatu botol kaca kecil, sebelum memberikannya kepada Giraile. Jenderal itu terdiam sesaat, mengamati isi botol itu. Paramedis itu hanya bisa berharap wanita ini tidak akan meminta lebih... terlalu banyak langkah salah yang bisa diambilnya ketika berhadapan dengan
dia.
"Hmph. Baiklah, aku akan pergi sekarang." Wanita itu berbalik, menuju pintu keluar infirmari. Sebelum staf tersebut bisa menghela napas lega, tetapinya, ia sudah berbalik, mengarahkan telunjuknya pada lelaki itu. "Ingat pesanku!" Giraile dibalas dengan suatu anggukan lemas.
Drap, drap, drap. Bang! Mendengar bantingan pintu, akhirnya staf tersebut bisa berhenti menkhawatirkan nyawanya. Ia merapikan kembali susunan botol pada rak, sebelum menyadari keberadaan sesuatu; sesuatu yang seharusnya
tidak ada di deretannya saat itu. Obat yang dipreskripsikannya masih berada di sana, kilatan cahaya yang dipantulkannya seakan meledek paramedis itu.
'Bayangkan respon Jenderal Asdvadzadour jika ia tahu...'Ia menelan ludahnya. Dengan sepenuh jiwa dan raga, ia membentuk salib dengan tangannya, sebelum berdoa dengan intensitas yang melebihi masa-masa sebelumnya. Sekarang, ia mengerti mengapa staf infirmari lain sebisa mungkin menghindari berurusan dengan wanita yang satu ini. Mungkin, dengan rahmat Tuhan, jenderal itu bisa sembuh tanpa harus meminum ramuan penyembuh itu...
Tunggu. Jadi, apa yang baru ia berikan? Ia menelusuri rak obat-obatannya, berusaha menentukan apa yang kini tidak ada. Ia menepuk jidatnya begitu mendapatkan jawabannya; tinktur valerian,
kava, dan
skullcap, alias remedi insomnia.
'Ya, di sisi positifnya, Jenderal akan tetap mendapatkan istirahatnya,' pikirnya dengan miris. Itu selama yang bersangkutan tidak membaca labelnya.
Juru selamat, ini saatnya dikau datang...'
Drap, drap. Hentakan bot yang pelan terdengar sepanjang koridor itu. Asal-usulnya adalah seorang jenderal yang berjalan menuju ruang pribadinya. Matanya tidak tertuju pada arah yang ditujunya, melainkan satu lagi buku panduan berbahasa asing di genggamannya. Entah bahasa apa yang dipelajarinya kali ini, tetapi sekarang orang sudah belajar untuk tidak memikirkan hobi general berambut putih ini. Dan akhirnya, ia tiba pada lorong di mana kamar-kamar pribadi jenderal berderet. Hanya beberapa meter lagi, dan ia sudah mencapai kamarnya. Timcanpi perak miliknya mengitari kepalanya, berusaha menarik perhatian, namun usahanya tidak membuahkan hasil.
Drap drap drap-- Hentakan kaki pada lantai kali ini terdengar jauh lebih keras dari miliknya, namun Shreizag Halverson tidak terlalu memikirkan hal ini. Ia terus berjalan tanpa mengangkat kepalanya dari bukunya; logikanya memberitahunya bahwa seseorang (dengan akal sehat) yang berjalan di koridor yang sama dengan orang yang terfokus pada hal lain tentu akan menjauh agar tidak bertabrakan. Dan ia pun kembali memusatkan perhatiannya pada sekumpulan frase dasar di hadapannya. "Permisi adalah: Nerogout'i--"
BRAKK! Ia pun bertabrakan dengan sumber
drap drap yang mengganggu itu. Dari postur badan, sepertinya orang yang menubruknya memiliki postur tubuh kurang-lebih serupa dengannya. Wanita. Tidak meninggalkan begitu banyak opsi; ia sudah bisa langsung mendeduksi identitasnya.
Tampaknya, akal sehat bukan sesuatu yang dimiliki orang itu, yang langsung mengumpat dalam bahasa yang tengah dipelajarinya. Bukunya tidak mencantumkan kata-kata yang dilontarkan wanita itu dalam daftar frase dasarnya, tetapi Shreizag tahu kemungkinan besar kata-kata tersebut bukan nyanyian yang indah bagi telinga. "Membaca buku!? Lihatlah jalan ketika kau--oh, entahlah--
berjalan, Shrei!"
Wajahnya tetap dingin seperti biasa, karena sudah seperti rutinitas baginya menghadapi amarah Giraile yang meletup-letup seperti ini. Pasti
mood jelek. "Seandainya kau menggunakan matamu juga, Giraile, kau tidak akan menabrakku." Jelas-jelas ia telah membangkitkan suatu monster dari dalam Giraile; monster yang tidak ingin mengakui kesalahannya sendiri. Amukan dari wanita itu hanya bertambah liar; wajahnya memerah, seraya ia mengeluarkan suara layaknya singa yang siap menerkam mangsa, namun Shreizag lebih memperhatikan sesuatu yang ada di bawah tangan wanita itu.
"Apa yang di bawah tanganmu?"
Giraile sendiri telat menyadari bahwa ada sesuatu di sana, namun begitu ia menemukan jawaban dari pertanyaan rekannya, seluruh wajahnya bersemu merah, dan ia justru menahan posisi tangannya di atas objek yang dipertanyakan. "T-Tidak ada apa-apa!"
Pengelabuan yang terlalu transparan, namun ia sudah biasa. Shreizag menyipitkan mata, mengamati tumpahan cairan dengan bau yang dikenalnya sebagai alkohol. Walau demikian, dari diseret mengikuti acara minum-minum tengah malam dua wanita yang gemar memanjakan lidah dengan minuman memabukkan, Shreizag mengenalnya sebagai aroma yang berbeda dari brandi yang digemari Giraile. Sedikit, ia dapat mendeteksi wangi racikan herba. Lalu, matanya sedikit melebar. Perhatiannya teralih oleh potongan-potongan beling yang bercampur dengan likuid beraroma pekat itu. "Singkirkan tanganmu."
"Enak saja! Ini tangan juga bukan milikmu!"
Sepertinya wanita itu belum paham. Tanpa basa-basi, Shreizag sendiri yang mengajukan tangannya dan mengenggam pergelangan wanita itu. Sebelum Giraile itu bisa memprotes, lelaki berambut putih itu menjalin kontak mata dengannya, sebelum mengarahkan iris biru dinginnya pada beling dari botol kaca yang dipegang Giraile sebelumnya. Lalu, ke permukaan tangan kanan wanita Armenia itu sendiri, yang mengucurkan darah. Tampaknya, wanita itu juga telat menyadari keberadaan luka tersebut, karena baru saat itu ia meringis nyeri.
Giraile menarik paksa tangannya dari rekan jenderalnya sebelum mengelap darahnya pada jubahnya secara kasar. Shreizag tidak mengucapkan sepatah katapun; tidak ada gunanya membicarakan
hygiene dengan seorang jenderal yang tidak sungkan menggunakan rambutnya sendiri sebagai perban sementara. Ada juga sedikit rasa kagum terhadap toleransi sang jenderal wanita terhadap luka.
'Tetapi...' Lelaki Norwegia itu menurunkan tangannya, dan mengangkat alis; perasaannya saja, atau apakah tenaga Giraile lebih lemah dari biasanya?
... Walau apakah lemahnya Giraile bisa dianggap lemah atau tidak itu relatif. Dan itu bukan hal penting yang perlu diperhatikannya. Ia berdiri, tidak memberikan asistensi pada seseorang yang pasti akan menolaknya. Benar saja, jenderal wanita itu berdiri sendiri, walau dengan susah payah. Tidak biasa. Shreizag harus menahan diri dari mengangkat alisnya lagi; satu lagi hal janggal, dan tidak penting, dari Giraile hari ini.
Secara refleks, ia menangkap sesuatu yang dilemparkan tanpa kelembutan oleh Giraile padanya. "Tuh, bukumu. Masih saja kau belajar bahasa asing, buat apa pula?" Seandainya ia tahu bahasa apa yang dipelajari Shreizag kali ini. Wajah merah wanita Armenia itu membuatnya terlihat seperti memendam suatu perasaan... Sakit--gelisahkah? Terdengar napasnya yang dikeluarkan dari mulut. Shreizag hanya berharap ini bukan berarti Giraile belum puas memaki atau melukai secara fisik dirinya, yang hanya ingin kembali ke kenyamanan kamarnya. Ia pun waspada untuk menghadapi kemungkinan terburuk, seperti diluncurkannya hantaman maut tinju wanita Armenia itu, siap untuk mengaktivasi segel bagian tubuh seandainya wanita itu--
--jatuh ke dekapannya. Tidak, bukan itu. Dan yang jelas, ia belum mewaspadai kemungkinan itu. Lelaki Norwegia itu mengantisipasi sesuatu seperti pukulan atau cakaran pada permukaan luar seragamnya, namun yang Shreizag rasakan hanya cengkeraman erat kedua tangan wanita Armenia itu pada mantel yang menutupi pundaknya. Lelaki itu tidak mengerti apa yang tengah terjadi, namun ia cukup tangkas untuk tahu bahwa hal ini tidak normal. Giraile bukan tipe orang yang suka menyentuh orang lain, terutama dirinya, jika tidak ada maksud bertema kekerasan atau berlatar belakang suatu keinginan pribadi. Walau untuk memprovokasi dirinya, ia rasa Giraile tidak akan melakukan hal sepersonal ini.
Bukan berarti ia tahu pasti. Shreizag bukan seseorang yang memperhatikan hal-hal kecil yang tidak penting, seperti pernak-pernik kebiasaan Giraile Arevig Asdvadzadour.
Ia membuka mulutnya, hendak mengucapkan sesuatu untuk menjauhkan Giraile darinya, namun ada sesuatu yang menghentikannya ketika ia merasakan dagu maskulin bertumpu pada pundak kirinya. Sepintas, permukaan wajahnya merasakan suatu hembusan napas panas. Telinganya menangkap napas yang terengah-engah, dengan tempo yang perlahan menurun. Ia menelan ludah; memperhatikan hal-hal kecil yang tidak penting lagi.
"Hei." Ia mengguncangkan Giraile dengan pelan, dan perlahan bertambah keras. "Hei, Giraile." Tidak ada respon. Ia menoleh ke sisi kiri, namun sesuatu yang lain menghentikannya dari menatap wajah wanita itu. Shreizag menghela napas; tampaknya ia harus berpuas diri dengan fakta bahwa Giraile, yang bersandar padanya, tidak sadarkan diri. Ia menyelipkan buku panduan berbahasanya ke dalam kantong jubah merah-hitamnya, bersiap-siap untuk upaya berikutnya.
Lelaki berambut putih itu menyeret dirinya serta Giraile menuju kamar wanita yang bersangkutan. Tiba di tujuan, Shreizag berdecak kesal begitu menemukan pintu kamar terkunci dari memutar gagangnya. Seharusnya ia sudah tahu... tidak mungkin Giraile tidak menjaga setoran brandi di kamarnya dengan baik. Ia memegang dahinya dengan tangan kanannya, menghela napas pelan. Sesaat, terlintas keinginan untuk melakukan hal yang sama pada dahi wanita yang bersender padanya. Beberapa sentimeter jaraknya dari tujuan, ia menahan keinginan tak berbasis itu, tetap dengan wajah datar.
Shreizag mengamati wajah yang berlinangan keringat itu. Mata Giraile terpejam, namun jelas tidak dalam ketenangan, dan tidak dalam kondisi bisa dibiarkan begitu saja. Walau kadang ia... risih dengan perilaku jenderal satu ini, Shreizag rasa dirinya tidak bisa setega itu (atau justru, terutama terhadap jenderal yang ini?). Ia menggigit bibir bawahnya pelan. Hanya satu opsi lain yang tersisa.